Sabtu, 01 Agustus 2015

Absurd Afternoon

Menulis, mengabadikan pikiran, atau mematri fiktif untuk kelak menjadi legenda dan dipatutkan dalam sebuah prasasti. Entah. Ini bukan tentang membuatnya untuk menjadi mahakarya, mendapat pengakuan, atau prestise atas penghargaan. Bukan pula berkarya. Kreatifitas? Tidak juga bisa dikatakan seperti itu. 

Tidak semua bicara tentang itu tapi seluruh eksistensi yang ada, selalu terkait dengan kepentingan. Tujuan apa yang ada di balik ini semua. Pembuktian diri?menyatakan ada?atau demi lembaran kertas bernilai?terserah. Di sore hari ini, pikiranku kembali tidak mampu terkontrol bahkan oleh aku si penunggu raga. Kembali liar, otakku menjarah semua sisi yang tidak tentu. 

Kucoba rangkai dalam sebuah runut huruf. Mungkin ia akan terbaca lebih teratur. Atau entah kemana pikiran ini mengembara sampai pada akhir tulisan yang...mungkin absurd. Selalu kukatakan pada diri, dewasalah. Jangan tidak bertujuan. Jangan harus terlihat galau. Lalu kembali lagi pada tanyaku akan arti dari dewasa. Apa? Semua manusia sama sekali tidak dewasa – bagiku. Kita, jika aku termasuk di dalamnya, manusia yang harus selalu berpegang akan sesuatu. Mengambil keputusan akan sesuatu atas dasar sesuatu dikarenakan faktor sesuatu dan atas nama sesuatu.

Tentang sekian waktu yang telah berlalu. Tentang hari yang terus akan berganti dan tidak akan berulang. Akan selalu ada hari yang membuat langkah terhenti karena lelah. Membuat nafas tercekat karena tidak sanggup lagi membangun asa. Dan jantung yang berdegup keras akan perihnya rasa sakit dan tidak di inginkan. Terbuang...

Namun, manusia selalu harus berpegang, sesempurnanya manusia dibanding makhluk lainnya ia adalah makhluk terlemah, ia selalu butuh sesuatu untuk mengangkatnya ketika jatuh. Sebagai pelampung di kala tenggelam. Apakah itu tuhannya, keluarga yang menopang nya, teman yang selalu ada, atau hanya sebongkah harapan yang masih bercokol di relung jiwa. 

Tulisan ini tidak berusaha mendikte, tidak memakai semua ide dan konsep yang telah teruji, tidak mengambil kutipan pada semua kitab yang termaktub. Hanya berbicara, tentang rasa pribadi, pandangan sebelah tanpa tendensi benar atau salah.

Kata orang, bagi mereka yang meminta hal buruk pada dirinya terjadi adalah hal yang paling bodoh. Sampai suatu saat ketika masalah kemudian datang dan kemampuan manusiawi nya tidak lagi (saat merasakannya) merasa mampu untuk menghadapi. Nalar dan logika yang dulu terkonsep sempurna tentang konsep dan ide baik dalam kepala tiba-tiba liar. Otak tidak mampu lagi merangkai hal yang lebih optimis, perasaan yang bergejolak tidak pernah merasakan nikmat selain getir. Pahit. 

Lebih dari sesiapapun akhirnya menginginkan mati. Dan ketika hidup ini adalah “atas nama”. Tidak lagi kita memiliki hidup atas keinginan diri sendiri. Setiap gerak dan laku adalah teratasnamakan. Atas nama keluarga, atas nama agama, atas nama harga diri, bla bla blaaa.... jangan lakukan ini nanti keluarga malu, jangan lakukan itu nanti mencoreng agama. Dan semua akan sudah terikat dari sesuatu ke sesuatu lainnya.

Ini tentang kewarasan. Siapa sebenarnya yang waras dan tidak waras. Dan apakah kekuatan itu?iman?kepercayaan?keyakinan? Lalu kita menyadari, diri ini bahkan bukan kita yang memiliki. Bukan Cuma milik tuhan pencipta, tapi milik semua orang di sekelilingmu. Kita tidak pernah benar-benar memiliki sesuatu itu menjadi milik kita sendiri bahkan ketika kita yang mengusahakannya sendiri. Seperti Marshanda yang tiba-tiba liar dan semua menyatakan dia salah dan mengidap Bipolar?seperti AA Gym yang berpoligami lalu semua serba tidak lagi respek dan mengaguminya? Eerrhh... tunggu sampai kemudian kita mengalami sendiri semua masalah itu dan terkaget dengan keputusan yang ingin dilakukan. Apakah menjadi bagian dari hidup “atas nama” atau menjadi terbebas dengan segala konsekuensi yang berani kita tanggung. Dan nama-nama yang sebut diatas adalah mereka yang berani keluar dari zona tersebut. Dan layak disebut... pemenang. Setidaknya bagi diri mereka sendiri.
Bukan karena mereka publik figur. Bukan karena mereka terkenal. Tapi manusia sudah dari awal pandai masuk dalam setiap urusan yang (selalu) bukan urusannya. Menjadikannya bagian dari hidup mereka untuk diperbincangkan. Dipermasalahkan. Atas nama “kepedulian”. Padahal itu semua sama sekali tidak membantu si empunya masalah. 

Hehe...
Kemana langkah pikiran ini melangkah sebenarnya?kata orang ini karena aku tak beriman. Semua pikiran diluar konsep ideal agama dan norma dianggap nyeleneh. Namun, tiada pula yang berani menuntun. Atau lebih peduli ketika tanya itu datang. Selain...Wallahu A’lam. Padahal jika semua itu tuhan yang tahu. Lalu apa salahnya kelakuan salah?kita bukan pemilik hati, apa yang muncul dari apa yang hendak dikerjakan di kemudian ternyata bukan atas diri kita sendiri. Ah...entahlah. pikiranku sore ini, begitu absurd. Tidak begitu jelas. Dan masih sepantaran mereka para anak-anak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar