Rabu, 02 April 2014

Satu Dari Beberapa (Resolusi)

Jadi mendaki gunung sebenarnya bukanlah pengalaman pertama buat saya…karena dulu semasa kecil saya tiap kali libur panjang sekolah pasti di buang (baca: di bawa) mamak dan bapak untuk berlibur ke Desa Bentengnge di Mallawa sana…which is actually desa itu berada di atas gunung. Yang mana kalau harus kesana pula harus mendaki, namun mungkin karena sudah jadi pemukiman jadi kemiringan tanahnya sudah banyak yang terkikis dan tidak akan se-ekstrim memanjat gunung beneran (kecuali di beberapa tempat tertentu). Jadi tiap kali ke Bentengnge saya akan merasa jadi orang terpopuler sedunia (hahahahha…). Jelas saja… kami datang (setidaknya) dari daerah yang lebih berperadaban dibanding daerah mereka, baju yang kami pakai pula lebih modis. Jadi tiap ke sana pasti jadi tontonan dan pipi jadi area cubit terstrategis. Dan tiap kali naik ke kebun kakek (mereka sebutnya  koko) itu…serasa ada di atas langit, saya biasa sama adik-adik berpura-pura jadi elang berputar-putar di tanah kebun kakek yang berada di puncak (benar-benar paling puncak) sambil melongok-longok ke tanah rendah nun di sana.

Itu dulu, sampai akhirnya sabtu 29 Maret kemarin saya juga telah (Alhamdulillah) menuntaskan salah satu dari beberapa resolusi tahun ini yaitu INTO THE TOP OF MOUNTAIN. Walau mendaki gunung bukan pengalaman pertama, tapi mendaki gunung “ala” pecinta alam yang “well prepared” itu belum saya lakukan. Dulu tiap kali mendaki gunung ke kebun kakek saya cuma ber—sandal jepit dengan ubi goreng di tangan. Oleh karena itu…sejak saya tahu dengan komunitas-komunitas pecinta alam atawa mereka yang sering manjat gunung, saya jadi penasaran. What makes it so special actually?? Waktu mahasiswa…saya liat kalo anak-anak mapala itu gondrong-gondrong dan filosofis sekali kalo bicara…macam seorang sufi saja rasanya (hehehhe…). Belum lagi gelang-gemelangan yang bergelantungan di tangan dan kaki dan bahkan di segala outfit mereka. Sebelum tahu itu padahal saya sudah pakai gelang2 ala “pendaki gunung” itu tanpa tahu artinya sampai ada yang nyeletuk “weeeetsss…anak gunung ineeeh….!”. Waktu itu saya cuma melongo dongok. Tapi akhirnya nantinya saya mengerti. Ah! Terlalu kerdil rasanya menisbatkan gelang ini sebagai tanda “sudah” pernah naik gunung atau sebagai symbol “anak gunung”. Yah… tapi memang anak mapala dulu selalu menarik perhatian saya, kenapa mereka begitu melebih-lebihkan gunung sampai di bentuk komunitas yang ada perekrutannya. Mana lagi outfit mereka bermerek ala merek-merek luar negeri sana, mulai dari jaket, tas, celana, dan semua outdoor gear nya bermerek mahal. Sandal dan sepatu khusus. Tenda, sleeping bag, dan lain-lain. Harus tahan angin, hujan, dan (mungkin) badai. Padahal om saya dulu kalau mau berangkat ke kebunnya (yang berada di puncak sana) malam-malam hanya bermodalkan sarung, senter, parang, dan –anjingnya. Tanpa sandal.
Belum lagi sosok Gie, belum lagi acaranya si Djangkaru, belum lagi film-film barat tentang semua hal yang berbau “pendakian gunung”, “penaklukan puncak”, itu semua membuat saya penasaran. Dan novel 5CM (ingat novelnya….bukan filmnya…), berhasil membuat saya terbayang-bayang tentang keindahan gunung gemunung yang mereka maksud. Begitu berbeda dengan pengalaman masa kecil saya…
Oleh karena itu..setelah beberapa tahun resolusi itu menganggur….setelah beberapa kali penolakan untuk di ikutsertakan dalam tim, dan setelah beberapa kali penundaan….sabtu kemarin, saya berhasil sampai ke puncak gunung Bulusaraung. Banyak terima kasih atas segala dukungan dan bantuan teman-teman yang sudah mau di bebani oleh saya yang (ternyata) memang banyak menyusahkan ini. Dalam blog selanjutnya…akan saya posting cerita lengkap perjalanan saya menuju puncak Bulusaraung yaaa….. :)