Sabtu, 28 September 2013

Bapak

This is about a father..yeah..my father, im a lot worry about him..
I think he gets sick..but he acts like he just fine.
I love him so much and i dont wanna something bad happen.
So that i wrote this...I hope it can be a pray for me and my father that he is really fine.
Please...read. If you dont mind...


Ini tentang seorang bapak. Saya sangat sadar jarang sekali berbicara tentang bapak, baik secara umum atau pribadi. Tidak di diary ku begitupula dalam obrolan sehari-hari. Secara personal, saya tidak bisa mengatakan dekat dengan bapak. Antara kami..terasa ada jarak. Entah itu saya yang membuatnya secara tidak sadar atau memang karena besarnya rasa segan saya pada bapak. Sampai akhirnya pada hari ini, saya melihat bapak terbatuk dan menuju ke belakang rumah. Sebenarnya ini sangat tidak sengaja, ketika saya ke belakang untuk suatu urusan tiba-tiba melihat ke tanah. Ada dahak di sana, merah, darah segar. Hati saya segera kebat-kebit. Setelah memandang ke segala penjuru untuk melihat segala kemungkinan bahwa dahak berdarah itu bukan dari bapak yang tadi terbatuk. Tapi, nihil, ayam-ayam tidak ada yang terluka, kucing saya yang lewat pun baik-baik saja. Masuk ke dalam rumah kembali untuk memastikan bahwa ada yang terluka pun nihil. Dan kesimpulannya pun terjawab, itu dahak bapak. Bapak batuk dan berdarah. Itu terjawab ketika kami meminta mamak untuk menanyakannya langsung pada bapak. Segala ajakan periksa ke dokter oleh mamak dan adik semua hanya di balas tersenyum, bahwa semua seakan baik-baik saja.



Padahal semua indikasi tentang batuk berdahak dan beradarah yang segera saya baca di internet sama sekali tidak memberi rasa lega. Penyakit-penyakit berbahaya, mengintai di balik itu. Saya..setelah tahu semua itupun, masih merasa tidak berani untuk berkomunikasi dengan bapak, atau setidaknya memintanya untuk periksa. Rasa segan di dalam hati terlalu besar untuk setidaknya memulai kata. Rasanya tidak mampu untuk mencari waktu yang tepat dengan padanan kata yang cocok. Mungkin ini mengherankan melihat kalian atau orang lain begitu mudahnya berkomunikasi dengan bapaknya. Tapi tidak dengan saya. Lidah selalu terasa kelu. Dan sungkan untuk memulai.


Tapi malam ini, saya menangisi semuanya. Ketakutan-ketakutan yang begitu alamiahnya, yang serta merta muncul memicu rasa cemas berlebihan dan membuat semua emosi sedih menyeruak. Bagaimana kalau bapak sakit....bagaimana kalau...ah...saya bahkan tidak berani untuk membayangkan. Saya ini, belum jadi apa-apa. Bapak baru sekali saja saya bahagiakan..yaitu ketika saya dapat cum laude di akhir wisuda. Dan saya sangatlah tidak memiliki apapun lagi untuk dibanggakan, tidak sebagai anak pertama yang berhasil, juga sebagai anak yang penurut. Padahal, belum ada orang lain yang mampu saya jadikan panutan dalam hidup kecuali segala prinsip dan idealisme bapak. Bapak yang hanya seorang lulusan SMA, yang di kantornya banyak mendapat cibir dan cerca karena tidak ikut-ikutan kolusi, bapak yang di antara semua keluarga hanya beliaulah PNS yang belum punya rumah pribadi. Bapak yang sangat primordial tapi begitu nasionalis. Yang berbadan sangat kecil namun memiliki keberanian melampaui apa yang orang pikirkan. Dan sebagai anak...bukanlah sebuah paksaan untuk menjadi sukses. Namun saya, ingin menjadi mimpi dari orangtua, dari bapak yang sangat ingin melihat kami berhasil. Mengajarkan betapa berartinya mandiri dan disiplin. Bapak yang memukul kami ketika masa kecil, tidak memanjakan, namun sangat menyayangi. Bapak yang jarang bicara. Namun segala ketegasannya membuat kami, khususnya saya sangat menghormatinya. Dengan segala jarak yang ada. Adalah saya, sangat menyayanginya. Semoga Tuhan tetap memberi saya kesempatan yang panjang demi membahagiakan orangtua, bapak saya.


Saya tidak ingin begini terus, terpuruk tanpa movement, setidaknya dari pribadi saya yang tidak pernah bisa menerima kenyataan pahit. Peringatan untuk selalu menyayangi, menjaga, dan mensyukuri segala hal yang terkadang tidak kita sadari sangatlah berharga. Waktu yang membutakan hati hingga akhirnya terlupa. Dan saya sama sekali tidak mau merasakan hal itu. Lagi. Sama sekali tidak mau. Saya tidak tahu apa penyakit bapak yang mengakibatkan dahaknya berdarah. Dan betapapun cemasnya saya, belum juga berani untuk berbicara langsung. Namun, betapapun sulitnya itu, saya akan mencari cara untuk menyampaikan rasa khawatir ini dan meminta beliau untuk segera berobat. Semoga bapak akan selalu baik-baik saja. Tuhan..semoga semua akan benar-benar baik-baik saja. Aamin...allaahummaa aamiin...

Jumat, 06 September 2013

IBUK



It was a gloomy afternoon. Buy suddenly my mind got an inspiration to write something. I used to write manually, but i was too tired towrite by pen. So i just click on the laptop. And here is the result. Please enjoy. A short story i called...IBUK. Give your comment..:)

 
 #########################################...................

Bunyi lokomotif yang berderak, membuat aku terbangun dari tidur. Ternyata sudah sejam sejak aku duduk di kursi kereta ini dan berangkat dari Solo ke Jogja.


Ku runut kembali ingatan, alasan kenapa aku bisa berada di kereta ini, seorang diri berada pada gerbong paling belakang. Tadi aku dan ibu bertengkar hebat. Yeah..kami memang sering berselisih, tapi tadi adalah pertengkaran terhebat yang pernah terjadi antara aku dan ibu. Tidak ada pangkal mulanya sebenarnya, hanya saja tiba-tiba emosiku memuncak ketika ibu mengungkit aku yang belum mendapat kerja. Ibu yang baru pulang dari mengajar, segera saja mencecar aku yang duduk di depan komputer dengan segala pertanyaan dan pernyataan tentang kenapa aku yang sudah setahun lalu sarjana, belum bekerja sementara anak yang lain sudah mulai berangkat ke kantor masing-masing sejak sebulan yang lalu. 


Aku tahu, aku salah dengan  langsung menjawabnya kasar. Tiba-tiba saja aku berdiri sambil menatapnya tajam sembari berkata, “ kalau ibu begitu muaknya melihat aku yang belum bekerja, kenapa tidak masukkan saja lagi aku ke dalam rahim, sehingga tidak pernah lagi ada aku yang begitu menyusahkan!!”. 


Dan langsung saja tangan ibu menampar pipi ku. Keras. Kami berdua sama-sama terhenyak. Dan menit-menit itu langsung saja membuat aku kerasukan setan. Segera ku tinggalkan tempat itu dan berlari ke kamar, mengambil tas sembari memasukkan beberapa pakaian dengan asal. Berlari keluar. Tanpa peduli pada ibu yang masih mematung. Menuju stasiun dan memesan tiket apa saja yang tersedia. Hingga..disinilah aku. Duduk di barisan kursi pada gerbong belakang kereta jurusan Jogja. Entah apa yang akan kulakukan di sana. Ini semua berlangsung cepat dan tiba-tiba.


Kuraba pipi kanan. Bekas tamparan itu sama sekali tidak ada. Rasa panas akibat tamparan sudah lenyap. Tidak sakit sebenarnya. Hanya saja..itu pertama kalinya ibu menampar aku. Rasa sakit hati lebih menguasai aku dibanding apa yang dihasilkan oleh tamparan itu sendiri. Sejak kecil, kami memang di didik keras, aku dan ketiga adikku. Namun, ibu sama sekali tidak pernah kasar pada kami. Kalaupun memukul, itu bukan lain hanya merupakan pukulan kecil yang berupa teguran. Ketika kami mulai suka makan coklat tanpa mau menggosok gigi sebelum tidur. Atau kami mulai suka mengintip untuk menonton televisi di saat jam belajar malam berlaku. Beda dengan ayah. Beliau adalah orang yang paling kami takuti di rumah. Kami bisa tahu ada yang salah pada kami hanya dengan melihat tatapan ayah yang melotot pada kami. Teringat, waktu itu kami masih sangat kecil dan belum punya televisi, aku dan adik-adik yang waktu itu hari Minggu sangat ingin menonton televisi. Dan yeah..kami tentu saja harus menumpang ke tetangga untuk hanya sekedar duduk menonton “apa yang ditonton” oleh tetangga kami. Namun, untuk meminta ijin pada ayah saja kami sangat takut. Jadi, sebelum kami meminta ijin, kami sudah berusaha untuk menyenangkan hati beliau dengan membersihkan pekarangan, mencuci seragam dan sepatu sendiri, kemudian mandi dan bersolek rapih. Tapi giliran waktunya untuk meminta ijin, kami pun dorong-dorongan, tidak ada yang berani bicara pada ayah. Hingga akhirnya adik kami yang paling kecil menjadi tumbal kakak-kakaknya. Dia tanpa persetujuannya diharuskan untuk bicara pada ayah agar mengijinkan kami menonton. Dia akhirnya mendatangi ayah yang ketika itu sedang membuat pagar bambu. Terlihat sekali dia takut, badannya gemetar dan selalu saja berhenti untuk membalikkan badan kembali pada kami, kami pun cuma melambai-lambaikan tangan padanya agar segera bicara. Melihat ayah yang memegang golok sambil memancang-mancangkan potongan bambu, adik kami pun bicara sambil takut-takut. Suaranya sangat kecil, hampir tidak terdengar kecuali sayup-sayup dari jarak hanya beberapa meter dari kami. Terlihat dia dan ayah saling bicara, lalu adik kami kembali dan melapor, bahwa kami tidak diberi ijin menonton televisi karena sebentar lagi masa ulangan caturwulan akan dimulai. Betapa kecewanya kami, lalu masuk merajuk pada ibu. Ibu yang selalu berbaik hati pun membantu untuk meminta ijin pada ayah. Tapi tiba-tiba ayah masuk, ibu langsung menyahuti ijin untuk kami, namun ayah yang ketika bicara pada ibu langsung saja melihat ke arah kami sambil melotot, membuat kami tahu diri, patuh, dan segera masuk kamar untuk kecewa.


Yeah..ayah memang selalu membuat kami segan. Ayah jarang marah. Tapi ketika kami membuat salah, beliau tidak segan untuk memukul atau menghukum kami yang nakal. Dan ibu..akan menjadi orang yang akan membauri luka dan lebam kami dengan minyak gosok atau tiupan-tiupan kecil yang selalu membuat kami merasa lebih baik. Meninabobokan kami yang masih sesenggukan akibat habis di hukum ayah. Masa kecil itu...tidak ada kemanjaan...tapi penuh dengan didikan yang penuh kasih sayang.


Kereta yang kutumpangi ini singgah pada suatu stasiun kecil, belum sampai Jogja. Penumpang pun bergantian ada yang naik dan turun dari kereta. Aku masih saja duduk sambil menopang dagu ke arah  jendela kereta. Suasana stasiun kecil memang tidak terlalu ramai, hanya beberapa saja penumpang dengan para penjual makanan minuman. Tapi terlihat kereta sudah penuh sejak dari stasiun Balapan, Solo. Kursi yang tersisa kosong sudah terisi penuh ditambahi penumpang yang baru saja naik. Bahkan kursi di depanku yang tadinya kosong sudah terisi oleh seorang ibu dengan tubuh gempal. Baru saja duduk dan dia langsung saja tidur. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu dan lelah. Terlihat dia begitu kewalahan dengan apa yang di pakainya, berulang kali harus terbangun untuk memperbaiki posisi duduk “sambil tidurnya” agar tidak merusak lipatan dari baju dan rok span nya. Make up nya terlihat mulai luntur akibat keringat yang keluar. Tidak ada memang yang bisa diharapkan dari kipas angin kereta ekonomi, angin yang dihasilkan sama sekali tidak dingin melainkan udara panas saja yang terputar-putar.


Kereta sudah mulai berjalan lagi. Perlahan dan segera kencang. Aku kembali melayangkan pandangan keluar jendela. Terlihat hamparan sawah dengan beberapa rumah kecil di tengahnya. Tampaknya hampir musim panen. Bulir padi yang terliohat mulai menguning. Indah. Matahari senja juga membuatnya makin terlihat oranye. Seperti bergradasi, terasering itu terlihat bergantian kuning, hijau. Mata jadi sedikit relaksasi.


Namun aku segera terusik dengan rintihan dan sesenggukan anak kecil dari kejauhan. Ketika kutengok, ternyata ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan kain, sembari tangan kanan dan kirinya menggandeng sebuah tas dan seorang anak kecil yang sedang menangis. Ibu itu menengok ke kursi kereta ke kanan dan ke kiri sembari berjalan di selasar tengah kereta. Tampaknya dia sedang mencari kursi yang kosong. Dengan bawaan yang cukup berat itu. Dia terlihat kesusahan menarik anaknya yang tidak mau diam dan meronta-ronta ingin duduk. Mereka berjalan hingga ke belakang gerbong, kursi tempatku duduk. 


Terdengar dia berkata, “liat nak..sudah tidak ada tempat kosong lagi...kita berdiri saja ya..ibuk sudah capek jalan sambil gendong adekmu”. Namun si anak kecil itu tetap saja menangis, bahkan dia mulai menggelosorkan badan ke lantai kereta sambil kakinya menendang-nendang mengganggu. Kulirik si ibu yang sedang tidur di depanku, ternyata dia tidak terganggu sedikitpun. Orang-orang mulai menoleh jengah, si ibu itu menaruh tas nya dan mulai berjongkok untuk melerai tangisan si anak. Tentu sangat repot, apalagi si kecil yang dalam gendongan mulai terbangun dan ‘pula’ ikut menangis.


Ku telusuri pandangan ke dalam kereta, tidak ada yang tampak hendak menyumbangkan tempat duduk milik mereka. Apalagi di hari yang begitu panas ini, membuat badan cepat lelah dan pegal. Semua hanya mendelik sembari memperbaiki duduk dan sibuk pada urusan masing-masing. Hanya aku saja yang masih memperhatikan si ibu dan dua orang anak nya itu. Kini si ibu mengambil sesuatu dari tas nya, kain sarung ternyata. Dia menggelarnya di lantai kereta, untuk si anak agar mau duduk disitu saja. Dengan sedikit merengut si anak akhirnya mau. Tapi kembali menjadi masalah ketika tiba-tiba ada petugas kereta yang menegur. Penumpang dilarang duduk di tengah selasar. Akhirnya setelah sedikit berdebat ibu itu harus patuh. Dia kembali berdiri, menyimpan sarungnya, dan karena si anak tidak mau berdiri dan mulai kembali menangis walau sudah dicubit. Si ibu itu akhirnya turut menggendong anak itu bersama adiknya. Tasnya tidak lagi di pegang karena harus menggendong dua orang anak, yang tentunya tidak ringan. Berpeluh dia menggendong sambil bersandar pada dinding gerbong kereta agar tidak terjatuh. Betapa tidak putus asanya ibu itu, untuk menyenangkan si anak. Tidak peduli betapa rewelnya dia. Aku..tiba-tiba saja teringat pada ibu di rumah, betapa beliau sebenarnya menyayangiku, harapan mendapat pekerjaan itu tidak lain hanya untuk kebahagiaanku, bukan untuknya, bukan pula demi kepentingannya. Tapi aku selalu saja mendahulukan ego dalam memahaminya. Aku merasa tertohok, tenggorokanku mulai menahan sakit dari tangis yang tertahan. Betapa aku lupa bagaimana ibu yang berjuang nyawa melahirkanku, hanya untuk melihatku di dunia, ibu rela menderita sakit yang luar biasa. Tidak peduli bagaimana aku kelak. Ibu tetap rela mengambil resiko mati demi lahirnya aku. Lalu..kenapa aku begitu tega mengeluarkan kata-kata kasar itu tadi?


Dengan segera aku beranjak berdiri, memegang tiang gerbong, dan mempersilahkan si ibu dengan dua anaknya tadi duduk pada tempatku. Mungkin seharusnya dari tadi aku melakukannya, tapi aku terlalu lama bergumul dengan segala perasaanku. Yang seharusnya sedikit disingkirkan demi kepedulian terhadap sesama. Awalnya si ibu menolak, takutnya nanti aku capek katanya. Tapi kuyakinkan si ibu, bahwa aku sudah cukup pegal untuk duduk dan mau sedikit berdiri. Ketika si ibu akhirnya duduk dengan segala ucapan terima kasihnya. Aku mengambil posisi berdiri di samping pintu gerbong. Memandang pada sawah yang kemuning dan mentari senja di ufuk sana. Angin berhembus panas, bahkan di senja hari. Sambil menghirup udara aku berjanji, ketika turun dari kereta di stasiun nanti aku akan menelpon ibu, yang mungkin sekarang sedang khawatir. 


Ibu...aku minta maaf...sekarang sedang di Jogja...dan baik-baik saja.

Selasa, 03 September 2013

Afternoon with PTB

Me, sisters, and some cousins like to hang out here, a place that Maros civilian likes to gather around, we called PTB actually the right real name of this place is Wisata Kuliner where there are many street food vendors, based there. PTB, it  stands from Pantai Tak Berombak, yeah it is a man-made lake, while sitting there .. we also can feel the breeze like when you sit on the edge of the beach or sea. Only the difference .. it does not have waves. Thats why maybe they called PTB.
Here are some pictures that is resulted.































Senin, 02 September 2013

MALINO in MY FRAME

Last week, I and fellas going weekend in a high land in South Sulawesi called Malino, to make sure im practising my skill, i didnt forget to bring camera and took some frames, here they are..


 Dawn behind my homestay


 A bit green beside the mountain





 The famous Takapala waterfall...


The Strawberries garden...



Minggu, 01 September 2013

Mother

Mother..how are you today..here is a note from your daughter...
Still remember that song? Yeah it was an old song from Maywood.

Im not a good child..yeah I am. But I do believe..that even our religion never ask us to respect on parents...they are still the most person who we have to put our obedience on. Not to make it better than another (because they completed each other). But a mother...is the person..is the only human who wanna take all of the pain just to make sure that you are exist in this world. No matter how hurt she will... According to the research..that human body cant take a pain during a bear..but a mother that is a woman who always charactherized weak...cant passing it..eventhough have to sacrifice her soul...

I dont know what my mom feels about me...since the first fight I dealed with her in my age. But either she loves me or not...I will always love her. 


Although all is not going well and I am not an obedient child ... I was the one who most loved her than anyone.

This is my mom...when she tired and take relax while watching TV. I took it candid.