Jumat, 06 September 2013

IBUK



It was a gloomy afternoon. Buy suddenly my mind got an inspiration to write something. I used to write manually, but i was too tired towrite by pen. So i just click on the laptop. And here is the result. Please enjoy. A short story i called...IBUK. Give your comment..:)

 
 #########################################...................

Bunyi lokomotif yang berderak, membuat aku terbangun dari tidur. Ternyata sudah sejam sejak aku duduk di kursi kereta ini dan berangkat dari Solo ke Jogja.


Ku runut kembali ingatan, alasan kenapa aku bisa berada di kereta ini, seorang diri berada pada gerbong paling belakang. Tadi aku dan ibu bertengkar hebat. Yeah..kami memang sering berselisih, tapi tadi adalah pertengkaran terhebat yang pernah terjadi antara aku dan ibu. Tidak ada pangkal mulanya sebenarnya, hanya saja tiba-tiba emosiku memuncak ketika ibu mengungkit aku yang belum mendapat kerja. Ibu yang baru pulang dari mengajar, segera saja mencecar aku yang duduk di depan komputer dengan segala pertanyaan dan pernyataan tentang kenapa aku yang sudah setahun lalu sarjana, belum bekerja sementara anak yang lain sudah mulai berangkat ke kantor masing-masing sejak sebulan yang lalu. 


Aku tahu, aku salah dengan  langsung menjawabnya kasar. Tiba-tiba saja aku berdiri sambil menatapnya tajam sembari berkata, “ kalau ibu begitu muaknya melihat aku yang belum bekerja, kenapa tidak masukkan saja lagi aku ke dalam rahim, sehingga tidak pernah lagi ada aku yang begitu menyusahkan!!”. 


Dan langsung saja tangan ibu menampar pipi ku. Keras. Kami berdua sama-sama terhenyak. Dan menit-menit itu langsung saja membuat aku kerasukan setan. Segera ku tinggalkan tempat itu dan berlari ke kamar, mengambil tas sembari memasukkan beberapa pakaian dengan asal. Berlari keluar. Tanpa peduli pada ibu yang masih mematung. Menuju stasiun dan memesan tiket apa saja yang tersedia. Hingga..disinilah aku. Duduk di barisan kursi pada gerbong belakang kereta jurusan Jogja. Entah apa yang akan kulakukan di sana. Ini semua berlangsung cepat dan tiba-tiba.


Kuraba pipi kanan. Bekas tamparan itu sama sekali tidak ada. Rasa panas akibat tamparan sudah lenyap. Tidak sakit sebenarnya. Hanya saja..itu pertama kalinya ibu menampar aku. Rasa sakit hati lebih menguasai aku dibanding apa yang dihasilkan oleh tamparan itu sendiri. Sejak kecil, kami memang di didik keras, aku dan ketiga adikku. Namun, ibu sama sekali tidak pernah kasar pada kami. Kalaupun memukul, itu bukan lain hanya merupakan pukulan kecil yang berupa teguran. Ketika kami mulai suka makan coklat tanpa mau menggosok gigi sebelum tidur. Atau kami mulai suka mengintip untuk menonton televisi di saat jam belajar malam berlaku. Beda dengan ayah. Beliau adalah orang yang paling kami takuti di rumah. Kami bisa tahu ada yang salah pada kami hanya dengan melihat tatapan ayah yang melotot pada kami. Teringat, waktu itu kami masih sangat kecil dan belum punya televisi, aku dan adik-adik yang waktu itu hari Minggu sangat ingin menonton televisi. Dan yeah..kami tentu saja harus menumpang ke tetangga untuk hanya sekedar duduk menonton “apa yang ditonton” oleh tetangga kami. Namun, untuk meminta ijin pada ayah saja kami sangat takut. Jadi, sebelum kami meminta ijin, kami sudah berusaha untuk menyenangkan hati beliau dengan membersihkan pekarangan, mencuci seragam dan sepatu sendiri, kemudian mandi dan bersolek rapih. Tapi giliran waktunya untuk meminta ijin, kami pun dorong-dorongan, tidak ada yang berani bicara pada ayah. Hingga akhirnya adik kami yang paling kecil menjadi tumbal kakak-kakaknya. Dia tanpa persetujuannya diharuskan untuk bicara pada ayah agar mengijinkan kami menonton. Dia akhirnya mendatangi ayah yang ketika itu sedang membuat pagar bambu. Terlihat sekali dia takut, badannya gemetar dan selalu saja berhenti untuk membalikkan badan kembali pada kami, kami pun cuma melambai-lambaikan tangan padanya agar segera bicara. Melihat ayah yang memegang golok sambil memancang-mancangkan potongan bambu, adik kami pun bicara sambil takut-takut. Suaranya sangat kecil, hampir tidak terdengar kecuali sayup-sayup dari jarak hanya beberapa meter dari kami. Terlihat dia dan ayah saling bicara, lalu adik kami kembali dan melapor, bahwa kami tidak diberi ijin menonton televisi karena sebentar lagi masa ulangan caturwulan akan dimulai. Betapa kecewanya kami, lalu masuk merajuk pada ibu. Ibu yang selalu berbaik hati pun membantu untuk meminta ijin pada ayah. Tapi tiba-tiba ayah masuk, ibu langsung menyahuti ijin untuk kami, namun ayah yang ketika bicara pada ibu langsung saja melihat ke arah kami sambil melotot, membuat kami tahu diri, patuh, dan segera masuk kamar untuk kecewa.


Yeah..ayah memang selalu membuat kami segan. Ayah jarang marah. Tapi ketika kami membuat salah, beliau tidak segan untuk memukul atau menghukum kami yang nakal. Dan ibu..akan menjadi orang yang akan membauri luka dan lebam kami dengan minyak gosok atau tiupan-tiupan kecil yang selalu membuat kami merasa lebih baik. Meninabobokan kami yang masih sesenggukan akibat habis di hukum ayah. Masa kecil itu...tidak ada kemanjaan...tapi penuh dengan didikan yang penuh kasih sayang.


Kereta yang kutumpangi ini singgah pada suatu stasiun kecil, belum sampai Jogja. Penumpang pun bergantian ada yang naik dan turun dari kereta. Aku masih saja duduk sambil menopang dagu ke arah  jendela kereta. Suasana stasiun kecil memang tidak terlalu ramai, hanya beberapa saja penumpang dengan para penjual makanan minuman. Tapi terlihat kereta sudah penuh sejak dari stasiun Balapan, Solo. Kursi yang tersisa kosong sudah terisi penuh ditambahi penumpang yang baru saja naik. Bahkan kursi di depanku yang tadinya kosong sudah terisi oleh seorang ibu dengan tubuh gempal. Baru saja duduk dan dia langsung saja tidur. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu dan lelah. Terlihat dia begitu kewalahan dengan apa yang di pakainya, berulang kali harus terbangun untuk memperbaiki posisi duduk “sambil tidurnya” agar tidak merusak lipatan dari baju dan rok span nya. Make up nya terlihat mulai luntur akibat keringat yang keluar. Tidak ada memang yang bisa diharapkan dari kipas angin kereta ekonomi, angin yang dihasilkan sama sekali tidak dingin melainkan udara panas saja yang terputar-putar.


Kereta sudah mulai berjalan lagi. Perlahan dan segera kencang. Aku kembali melayangkan pandangan keluar jendela. Terlihat hamparan sawah dengan beberapa rumah kecil di tengahnya. Tampaknya hampir musim panen. Bulir padi yang terliohat mulai menguning. Indah. Matahari senja juga membuatnya makin terlihat oranye. Seperti bergradasi, terasering itu terlihat bergantian kuning, hijau. Mata jadi sedikit relaksasi.


Namun aku segera terusik dengan rintihan dan sesenggukan anak kecil dari kejauhan. Ketika kutengok, ternyata ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan kain, sembari tangan kanan dan kirinya menggandeng sebuah tas dan seorang anak kecil yang sedang menangis. Ibu itu menengok ke kursi kereta ke kanan dan ke kiri sembari berjalan di selasar tengah kereta. Tampaknya dia sedang mencari kursi yang kosong. Dengan bawaan yang cukup berat itu. Dia terlihat kesusahan menarik anaknya yang tidak mau diam dan meronta-ronta ingin duduk. Mereka berjalan hingga ke belakang gerbong, kursi tempatku duduk. 


Terdengar dia berkata, “liat nak..sudah tidak ada tempat kosong lagi...kita berdiri saja ya..ibuk sudah capek jalan sambil gendong adekmu”. Namun si anak kecil itu tetap saja menangis, bahkan dia mulai menggelosorkan badan ke lantai kereta sambil kakinya menendang-nendang mengganggu. Kulirik si ibu yang sedang tidur di depanku, ternyata dia tidak terganggu sedikitpun. Orang-orang mulai menoleh jengah, si ibu itu menaruh tas nya dan mulai berjongkok untuk melerai tangisan si anak. Tentu sangat repot, apalagi si kecil yang dalam gendongan mulai terbangun dan ‘pula’ ikut menangis.


Ku telusuri pandangan ke dalam kereta, tidak ada yang tampak hendak menyumbangkan tempat duduk milik mereka. Apalagi di hari yang begitu panas ini, membuat badan cepat lelah dan pegal. Semua hanya mendelik sembari memperbaiki duduk dan sibuk pada urusan masing-masing. Hanya aku saja yang masih memperhatikan si ibu dan dua orang anak nya itu. Kini si ibu mengambil sesuatu dari tas nya, kain sarung ternyata. Dia menggelarnya di lantai kereta, untuk si anak agar mau duduk disitu saja. Dengan sedikit merengut si anak akhirnya mau. Tapi kembali menjadi masalah ketika tiba-tiba ada petugas kereta yang menegur. Penumpang dilarang duduk di tengah selasar. Akhirnya setelah sedikit berdebat ibu itu harus patuh. Dia kembali berdiri, menyimpan sarungnya, dan karena si anak tidak mau berdiri dan mulai kembali menangis walau sudah dicubit. Si ibu itu akhirnya turut menggendong anak itu bersama adiknya. Tasnya tidak lagi di pegang karena harus menggendong dua orang anak, yang tentunya tidak ringan. Berpeluh dia menggendong sambil bersandar pada dinding gerbong kereta agar tidak terjatuh. Betapa tidak putus asanya ibu itu, untuk menyenangkan si anak. Tidak peduli betapa rewelnya dia. Aku..tiba-tiba saja teringat pada ibu di rumah, betapa beliau sebenarnya menyayangiku, harapan mendapat pekerjaan itu tidak lain hanya untuk kebahagiaanku, bukan untuknya, bukan pula demi kepentingannya. Tapi aku selalu saja mendahulukan ego dalam memahaminya. Aku merasa tertohok, tenggorokanku mulai menahan sakit dari tangis yang tertahan. Betapa aku lupa bagaimana ibu yang berjuang nyawa melahirkanku, hanya untuk melihatku di dunia, ibu rela menderita sakit yang luar biasa. Tidak peduli bagaimana aku kelak. Ibu tetap rela mengambil resiko mati demi lahirnya aku. Lalu..kenapa aku begitu tega mengeluarkan kata-kata kasar itu tadi?


Dengan segera aku beranjak berdiri, memegang tiang gerbong, dan mempersilahkan si ibu dengan dua anaknya tadi duduk pada tempatku. Mungkin seharusnya dari tadi aku melakukannya, tapi aku terlalu lama bergumul dengan segala perasaanku. Yang seharusnya sedikit disingkirkan demi kepedulian terhadap sesama. Awalnya si ibu menolak, takutnya nanti aku capek katanya. Tapi kuyakinkan si ibu, bahwa aku sudah cukup pegal untuk duduk dan mau sedikit berdiri. Ketika si ibu akhirnya duduk dengan segala ucapan terima kasihnya. Aku mengambil posisi berdiri di samping pintu gerbong. Memandang pada sawah yang kemuning dan mentari senja di ufuk sana. Angin berhembus panas, bahkan di senja hari. Sambil menghirup udara aku berjanji, ketika turun dari kereta di stasiun nanti aku akan menelpon ibu, yang mungkin sekarang sedang khawatir. 


Ibu...aku minta maaf...sekarang sedang di Jogja...dan baik-baik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar