Jumat, 27 Desember 2013

Seperempat Abad

Tepatnya 25 Desember kemarin..usiaku genap 25 tahun. Rasanya aneh, untuk tetap dalam kondisi yang sama secara psikis namun ternyata jasad berjalan menuju renta. Saya... secara pribadi, merasa masih anak si mamak yang belum bisa beranjak dari balik ketiak beliau. Masih gentar ketika melihat tatapan marah mata bapak. Dan jujur saja... saya menikmati seperti itu. Rasanya aman, nyaman-nyaman saja, tidak punya beban, tidak pula di bebani apa-apa. Masih si anak kecil tanpa ekspektasi eksternal.

Namun memang sudah sangat lagu lama. Bahwa hidupmu berubah seiring waktu. Bahkan walau kalian sendiri tidak berusaha untuk berubah. And you dont have to guess cos it happens within me (as always).

Ada satu kalimat yang belakangan ini selalu di sebut mamak untuk menegur saya yang masih kalap untuk bangun pagi. Katanya " umurmu sudah seperempat abad Lia" . Sesingkat itu. Tapi menohok sampai ke sumsum tulang rasanya. Bahwa dengan porsi seperempat abad yang sudah di habisi itu. Belum ada dari hidup saya untuk hidup sesuai apa yang sebenarnya diri saya inginkan. Sudah sejak lahir hingga setua ini, kita hidup atas bentukan dari keinginan orang lain. Kita lahir dengan nama yang di berikan, dengan agama yang sudah harus di iyakan, bahkan kita punya sedikit hak untuk memilih baju apa yang hendak di pakai pun itu baru bisa dilakukan menjelang lepas masa sudah pubertas. Intinya yang saya mau bilang adalah kita ini bahkan orang-orang besar di luar sana tidak terbentuk atas kemauannya sendiri. Semua apa yang ada hingga sekarang ini adalah hasil dari kepasifan masa lalu. Karena manusia adalah tanah liat, dia terbentuk dari hasil tangan sekelilingnya. Sekeras apapun melawan bahkan perlawanan itu sendiri adalah hasil perundingan dari segala faktor eksternal di sekeliling, bukan?!

Bicara tentang usia seperempat abad saya, dengan umur segini, hidup mulai makin menjengahkan saja. Ketika arti dari tiap kelakuanmu adalah akumulasi dari penilaian orang di sekelilingmu pun kau tidak minta mereka untuk menilai. Makin banyak saja tuntutan-tuntutan di pundak ini. Tidak secara langsung di perintahkan untuk ini ataupun itu. Tapi saat kalian mencapai usiaku, percayalah kalian akan tahu apa maksud mereka bahkan hanya dengan melihat tatapan mereka.

Pertanyaan-pertanyaan mereka pun mulai sarkastik! Kalau anak jaman sekarang sebut dengan 'kepo'. Yeah...tidak lagi sungkan untuk mendahulukan sopan, karena usia ini adalah pembenaran bagi mereka untuk menyentil.

"Sudah kerja dimana?"
"Tidak lulus cpns ya?"
"Apa? Ngajar di tempat kursus?"

Itu semua masih bisa saya jawab dengan nyeleneh sembari melengos. Tapi tidak dengan pertanyaan satu ini.

"Kapan nikah?"

Nah lho! Sejak kapan nikah sebenarnya punya tenggat waktu? Kita hanya melihat umumnya masyarakat yang menikah dengan usia tertentu untuk kemudian menjadikan hal tersebut sebagai batas ideal. Semua yang kini menjadi kebenaran bukankah hanya merupakan sebuah kesepakatan? Lalu mengapa untuk menjadi 'sedikit' lain itu menjadi sangat salah?

Wanita yang belum menikah dimana seharusnya dia sudah meneteki anaknya di anggap tabu. Di minoritaskan. Dan segera dikucilkan tanpa tedeng aling-aling. Kejam. Apa sih makna "seharusnya" yang di labelkan pada tiap dari apa-apa yang ada? Siapa yang menjadikan  para mereka itu sebagai hakim dan juri?

Kita, terlepas dari apapun juga. Mau itu nilai sosial, agama, medis atau apapun juga. Bukankah hidup bukan hanya untuk menilai orang lain? Setidaknya ketika orang itu bahkan tidak merugikan diri penilai itu sama sekali. Lalu? Misalnya ketika saya belum menikah untuk sekarang ini? Masih bertahan dengan ingin capai cita-cita dulu lah setidaknya. Apa itu begitu menyusahkan orang-orang di sekeliling saya? Apa begitu meresahkan untuk tidak sesuai dengan sistem purba mereka?

Yaah...saya bicara sebagai representasi dari kaum saya. Yang mengalami diskriminasi sosial. Bukannya tidak mau menikah. Setidaknya belum. Tapi jangan lalu serta merta mendiskreditkan mereka yang tidak ingin menikah. Itu salah.

Mungkin, daripada menyarankan KB atau nikah di saat tepat dengan ideal usia yang "sekali lagi" di tentukan. Pemerintah lebih baik memberikan sosialisasi kepada masyarakat, bukan hanya tentang bebas berpendapat tapi juga tentang pentingnya menghargai privasi masing-masing dari individu untuk memilih apa yang menjadi pilihan hidup mereka, belum mau menikah cepat contohnya.
Bukankah tidak semua yang banyak dilakukan orang banyak untuk kemudian menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kebenaran?!

Menikah, menurut hemat saya adalah sebuah hal yang sakral. Bukan hanya berupa seremonial yang di laksanakan "dikarenakan" alasan klise tentang kata "sudah seharusnya". Menikah bukan pula dengan alasan menghalalkan apa yang sebelumnya terlarang. Tidak. Bukan itu maknanya. Menikah adalah suatu kebutuhan prifat masing-masing individu. Dimana manusia yang memang diciptakan berpasangan ini, sudah merasa tidak ingin lagi sendiri. Lalu kemudian disitulah peran semua sektor untuk melegalkannya, sosial kah..secara birokrasi administratif kah...atau agama sekalipun. Setidaknya itu menurut saya. Dan saya menerima pendapat yang lain tanpa perlu memaksakan pemikiran pribadi ini. Tidak ada yang boleh menikah dengan keterpaksaan. Tidak secara usia, ataupun desakan siapapun. Kita sedari lahir sudah menjadi pasif. Hasil bentukan dari para pendahulu. Lalu sampai kapan kita masih berkutat dengan sesuatu yang ternyata sangat primitif ini? Bukankah begitu jahat alasan orangtua yang memperlakukan anaknya hanya karena ingin menjaga nama baik mereka sesuai norma yang masih perlu banyak perdebatan ini?Dimana nilai sebagai manusia di
tempatkan?!

Mereka tidak sadar, bahwa akibat tingkah diskriminatif itu menyebabkan banyaknya pasangan yang menikah secara terpaksa, dijodohkan tanpa adanya diskusi. Dan hal itu berbuntut dengan banyaknya tindakan buruk lainnya akibat ketidakpuasan. Perceraian, KDRT, dan perselingkuhan. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab akan hal itu?

Ini bukan tentang membenarkan hal tentang kebebasan sebebas-bebasnya. Karena manusia adalah makhluk yang saling terikat satusama lain. Hanya saja di antara kita harus saling menghargai satu sama lain. Terlepas dari sisi mana kalian memandang. Agamakah...sosialkah...ini adalah pendapat pribadi yang terlahir tidak dengan mengutip dari referensi manapun selain sebuah pengalaman. Bukan pula bicara liberal karena sayapun menganut agama yang mengikat saya dalam rutinitas religius.

Kalian bebas untuk menilai...dan berpendapat. Tapi jangan berusaha untuk memaksakannya pada orang lain :)

Jumat, 13 Desember 2013

(SATIRE) RUAM-RUAM




Bicara tentang cita-cita. Mungkin ada dari kalian yang sudah sangat bahkan melibihi tinggi langit. Kata Soekarno memang kita disuruh bermimpi setinggi langit, jadi kalau pun jatuh akan pasti jatuh di sekitar bintang-bintang. Jadi tidak begitu buruk-buruk amat. Tapi Soekarno lupa kalau di langit sana..di angkasa…apapun bisa terjadi, mungkin saja kita terjatuh ke angkasa raya yang empty, tidak ada apa-apa, ruang hampa bahkan oksigen pun tidak ada, atau jatuh ke planet dimana air juga tidak ada, parah, dan yang tidak pernah di inginkan adalah..ketika ternyata kita jatuh dan terhisap masuk ke dalam black hole (nah lho).
Dan kurasa itulah yang terjadi dengan saya (ya..sekali lagi tentang saya). Saya bermimpi kejauhan, dan harus menghadapi kenyataan untuk jatuh, terhisap ke dalam black hole. Semua hitam, bahkan untuk merasa hidup saja susah.

Saya…pada umumnya manusia, atau sebutlah seperti kebanyakan mahasiswa yang baru lulus. Pasti ingin segera bekerja, pursuing sesuatu yang memang sudah ter-list di buku harian atawa life map masing-masing. Ingin jadi inilah..itulah…macam-macam. Dan dari kebanyakan orang yang menulis segala tetek bengek cita-cita setinggi langit itu, saya pula ada di dalamnya. Sudah sedari SMP saya menulis segala angan di atas buku harian, di tiap tulisan sebelum tidur malam, di setiap lembar belakang buku tulis atau buku cetak pelajaran, dan sialnya juga kedapatan menulis cita-cita di Kitab pengajian yang seharusnya tidak di tulis hal-hal yang duniawi.

Setelah lulus kuliah, dengan segala senyum kebanggaan di hari pertama wisuda. Ternyata memang hanya itu saja. Ya..sehari itu saja. Segala peras keringat banting tulang orangtua selama masa kuliah hanya untuk sehari itu saja. Hari wisuda. Setelah itu..segalanya menjadi buram (setidaknya untuk saya). Dari sekian banyak yang ‘akhirnya’ hari ini sudah menggapai cita, atau setidaknya sudah bekerja. Kini saya kembali menjadi bagian dari yang kebanyakan. Yaitu yang gagal.

Tidak tinggal diam, saya segera me-review segala hal yang sudah saya rencanakan dengan matang. Kok bisa gagal ya? Kok susah ya? Semua kesalahan saya runut satu demi satu. Hingga akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Saya memang di takdirkan gagal. Yah..mungkin ‘belum’ berhasil.

Semua tulisan ini, bukan untuk mengecilkan hati para pencari hidup. Tapi hanya memaparkan sedikit dari isi hati. Bukan numpang curhat, tapi menunjukkan kenyataan pada seseorang lain selain kalian. Saya.
Saya bagian dari kehidupan yang ‘masih’ terpinggirkan.  Salah satu contoh dari si Gagal. Sudah terlalu banyak nasihat dan wejangan. Yaa..awalnya mungkin sedikit menolong emosional sehingga lebih tenang, legowo, nrimo. Tapi makin kesini, dari semua keseringan gagalnya itu, merubah semua nasihat dari para kekawan yang baik menjadi terasa (maaf) klise. Kok ya tidak ada hal yang baik terjadi dengan mempercayai semua elusan-elusan kata nan bijak itu. Tetap saja saya gagal, mencapai cita.

Dulu..ya bisa bilang dulu, karena saya sudah setahun jadi sarjana dan belum produktif sampai sekarang ini. Dulu saya selalu hanya menjadi penonton atas segala keberhasilan kawan-kawan. Selalu bisa beri senyum selamat pada yang juara. Bahkan masih bisa menjabat tangan mereka. Dan segera pulang ke rumah untuk menangis, merutuki diri, dan selalu meludahi jargon “kalau mereka bisa, kenapa saya tidak bisa”. Karena toh nyata nya yaa..sayalah itu yang tidak bisa. Istilah “kalau rejeki tidak kemana”, yaa..rejeki itu sepertinya selalu salah alamat dan tidak singgah pada saya. Mulut, otak, hati, dan jiwa sudah amat muak dengan segala petuah-petuah nan klise. Macam foto-foto ala emo, begitulah saya dengan keseluruhan jiwa saya.

Hingga saya, menonton suatu reality show, yang mempertontonkan segala kejahatan dunia pada si fakir. Bagaimana si miskin di eksploitasi para redaktur media, di perlihatkan bagaimana mereka struggle, bertahan hidup di tengah makin keringnya kepedulian manusia. Sementara ‘mungkin’yang menonton mereka akan segera lupa dengan apa yang barusan mereka lihat. Yeah..di luar sana. Ternyata ada dan terlalu banyak yang lebih menderita dari saya, bahkan mereka sudah melampaui ambang batas kemampuan mereka, doa-doa mereka sudah meneriaki langit, tapi entah Tuhan atau Kehidupan yang memang tidak mengindahkan. 

Sekarang saya sudah tidak percaya lagi istilah “ kalau mereka bisa pasti kita juga bisa”. Andai demikian sudah pasti semua orang sudah menjadi presiden. Andai demikian saya pasti sudah jadi seorang mahasiswa S2 di Jogja, andai demikian saya juga sudah kongkow-kongkow di restoran mewah. Rejeki memang tidak lari kemana, karena dia lari pada yang beruntung. Apa yang (setidaknya menurut saya) benar adalah tidak semua kemampuan seorang manusia dengan manusia lain itu sama, itu sebabnya ada ukuran-ukuran yang di labelkan pada manusia, entah itu IQ, volume otak atau apalah itu. Dengan kemampuan yang berbeda-beda itu, tentu saja hal yang orang lain bisa lakukan, belum tentu bisa kita lakukan, dia bisa lolos jadi PNS, entah karena pengaruh “internal” atau otak, semua tidak bisa juga di lakukan oleh semua orang. Tidak semua impian mu bisa tercapai, itu tergantung kemampuan masing-masing lalu kemudian rejeki mu yaah sebut saja porsi untuk mu di bagikan, kamu bagian gagal dan yang bagian lainnya dapat jatah berhasil.

Ini bukan untuk mengecilkan semangat dari yang membaca, tapi supaya kalian tahu tentang realita. Bahwa hidup tidak semudah mereka yang sudah punya perusahaan keluarga sendiri, yang memang di takdirkan punya otak encer, dan yang kebagian untung terlalu banyak. Hidup itu bejo. Hanya yang bejo lah yang punya hidup asik. Kalau memang hidup segampang segala jargon dan motto penyemangat hidup, tidak mungkin para aktivis mahasiswa yang berkoar-koar menjadi oposisi pemerintah, sekarang giliran lulus malah berkoar-koar jadi kacung menutupi borok pemerintah dengan  alasan “sudah jadi pejabat pemerintahan” juga.

Sekarang yang bisa saya lakukan adalah tetap berjuang, tapi tidak membuang-buang waktu pada hal yang sudah saya tahu kesempatan saya kecil. Saya mungkin pragmatis, atau seorang opportunis. Tapi saya menjalani hidup sesuai aturan main yang di tawarkan, SMA dulu mungkin saya tidak paham bahwa dunia adalah hutan belantara…yang kuat memakan yang lemah. Dan terlalu lugu untuk selalu membenci para penjilat. Idealisme yang realistis, ada hal-hal yang ‘mungkin’ masih saya pegang sebagai kebenaran, tapi…sekarang bisa lebih fleksibel, bisa kompromi, bisa di kondisikan sesuai apa yang di butuhkan.
Saya…tidak lagi makan buak simalakama. Tapi lebih ke hidup segan, mati tak mau.

*silakan menilai masing-masing. Terima kasih.

Senin, 14 Oktober 2013

Anak dan Orangtuanya



Tidak menjadi sesuai dengan ekpektasi seseorang maka bersiaplah untuk tidak lagi di inginkan. Hal-hal seperti itu lumrah terjadi, karena erat dengan interaksi sosial, baik itu per individu atau dengan kelompok.
Terkadang kita sudah siap dengan resiko ditinggalkan atau tidak di sukai bahkan di tolak. Karena sebelum sesuatu di mulai atau di kerjakan biasanya kita sudah memikirkan terlebih dahulu apa baik dan buruknya dalam mengambil keputusan untuk mengerjakan sesuatu.
Tapi lain hal nya jika berkaitan tentang sebuah keluarga. Sebuah kelompok orang yang terbentuk tanpa kesepakatan terlebih dahulu bagi si anak. Untuk memiliki orangtua seperti yang sekarang di miliki. Untuk lahir dengan agama yang di anut orangtua nya, untuk punya saudara-saudara sekandung yang ada. Semua tanpa kesepakatan. Seorang anak sudah harus menerima semua secara langsung, tanpa harus protes. Dan seringkali hal itu termasuk juga dengan “apa impian orangtua” terhadap mereka.
Sejak kecil sudah di jejali dengan segala macam hal demi menunjang impian orangtua (bahkan sejak lahir pun seorang anak sama sekali tidak memiliki hak memilih). Harus masuk sekolah ini, ikut kursus itu dan lain sebagainya. Agar kelak bisa menjadi apa yang di inginkan oleh yang melahirkan mereka. Padahal secara umum, manusia memiliki hak untuk memilih jalan apa yang di inginkan, tidak ada yang sama, semua manusia memiliki keinginan yang berbeda-beda. Bahkan seorang anak sekalipun. Di waktu kecil mungkin mereka akan patuh saja (walau pada sebagian kasus sudah ada pula yang menolak). Dan sudah sangat naluriah kalau akan selalu ada anak yang membantah dalam suatu keluarga. Akan selalu ada anak yang berbeda sendiri, yang selalu di anggap melawan padahal mereka hanya ingin menyuarakan pendapat mereka, otoritas atas diri mereka.
Tapi terkadang orangtua sudah sangat terlambat untuk menyadari hal itu, bahkan tidak menyadarinya sama sekali. Dan ketika berhadapan dengan anak yang tidak berjalan sesuai keinginan mereka, pasti akan di anggap bebal, nakal, dan dalam agama di juluki “durhaka”. Pada orangtua yang cerdas, mungkin mereka mampu memahami bagaimana perilaku anak pada tahap itu, mereka mampu menyelami bahkan jadi mediasi terhadap kebutuhan anak akan apa yang di inginkannya. Tapi terkadang walau di sebut orangtua sekalipun ternyata mereka tidak begitu dewasa dalam menangani “clash” yang ada dalam sebuah keluarga. Dan kesalahan pengasuhan pun terjadi. Orangtua yang bodoh akan lebih memberikan perhatian pada anak yang lebih “manut”. Alih-alih memberikan perhatian lebih pada yang “sedang bermasalah”, mereka lebih senang menumpahkan kekesalan dengan memperlihatkan perhatian lebih pada anak lain. Bukannya menyelesaikan masalah, justru hal tersebut akan memicu masalah yang kelak akan lebih besar.
Mereka pun tidak menyadari bahwa kata-kata kasar yang di ucapkan pada anak ketika memarahi itu akan selalu di ingat oleh memori anak secara tidak sadar, apalagi pada sesuatu yang berulang-ulang. Semua itu akan mensugesti anak bahwa dia memang benar-benar tidak di inginkan. Satu sama lain akan makin saling menjauhi. Bukan hanya memusuhi orangtua, si anak pun akan ikut membenci saudara-saudara nya karena hanya dia yang di perlakukan buruk oleh orangtua. Bukan makin menurut untuk kembali mendapat kasih sayang orangtua, mereka malah akan semakin menjauh, menarik diri.
Mungkin orangtua punya tujuan baik bagi sang anak, melihat mereka lebih dulu memahami dunia yang sedang di hadapi. Tapi ternyata hidup tidak berjalan di tempat seperti yang di pikirkan orangtua. Bahwa dunia pun berjalan sesuai jaman, bahwa pilihan-pilihan kini semakin banyak. Bahwa mendengarkan itu bisa menjadi penengah ketidak cocokan. Bahwa seorang anak adalah manusia yang akan berkembang, berpikir, dan akan mampu mengambil keputusannya sendiri. Pada negara-negara barat, anak-anak mereka sudah tidak lagi tinggal serumah dengan para orangtua mereka sejak mereka memutuskan untuk memilih jalan mereka sendiri, dan para orangtua di sana pun tahu bahwa itu memang adalah fase nya. Kanak-kanak, remaja, lalu dewasa pada dunia mereka sendiri. Berbeda dengan negara timur, adat istiadat dan suasana agamis, terkadang mengekang kebebasan seseorang, norma-norma dan nilai-nilai yang ada di masyarakat membuat orangtua begitu mengatur anaknya. Alih-alih demi kebaikan si anak terkadang orangtua hanya ingin agar nama baiknya tidak rusak oleh perbuatan salah si anak.
Seyogyanya, anak dan orangtua adalah suatu ikatan yang sangat erat, bukan hanya karena terikat secara biologis saja, namun dua pihak ini saling melengkapi dan membutuhkan. Orangtua sebagai yang lebih tua sudah seharusnya lebih bijak dan mawas diri akan perkembangan seorang anak, dan anak pun akan senantiasa berkaca diri ketika mendapat perlakuan yang lebih bisa di terima.

Sabtu, 28 September 2013

Bapak

This is about a father..yeah..my father, im a lot worry about him..
I think he gets sick..but he acts like he just fine.
I love him so much and i dont wanna something bad happen.
So that i wrote this...I hope it can be a pray for me and my father that he is really fine.
Please...read. If you dont mind...


Ini tentang seorang bapak. Saya sangat sadar jarang sekali berbicara tentang bapak, baik secara umum atau pribadi. Tidak di diary ku begitupula dalam obrolan sehari-hari. Secara personal, saya tidak bisa mengatakan dekat dengan bapak. Antara kami..terasa ada jarak. Entah itu saya yang membuatnya secara tidak sadar atau memang karena besarnya rasa segan saya pada bapak. Sampai akhirnya pada hari ini, saya melihat bapak terbatuk dan menuju ke belakang rumah. Sebenarnya ini sangat tidak sengaja, ketika saya ke belakang untuk suatu urusan tiba-tiba melihat ke tanah. Ada dahak di sana, merah, darah segar. Hati saya segera kebat-kebit. Setelah memandang ke segala penjuru untuk melihat segala kemungkinan bahwa dahak berdarah itu bukan dari bapak yang tadi terbatuk. Tapi, nihil, ayam-ayam tidak ada yang terluka, kucing saya yang lewat pun baik-baik saja. Masuk ke dalam rumah kembali untuk memastikan bahwa ada yang terluka pun nihil. Dan kesimpulannya pun terjawab, itu dahak bapak. Bapak batuk dan berdarah. Itu terjawab ketika kami meminta mamak untuk menanyakannya langsung pada bapak. Segala ajakan periksa ke dokter oleh mamak dan adik semua hanya di balas tersenyum, bahwa semua seakan baik-baik saja.



Padahal semua indikasi tentang batuk berdahak dan beradarah yang segera saya baca di internet sama sekali tidak memberi rasa lega. Penyakit-penyakit berbahaya, mengintai di balik itu. Saya..setelah tahu semua itupun, masih merasa tidak berani untuk berkomunikasi dengan bapak, atau setidaknya memintanya untuk periksa. Rasa segan di dalam hati terlalu besar untuk setidaknya memulai kata. Rasanya tidak mampu untuk mencari waktu yang tepat dengan padanan kata yang cocok. Mungkin ini mengherankan melihat kalian atau orang lain begitu mudahnya berkomunikasi dengan bapaknya. Tapi tidak dengan saya. Lidah selalu terasa kelu. Dan sungkan untuk memulai.


Tapi malam ini, saya menangisi semuanya. Ketakutan-ketakutan yang begitu alamiahnya, yang serta merta muncul memicu rasa cemas berlebihan dan membuat semua emosi sedih menyeruak. Bagaimana kalau bapak sakit....bagaimana kalau...ah...saya bahkan tidak berani untuk membayangkan. Saya ini, belum jadi apa-apa. Bapak baru sekali saja saya bahagiakan..yaitu ketika saya dapat cum laude di akhir wisuda. Dan saya sangatlah tidak memiliki apapun lagi untuk dibanggakan, tidak sebagai anak pertama yang berhasil, juga sebagai anak yang penurut. Padahal, belum ada orang lain yang mampu saya jadikan panutan dalam hidup kecuali segala prinsip dan idealisme bapak. Bapak yang hanya seorang lulusan SMA, yang di kantornya banyak mendapat cibir dan cerca karena tidak ikut-ikutan kolusi, bapak yang di antara semua keluarga hanya beliaulah PNS yang belum punya rumah pribadi. Bapak yang sangat primordial tapi begitu nasionalis. Yang berbadan sangat kecil namun memiliki keberanian melampaui apa yang orang pikirkan. Dan sebagai anak...bukanlah sebuah paksaan untuk menjadi sukses. Namun saya, ingin menjadi mimpi dari orangtua, dari bapak yang sangat ingin melihat kami berhasil. Mengajarkan betapa berartinya mandiri dan disiplin. Bapak yang memukul kami ketika masa kecil, tidak memanjakan, namun sangat menyayangi. Bapak yang jarang bicara. Namun segala ketegasannya membuat kami, khususnya saya sangat menghormatinya. Dengan segala jarak yang ada. Adalah saya, sangat menyayanginya. Semoga Tuhan tetap memberi saya kesempatan yang panjang demi membahagiakan orangtua, bapak saya.


Saya tidak ingin begini terus, terpuruk tanpa movement, setidaknya dari pribadi saya yang tidak pernah bisa menerima kenyataan pahit. Peringatan untuk selalu menyayangi, menjaga, dan mensyukuri segala hal yang terkadang tidak kita sadari sangatlah berharga. Waktu yang membutakan hati hingga akhirnya terlupa. Dan saya sama sekali tidak mau merasakan hal itu. Lagi. Sama sekali tidak mau. Saya tidak tahu apa penyakit bapak yang mengakibatkan dahaknya berdarah. Dan betapapun cemasnya saya, belum juga berani untuk berbicara langsung. Namun, betapapun sulitnya itu, saya akan mencari cara untuk menyampaikan rasa khawatir ini dan meminta beliau untuk segera berobat. Semoga bapak akan selalu baik-baik saja. Tuhan..semoga semua akan benar-benar baik-baik saja. Aamin...allaahummaa aamiin...

Jumat, 06 September 2013

IBUK



It was a gloomy afternoon. Buy suddenly my mind got an inspiration to write something. I used to write manually, but i was too tired towrite by pen. So i just click on the laptop. And here is the result. Please enjoy. A short story i called...IBUK. Give your comment..:)

 
 #########################################...................

Bunyi lokomotif yang berderak, membuat aku terbangun dari tidur. Ternyata sudah sejam sejak aku duduk di kursi kereta ini dan berangkat dari Solo ke Jogja.


Ku runut kembali ingatan, alasan kenapa aku bisa berada di kereta ini, seorang diri berada pada gerbong paling belakang. Tadi aku dan ibu bertengkar hebat. Yeah..kami memang sering berselisih, tapi tadi adalah pertengkaran terhebat yang pernah terjadi antara aku dan ibu. Tidak ada pangkal mulanya sebenarnya, hanya saja tiba-tiba emosiku memuncak ketika ibu mengungkit aku yang belum mendapat kerja. Ibu yang baru pulang dari mengajar, segera saja mencecar aku yang duduk di depan komputer dengan segala pertanyaan dan pernyataan tentang kenapa aku yang sudah setahun lalu sarjana, belum bekerja sementara anak yang lain sudah mulai berangkat ke kantor masing-masing sejak sebulan yang lalu. 


Aku tahu, aku salah dengan  langsung menjawabnya kasar. Tiba-tiba saja aku berdiri sambil menatapnya tajam sembari berkata, “ kalau ibu begitu muaknya melihat aku yang belum bekerja, kenapa tidak masukkan saja lagi aku ke dalam rahim, sehingga tidak pernah lagi ada aku yang begitu menyusahkan!!”. 


Dan langsung saja tangan ibu menampar pipi ku. Keras. Kami berdua sama-sama terhenyak. Dan menit-menit itu langsung saja membuat aku kerasukan setan. Segera ku tinggalkan tempat itu dan berlari ke kamar, mengambil tas sembari memasukkan beberapa pakaian dengan asal. Berlari keluar. Tanpa peduli pada ibu yang masih mematung. Menuju stasiun dan memesan tiket apa saja yang tersedia. Hingga..disinilah aku. Duduk di barisan kursi pada gerbong belakang kereta jurusan Jogja. Entah apa yang akan kulakukan di sana. Ini semua berlangsung cepat dan tiba-tiba.


Kuraba pipi kanan. Bekas tamparan itu sama sekali tidak ada. Rasa panas akibat tamparan sudah lenyap. Tidak sakit sebenarnya. Hanya saja..itu pertama kalinya ibu menampar aku. Rasa sakit hati lebih menguasai aku dibanding apa yang dihasilkan oleh tamparan itu sendiri. Sejak kecil, kami memang di didik keras, aku dan ketiga adikku. Namun, ibu sama sekali tidak pernah kasar pada kami. Kalaupun memukul, itu bukan lain hanya merupakan pukulan kecil yang berupa teguran. Ketika kami mulai suka makan coklat tanpa mau menggosok gigi sebelum tidur. Atau kami mulai suka mengintip untuk menonton televisi di saat jam belajar malam berlaku. Beda dengan ayah. Beliau adalah orang yang paling kami takuti di rumah. Kami bisa tahu ada yang salah pada kami hanya dengan melihat tatapan ayah yang melotot pada kami. Teringat, waktu itu kami masih sangat kecil dan belum punya televisi, aku dan adik-adik yang waktu itu hari Minggu sangat ingin menonton televisi. Dan yeah..kami tentu saja harus menumpang ke tetangga untuk hanya sekedar duduk menonton “apa yang ditonton” oleh tetangga kami. Namun, untuk meminta ijin pada ayah saja kami sangat takut. Jadi, sebelum kami meminta ijin, kami sudah berusaha untuk menyenangkan hati beliau dengan membersihkan pekarangan, mencuci seragam dan sepatu sendiri, kemudian mandi dan bersolek rapih. Tapi giliran waktunya untuk meminta ijin, kami pun dorong-dorongan, tidak ada yang berani bicara pada ayah. Hingga akhirnya adik kami yang paling kecil menjadi tumbal kakak-kakaknya. Dia tanpa persetujuannya diharuskan untuk bicara pada ayah agar mengijinkan kami menonton. Dia akhirnya mendatangi ayah yang ketika itu sedang membuat pagar bambu. Terlihat sekali dia takut, badannya gemetar dan selalu saja berhenti untuk membalikkan badan kembali pada kami, kami pun cuma melambai-lambaikan tangan padanya agar segera bicara. Melihat ayah yang memegang golok sambil memancang-mancangkan potongan bambu, adik kami pun bicara sambil takut-takut. Suaranya sangat kecil, hampir tidak terdengar kecuali sayup-sayup dari jarak hanya beberapa meter dari kami. Terlihat dia dan ayah saling bicara, lalu adik kami kembali dan melapor, bahwa kami tidak diberi ijin menonton televisi karena sebentar lagi masa ulangan caturwulan akan dimulai. Betapa kecewanya kami, lalu masuk merajuk pada ibu. Ibu yang selalu berbaik hati pun membantu untuk meminta ijin pada ayah. Tapi tiba-tiba ayah masuk, ibu langsung menyahuti ijin untuk kami, namun ayah yang ketika bicara pada ibu langsung saja melihat ke arah kami sambil melotot, membuat kami tahu diri, patuh, dan segera masuk kamar untuk kecewa.


Yeah..ayah memang selalu membuat kami segan. Ayah jarang marah. Tapi ketika kami membuat salah, beliau tidak segan untuk memukul atau menghukum kami yang nakal. Dan ibu..akan menjadi orang yang akan membauri luka dan lebam kami dengan minyak gosok atau tiupan-tiupan kecil yang selalu membuat kami merasa lebih baik. Meninabobokan kami yang masih sesenggukan akibat habis di hukum ayah. Masa kecil itu...tidak ada kemanjaan...tapi penuh dengan didikan yang penuh kasih sayang.


Kereta yang kutumpangi ini singgah pada suatu stasiun kecil, belum sampai Jogja. Penumpang pun bergantian ada yang naik dan turun dari kereta. Aku masih saja duduk sambil menopang dagu ke arah  jendela kereta. Suasana stasiun kecil memang tidak terlalu ramai, hanya beberapa saja penumpang dengan para penjual makanan minuman. Tapi terlihat kereta sudah penuh sejak dari stasiun Balapan, Solo. Kursi yang tersisa kosong sudah terisi penuh ditambahi penumpang yang baru saja naik. Bahkan kursi di depanku yang tadinya kosong sudah terisi oleh seorang ibu dengan tubuh gempal. Baru saja duduk dan dia langsung saja tidur. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu dan lelah. Terlihat dia begitu kewalahan dengan apa yang di pakainya, berulang kali harus terbangun untuk memperbaiki posisi duduk “sambil tidurnya” agar tidak merusak lipatan dari baju dan rok span nya. Make up nya terlihat mulai luntur akibat keringat yang keluar. Tidak ada memang yang bisa diharapkan dari kipas angin kereta ekonomi, angin yang dihasilkan sama sekali tidak dingin melainkan udara panas saja yang terputar-putar.


Kereta sudah mulai berjalan lagi. Perlahan dan segera kencang. Aku kembali melayangkan pandangan keluar jendela. Terlihat hamparan sawah dengan beberapa rumah kecil di tengahnya. Tampaknya hampir musim panen. Bulir padi yang terliohat mulai menguning. Indah. Matahari senja juga membuatnya makin terlihat oranye. Seperti bergradasi, terasering itu terlihat bergantian kuning, hijau. Mata jadi sedikit relaksasi.


Namun aku segera terusik dengan rintihan dan sesenggukan anak kecil dari kejauhan. Ketika kutengok, ternyata ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan kain, sembari tangan kanan dan kirinya menggandeng sebuah tas dan seorang anak kecil yang sedang menangis. Ibu itu menengok ke kursi kereta ke kanan dan ke kiri sembari berjalan di selasar tengah kereta. Tampaknya dia sedang mencari kursi yang kosong. Dengan bawaan yang cukup berat itu. Dia terlihat kesusahan menarik anaknya yang tidak mau diam dan meronta-ronta ingin duduk. Mereka berjalan hingga ke belakang gerbong, kursi tempatku duduk. 


Terdengar dia berkata, “liat nak..sudah tidak ada tempat kosong lagi...kita berdiri saja ya..ibuk sudah capek jalan sambil gendong adekmu”. Namun si anak kecil itu tetap saja menangis, bahkan dia mulai menggelosorkan badan ke lantai kereta sambil kakinya menendang-nendang mengganggu. Kulirik si ibu yang sedang tidur di depanku, ternyata dia tidak terganggu sedikitpun. Orang-orang mulai menoleh jengah, si ibu itu menaruh tas nya dan mulai berjongkok untuk melerai tangisan si anak. Tentu sangat repot, apalagi si kecil yang dalam gendongan mulai terbangun dan ‘pula’ ikut menangis.


Ku telusuri pandangan ke dalam kereta, tidak ada yang tampak hendak menyumbangkan tempat duduk milik mereka. Apalagi di hari yang begitu panas ini, membuat badan cepat lelah dan pegal. Semua hanya mendelik sembari memperbaiki duduk dan sibuk pada urusan masing-masing. Hanya aku saja yang masih memperhatikan si ibu dan dua orang anak nya itu. Kini si ibu mengambil sesuatu dari tas nya, kain sarung ternyata. Dia menggelarnya di lantai kereta, untuk si anak agar mau duduk disitu saja. Dengan sedikit merengut si anak akhirnya mau. Tapi kembali menjadi masalah ketika tiba-tiba ada petugas kereta yang menegur. Penumpang dilarang duduk di tengah selasar. Akhirnya setelah sedikit berdebat ibu itu harus patuh. Dia kembali berdiri, menyimpan sarungnya, dan karena si anak tidak mau berdiri dan mulai kembali menangis walau sudah dicubit. Si ibu itu akhirnya turut menggendong anak itu bersama adiknya. Tasnya tidak lagi di pegang karena harus menggendong dua orang anak, yang tentunya tidak ringan. Berpeluh dia menggendong sambil bersandar pada dinding gerbong kereta agar tidak terjatuh. Betapa tidak putus asanya ibu itu, untuk menyenangkan si anak. Tidak peduli betapa rewelnya dia. Aku..tiba-tiba saja teringat pada ibu di rumah, betapa beliau sebenarnya menyayangiku, harapan mendapat pekerjaan itu tidak lain hanya untuk kebahagiaanku, bukan untuknya, bukan pula demi kepentingannya. Tapi aku selalu saja mendahulukan ego dalam memahaminya. Aku merasa tertohok, tenggorokanku mulai menahan sakit dari tangis yang tertahan. Betapa aku lupa bagaimana ibu yang berjuang nyawa melahirkanku, hanya untuk melihatku di dunia, ibu rela menderita sakit yang luar biasa. Tidak peduli bagaimana aku kelak. Ibu tetap rela mengambil resiko mati demi lahirnya aku. Lalu..kenapa aku begitu tega mengeluarkan kata-kata kasar itu tadi?


Dengan segera aku beranjak berdiri, memegang tiang gerbong, dan mempersilahkan si ibu dengan dua anaknya tadi duduk pada tempatku. Mungkin seharusnya dari tadi aku melakukannya, tapi aku terlalu lama bergumul dengan segala perasaanku. Yang seharusnya sedikit disingkirkan demi kepedulian terhadap sesama. Awalnya si ibu menolak, takutnya nanti aku capek katanya. Tapi kuyakinkan si ibu, bahwa aku sudah cukup pegal untuk duduk dan mau sedikit berdiri. Ketika si ibu akhirnya duduk dengan segala ucapan terima kasihnya. Aku mengambil posisi berdiri di samping pintu gerbong. Memandang pada sawah yang kemuning dan mentari senja di ufuk sana. Angin berhembus panas, bahkan di senja hari. Sambil menghirup udara aku berjanji, ketika turun dari kereta di stasiun nanti aku akan menelpon ibu, yang mungkin sekarang sedang khawatir. 


Ibu...aku minta maaf...sekarang sedang di Jogja...dan baik-baik saja.