Rabu, 26 Maret 2014

RIAK

Hari ini seharusnya naskah puisi pesanan guru SD ku sudah selesai. Tapi sudah hampir subuh hari, kursor di layar komputer hanya berkedip pada teks yang setengahnya saja belum selesai. Ah!! Wajah itu senantiasa menghiasi kepala dan segala penjuru otak kiri dan kanan ku. Naskah puisi yang seharusnya tentang Hari Guru malah berubah menjadi puisi roman nan picisan, romantis malah jadi bikin geli sendiri.

------------------------------_____________________-----------------------------------------------

Gadis itu, yang sore tadi menghampiri di warkop tongkrongan komunitas seni dan sastra. Dengan wajah bingung lehernya bergerak mirip kura-kura, ke kanan ke kiri, seperti perawan di sarang penyamun, di tengah para gondrong yang jarang kena air, dia macam teratai yang tumbuh di atas air keruh. Sampai matanya bersirobok dengan aku yang sedang menyeruput kopi, berteriak nama ku yang bikin kopi itu muncrat ke meja Sugeng. Kaget.

“Ah…wedhus kowe Mat!!”, Si Jawa gondrong ini mengumpat mukanya di sembur kopi.

Si gadis yang tadi teriak nama ku dari jauh itu mendekat sambil tersenyum.

“Kak Ahmad Ansori kan?!”, ujarnya.

“Ehm..iya…siapa ya?”, aku berlagak sok cool, sambil nge lap tumpahan kopi di meja dan muka Sugeng. Sugeng yang di lap mukanya malah marah-marah. Karena lap yang aku pakai ternyata bekas nge lap lantai yang tadi di kencingi anak Mak Jenap pemilik warkop.

Dia mengulurkan tangan, kibasannya malah wangi sekali, waaahh…entah apa itu wangi yang biasa saja atau memang aku yang jarang kenal dengan sesuatu yang harum nan wangi, sesuatu yang sebenarnya wajar-wajar saja, sesuatu seperti….wanita.

“Saya Lilik, anak jurusan komunikasi, mungkin kakak tidak kenal saya, iya…pasti, padahal dulu kita satu SD, kakak sudah kelas 6 SD pas saya baru kelas 4, tapi saya ingat puisi yang kakak baca pas upacara bendera di hari kelulusan kakak lho!”.

Dia, gadis ini, berceracau cepat…dan Sugeng malah nyengir kuda mendapati aku yang  -ternyata - menganga memperhatikan si Lilik ini bicara.

“Hoih!! Kasian tuh tangannya nganggur, halo…saya Sugeng…ooh..kamu anak komunikasi sebelah toh…kenapa bisa kenal si Mamat ini?? Ada urusan apa yak??! Sampe masuk sendiri ke sini…”, dasar Sugeng, begitu cepatnya dia langsung mengambil dan menyalami tangan Lilik dan bicara macam manajer yang ku bayar.

Si Lilik tampak malu-malu, dia permisi duduk di sebelah kami, jika orang melihat pasti menyangka si Lilik sedang duduk bersama bodyguard-nya sekarang. Dia tidak menolak saat ku pesankan kopi dan malah begitu lancarnya menjelaskan alasan kehadirannya di warkop, hanya untuk mencari aku.

Ternyata dia anak Pak Jauhari –guru bahasa Indonesia ku dulu di sekolah dasar, Pak Jauhari… beliau yang mengenalkanku pada indahnya puisi, mengantarku ke berbagai lomba di kecamatan dengan sepeda ontel tua nya, menggunakan gajinya yang sedikit untuk membayar biaya registrasi dari setiap lomba yang ku ikuti. Tidak ku sangka punya anak yang –manis.

Sempat kaget, tapi juga pongah tadi. Dari banyaknya lelaki yang duduk menyeruput kopi, tapi nama ku yang di teriakkan. Oleh seorang gadis. Mungkin perawakannya bukan bak model, kulitnya juga tidak semulus wanita di iklan lotion. Ah..kenapa pula sampai pada kulitnya ku telusuri. Namun kehadirannya di sore tadi , sanggup membuat mata ku yang tidak pernah terbayangi sosok kaum hawa ini –menerawang.

Katanya, pak Jauhari sedang sakit, sementara sebentar lagi ada pentas seni untuk merayakan Hari Guru Nasional. Seharusnya si Lilik ini yang di suruh membuat puisi demi penampilan siswa perwakilan bekas SD ku itu. Tapi ternyata si Lilik malah mengusulkan aku,  karena dia harus fokus pada skripsinya. Haha!! Padahal aku yang lebih senior darinya saja belum kepikiran untuk mengerjakan sesuatu yang prosedural itu.

“Saya dan teman-teman waktu itu amat kagum dengan puisi yang kakak baca di upacara kelulusan, mengharukan…dan kata bapak itu karya buatan kakak sendiri kan?! Kertas puisinya ada di rumah…di bingkai sama bapak. Katanya… itu masterpiece..”, Lilik bercerita dengan berbinar-binar. Tapi nyatanya hati ku lebih berbinar. Lilik Jauhari… hidungnya mirip bapaknya. Hidung jambu. Matanya sipit, makin menyipit saat dia tersenyum. Dan aku berbohong jika tidak iri pada beberapa tahi lalat yang menempel di pipi bundarnya.

“Trus kamu tahu darimana saya kuliah di sini? Apalagi sampai tahu dimana saya biasa nongkrong?” Aku mulai penasaran.

“Kakak kenal Mudhin? Dia  junior kakak di jurusan sastra, dan dia itu….teman sekelas saya waktu SD, dia yang memberi tahu saya kalau kakak ada di sini, sebelumnya juga saya sudah sering lihat kakak kuliah di sini juga…toh fakultas kita bersebelahan,” jawabnya sembari menunjuk ke arah fakultas isipol.

Aku mendelik. Pantas saja.

Jika ingin jujur, aku malas untuk mengerjakan puisi ini. Apalagi naskah teatrikal untuk kegiatan kampus saja belum ku selesaikan.

Tapi…Pak Jauhari menang dengan menggiring anaknya untuk datang. Ini aneh. Untuk urusan perempuan, aku awam, peduli apa aku pada mereka, yang ku tahu hanya panggung pementasan puisi dan sastra. Bekerja sama dengan para gadis  hanya seperlunya saja. Aku tidak menarik diri. Hanya saja…aku belum tertarik.

Sampai hari ini tiba.

Gadis ini, yang hidungnya seperti jambu air depan rumah, lucu, sekalian manis. Aku masih ingat wajahnya saat pamit, matahari senja yang masih terik membuatnya silau, dan matanya yang sipit makin hilang saja saat ber—dadah bubbye. Imut.

Seperti lagu lawas punya Savage Garden

“I knew I loved you before I met you…
I think I dreamed you into life…”

Tiba-tiba saja dia kuasai semua kuasa ku atas otak yang tertanam dalam kerangka tengkorak kepala ku, hanya dalam sekali jumpa. Ku tepis dan muncul lagi. Seperti riak air. Aku kalah dan bahkan dengkur Sugeng tidak mampu mengganggu.

Adzan subuh akhirnya berkumandang. Ku regangkan badan bangun dari kursi, membuka jendela agar udara kost kecil ini tidak hanya bau obat nyamuk campur jigong Sugeng. Menghirup udara dengan sebanyak-banyaknya. Tuhan… makhluk mu yang satu itu manis sekali.

Drrtttt!!! Drrrrtttt!!!!

Ponselku bergetar, ada pesan masuk.

Segera ku ambil dan kubaca.

“kak…sebentar siang sehabis kuliah saya ambil naskah puisinya ya…bapak kadung penasaran buat membacanya…. By Lilik”

Gawat!! Harus segera dikerjakan nih!! Ini kesempatan baik yang tidak boleh ku sia-siakan. Jangan sampai pertemuan kedua ini buruk hanya karena secarik puisi yang tidak selesai. Ku konsentrasikan pikiran ku, mulut Sugeng yang masih mendengkur ku sumpal sarung. 

Pertemuan yang dadakan, puisi yang dadakan, dan perasaan yang dadakan berjibaku dalam hati, otak, dan punuk pundakku. Tarik nafas….hembuskan….dan mulai mengetik.

Tunggu aku gadis berhidung jambu.