Rabu, 07 Agustus 2013

HARI RAYA


Hari ini adalah hari terakhir puasa. Pihak pemerintah juga sudah memberikan pengumuman tentang jadwal 1 syawal.. Rumah-rumah juga sudah mulai mengeluarkan aroma masakannya masing-masing. Pertanda mereka masih menghargai hari raya.
Sedih rasanya berpisah dengan Ramadhan, terasa bahwa belum banyak hal baik yang sudah dikerjakan. Bahkan masih sangat kurang. Namun benar Ramadhan akan berlalu, semoga semangatnya terus istiqomah di dalam kalbu. Dan semoga saja umur masih dipanjangkan untuk bertemu kembali di tahun mendatang. Aamiin...
Setelah segala aktivitas Ramadhan, hari ini pun saya sudah selesai dengan berbenah rumah. Bebersih agar setidaknya rumah lebih lega, dan sedikit menghalau para laba-laba yang sedang berdiam di sarangnya. Tidak ada yang berubah sebenarnya, rumah walau mau dibersihkan pun tampakannya tetap sama. Rumah dinas tua, rapuh, dan doyong jika diterpa angin. Namun tetap mampu memberikan kehangatan.
Teringat ramadhan tahun lalu. Di akhir ramadhan menjelang lebaran seperti kali ini, saya tinggal sendirian di rumah. Karena keluarga lain mudik ke Jawa, dan saya harus menyelesaikan tugas akhir skripsi demi mengejar ketertinggalan wisuda. Ya, saya lebaran sendirian  di rumah, tidak ada kue, tidak ada baju baru, dan segala euforia hari raya. Tapi damai. Karena sebenarnya, walau berkumpul sekeluarga sekalipun, entah ini karena perasaan saya atau bukan, saya selalu merasa sendirian. Tidak di pahami, dan juga berusaha untuk tidak memahami saja sebaiknya. Kali itu, dengan sendirian. Saya bisa lebih memahami diri sendiri. Bahwa yang saya inginkan adalah berkumpul, tidak hanya secara fisik saja, tapi juga hati, perasaan karena terikat hubungan biologis. Namun, seperti yang sudah saya katakan, tiap kali rasa bahagia di saat berkumpul itu selalu hanya sesaat. Karena kemudian saya menjadi terpisah, tidak secara fisik, namun hati juga perasaan. Mungkin karena umur saya yang berjarak jauh dengan para adik atau karena saya anak pertama yang tidak sesuai dengan keinginan orangtua? Entah. Tapi itulah kenyataan yang terasa tiap kali berkumpul sekeluarga. Terasingkan. Dan jika itu tetap saja terjadi. Benar-benar sendiri adalah keputusan yang terbaik.
Yah, kali ini pun begitu. Berkumpul dan terasingkan. Tapi saya sudah tidak mau lagi memikirkan terlalu lama. Senyum ini masih bisa terkembang seberapa buruknya keluarga. Dan ku ambil sajadah dan berangkat ke masjid untuk Isya. Malam ini adalah malam takbiran. Mungkin masjid bisa lebih menenangkan.
Di dalam masjid tidak begitu ramai. Bahkan sepi. Hanya beberapa jamaah yang bisa di hitung jari. Bahkan ketika iqamat sudah berbunyi. Selesai salam, jamaah yang sedikit ini bertakbir, sahut-sahutan menyambut lebaran. Sesaat terlupa kekecewaan itu, bahkan ketika melihat jamaah yang sudah tidak cukup satu shaf lagi, hanya seperlima nya kukira. Sebegitu cepatkah iman itu luntur?Bahkan ketika ramadhan belum benar-benar pergi?Atau memang amalan ibadah di bulan Ramadhan itu hanya sebuah euforia?Romansa yang sifatnya temporari?Musiman bagai liga sepakbola? Padahal ini Ramadhan, bukan ajang sok-sok alim dan turut memeriahkan, ini akidah yang di pertaruhkan. Masa hanya sampai segitu? Tidak dengan berburuk sangka saya ungkapkan ini, tapi jika pada bulan Ramadhan saja kita mampu menyisakan waktu untuk men-sujudkan duniawi lalu mengapa ketika Ramadhan berlalu kita jadi super sibuk? Bahkan Ramadhan belum benar-benar berakhir. Dan penghuni masjid hanyalah tetua-tetua yang berharap kesempatan umur dan surga di akhir hayat. Mungkin..ya mungkin saja para wanita sedang bersibuk diri dengan semua tetek bengek hari raya besok, namun bahkan para pria yang dianjurkan berjamaah di masjid saja pun sudah sangat berkurang jumlahnya. Ramadhan bukan masa penilaian yang sesungguhnya, melainkan apa makna sesudahnya. Ramadhan adalah bulan penambah poin dari tiap amalan yang dilaksanakan, namun para malaikat akan tetap menjalankan catatannya pada tiap hamba tuhan selama mereka masih hidup.
Tapi inilah kenyataan hidup, akidah itu tidak di paksakan pada tiap masing-masing umat. Hingga pemahaman masing-masing sampai pada yang kata orang hidayah. Andai Allah mau, Dia hanya tinggal bilang Kun Fayakun agar semua beriman dengan Kaaffah. Semudah itu saja. Namun manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang belajar, mencari tahu. Hingga kelak waktunya tiba, masing-masing manusia akan memegang apa yang telah di kerjakan, dan hanya pasang badan saja menyaksikan semua perbuatan yang akan di mintai pertanggungjawaban di hadapan Allah dengan menyaksikan semua scene yang akan di re-run di depan mata. Mendapat buku rapor masing-masing dan masuk ke dalam kelas yang sudah di tentukan. Surga. Atau neraka. Wallahu A’lam.
Selamat Idul Fitri.
Mohon maaf lahir dan batin.
Wassalam..

Jumat, 02 Agustus 2013

Story #1

Ive got this...it has been in my lappy for a long time. I was so in mood to write until finally I my mood gone away.

I wanna continue writing, because I dont have anything yet to share...i think maybe with this writing of mine, people can remember about me..no matter how usefull I am..
I remember also there was a wise word said, "if you'r not rich or a children of ulama..then write..". Yeah..consider it as my heritage hehehe...hope my children will read this in a future...

Ockay..I made this storie as a running story..err..a kinda serial maybe? well please read if  you  dont mind, and give a comment so that i know you like the story and I can make the next story then...:)

please enjoy...*well im still yet make up my mind to find a good title for the story..so maybe you can give me some options after you read it..Thank you...


#1



Tergesa, seperti biasa. Aku berlari keluar rumah sambil menggigit roti yang ku jejalkan untuk jadi sarapanku. Jika tidak cepat aku bisa terlambat untuk masuk kuliah pagi ini. Dan setelah beberapa menit berlari dan menghabiskan roti di mulut, akhirnya kugapai juga tembok halte yang kusam ini. Orang-orang di sekelilingku menoleh melihatku yang terengah seakan baru selesai marathon.

Tooeet…bussshhh….suara bus berhenti di depan halte. Orang-orang termasuk aku naik teratur. Sementara di atas bus itu masih banyak tempat yang kosong, aku sengaja mengambil tempat paling belakang. Bus kembali berjalan. Aku menyenderkan badan, perjalananku kira-kira masih satu jam dan masih harus mengganti bus ke tempat kuliahku. Memang jauh, aku tinggal di pinggiran kota sementara tempat kuliahku berada di pusat kota. Huffhh…,sebenarnya aku enggan untuk kuliah di tempat itu. Karena cita-citaku sebenarnya adalah kuliah ke luar wilayah aku di besarkan. Tapi ternyata nasibku tidak semujur itu, aku tidak lolos pada pendaftaran kuliah dan terpaksa harus berkuliah di tempat asalku. Ku pikir lebih baik aku kuliah saja dulu di tempat ini di banding harus menganggur dan iri melihat orang lain senang menyandang pangkat mahasiswanya. Tapi ternyata setelah ku jalani  beberapa bulan, aku muak dan jengah. Aku tidak tahan kuliah di tempat itu. Bukan karena mata kuliahnya yang membosankan, hanya saja ada beberapa alasan yang tidak aku inginkan berada di tempat itu. Kalau bukan kasihan melihat orangtuaku telah susah payah membayarkan uang masuk kuliahku. Aku pasti telah lama tidak berada di bus ini setiap hari.

 Apalagi di tempat ini aku memiliki kenangan buruk yang ingin sekali ku hapus. Bahkan pernah aku berharap untuk amnesia saja sehingga aku bisa melupakan luka yang masih memerih ini. Sumpah, selama hidupku aku tidak ingin itu terjadi lagi.

Aku kembali tersadar dari lamunanku ketika bus terguncang karena melintasi tanjakan. Ku lihat orang-orang  di bus mulai berkurang. Ternyata aku tidak sadar saat bus menurunkan mereka satu persatu. Dan ternyata sebentar lagi juga aku akan turun.

,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.

Akhirnya, ku jejakkan juga kaki ke tanah. Gerbang kampus seakan menandakan kekalahan akan cita-citaku. Sementara bendera almamater yang berkibar seakan menertawakan aku yang terpaksa meredam gejolak emosi yang terkungkung dalam hati tanpa ada penyelesaian. Hhhh…, padahal aku sudah hampir satu semester berada di kampus ini. Tapi belum ada teman yang berteriak menyambutku datang seperti pada masa SMA dulu. Ku akui, aku sedikit demi sedikit terkikis. Sifatku yang kata orang mudah bergaul mendadak hilang. Yang ada rasa ketidak percaya dirianku semakin runcing. Aku melangkah masuk ke dalam fakultas ilmu sosial yang menjadi tujuanku setiap hari kuliah. Ini juga menjadi masalah bagiku, ternyata fakultasku ini adalah biang masalah. Tiap tahun selalu saja ada perkelahian antar fakultas, entah sudah menjadi tradisi atau tidak aku tidak tahu. Mereka selalu menganggap bahwa hak mereka di sepelekan sehingga mereka selalu mengadakan demo. Tradisi menghimpun anak baru untuk masuk ke dalam kelompok sesama jurusan pun masih di adakan sampai sekarang. Aku dan dua orang lain yang tidak ingin masuk pun jadi sasaran empuk sebagai contoh orang-orang yang di anggap penghianat jurusan. Dan  bahkan aku pernah cekcok dengan senior yang marah karena tidak mampu memasukkan ideologinya ke dalam otakku. Hhh… bukankah aku sudah bilang bahwa aku sedikit demi sedikit terkikis, sebenarnya aku suka masuk organisasi bahkan hobi. Tapi entah kenapa saat ini aku enggan. Atau mungkin saja karena aku tidak suka dengan cara perekrutan mereka. Kami memang tidak di paksa secara langsung untuk masuk himpunan mahasiswa. Bahasa yang mereka pakai pun terasa “sangat mahasiswa”. Dengan balutan kata-kata ilmiah yang bagi anak baru terasa cukup keren. Tapi aku merasakan esensi penindasan hak di dalamnya. Kami para anak baru, jika tidak hadir dalam pengumpulan akan di cari bagai buronan. Jika tidak menyelesaikan tugas dengan benar atau tidak menghormati senior maka kami akan mendapatkan hukuman. Kudengar-dengar dan pernah juga kusaksikan anak laki-laki mendapatkan hukuman pemukulan. Entah itu ditampar pakai tangan langsung atau pakai benda aku tetap tidak dapat menyetujuinya. Mereka mengangggap bahwa terkadang kekerasan bukanlah sesuatu yang jelek jika ingin memperbaiki sesuatu. Bagiku, hanya orang tua, hukum, atau instansi militer saja yang boleh menerapkan prinsip demikian itupun harus disertai dengan alasan yang kuat, tidak asal dan masuk akal dan aku punya hak untuk menyatakan tidak mau masuk. Tanpa ada diskriminasi.

Dan akhirnya setelah beberapa kali manipulasi alasan juga tipu menipu, kabur-kaburan, dan perkelahian dengan senior. Aku bisa bebas dari himpunan bersama dua orang cewek lainnya. Dan kami harus dengan siap mengikuti konsekuensinya yaitu, kami harus menyelesaikan urusan akademik sendiri,menyelesaikan masalah dengan fakultas lain sendiri dan kami tidak akan mendapat perhatian dari senior sedikitpun. Mendengar hal itu, saat itu, perasaanku terbagi dua. Aku gembira karena aku tidak akan lagi lari-lari atau bahkan bolos kuliah demi menghindari senior yang hingga sekarang ini masih menjadi momok bagiku. Namun aku juga takut jikalau nanti aku mendapat masalah di kampusku aku tidak akan mendapatkan bantuan sedikitpun padahal aku masih merasa buta di kampus ini. Orang tuaku pun bukan orang yang memiliki kolega yang akan melindungiku nantinya jika tersandung masalah. Ini terus menjadi doaku pada Tuhan akhir-akhir ini, semoga saja aku menjadi seorang yang lebih berani dan jauh dari masalah yang akan menyulitkan orang tuaku.

Mata kuliah kali ini seperti biasa, tidak mengasyikkan. Monoton dan tidak menarik perhatianku sedikitpun. Catatan yang sedari tadi kutulispun hanya berupa coretan yang tidak jelas, setidak jelasnya masa depanku di tempat ini. Waktu dua jam yang seharusnya singkat terasa sangat lama. Jam-jam seakan enggan merangkak lebih cepat. Tempat duduk pun terasa semakin kasar dan berduri. Saat ini kata-kata yang paling menggembirakan adalah kata-kata dosen yang berkata “sampai jumpa minggu depan”. Keluar dari kelas, tiba-tiba aku ditepuk dari belakang. Saat menoleh ternyata yang menepukku adalah Emon, cewek yang menjadi The Outcast sama sepertiku karena keluar dari himpunan mahasiswa. Dia cewek yang enerjik. Terlihat dari postur dan gerak tubuhnya yang terlihat dari hasil olahraga. Kudengar dia lulus di kampus ini karena prestasinya di bidang olahraga basket. Sementara cewek yang di sampingnya dan memang selalu bersamanya adalah Liza, tidak beda dengan Emon dia juga lulus di kampus ini karena prestasinya di olahraga voli. Dia juga The Outcast. Keduanya adalah cewek yang akan sering di cari-cari para cowok, yah apalagi alasannya kalau bukan karena cantik, proposional, dan kaya tentunya. Ternyata Emon mengajakku untuk ikut mereka berdua jalan-jalan ke mall sembari menunggu jam kuliah ke dua yang baru ada sore hari nanti. Karena tidak ada kerjaan dan ingin lebih dekat dengan mereka, aku menerima tawarannya.

“hhfffhh…tadi ada senior yang mencoba mendekati aku”, keluh Liza.
“tentu saja, kau cantik”,jawabku sekenanya.
“yah…aku senang sih tapi senior tadi tidak cukup tampan bagiku, rasanya malu dikejar-kejar seperti tadi”, timpalnya.

Apa barusan yang dia bilang tadi!? Wah, memang beda orang yang menjadi kejaran dengan orang yang berharap dikejar. Dan aku sepertinya termasuk orang yang tipe kedua itu rasanya. Memikirkan hal itu aku terkikik.

“kenapa kau senyum sendiri Lea?”, Tanya Emon.
“tidak, aku hanya merasa kasihan pada senior yang mengejar Liza itu,haha dia pasti tengsin setengah mati setelah kamu mengacuhkannya Liza”, ujarku.
Mendengar hal itu kami bertiga tertawa terkakak di dalam mobil Emon yang melaju mulus.



,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,


Sesaat setelah menjejakkan kaki di lantai mall. Aku memilih untuk masuk ke dalam toko buku. Liza dan Emon sudah nyaman duduk di kursi empuk salon untuk di layani.
Banyak buku baru, tercium dari sampul plastic yang sangat berbau tajam tampaknya buku itu baru keluar dari pabrikan. Ku ambil satu yang menarik dan mencari pojokan yang aman untuk membacanya.
Cih…buku jelek!! Aku menaruh buku itu asal. Benar-benar tidak boleh tertipu oleh kemasannya. Banyak pula yang kukira penulisnya orang luar negeri, tapi setelah membacanya ketahuan bahwa penulisnya sangat local, untung saja belum membelinya.
Kulihat di seberang rak bukan hanya aku yang juga membaca diam-diam buku yang ada. Seorang karyawan toko mendapati dan menegur. Hehehe…bodoh. Apa salahnya mencoba untuk mecari tahu buku yang hendak dibeli, apa dia mau menerima buku yang di kembalikan karena ternyata buku itu tidak sesuai dengan yang di inginkan?
Aku segera menuju rak komik, disana aku merasa menjadi sejenak kembali ke masa kecil yang belum paham apapun selain hal-hal yang sepele. Ku lihat komik kesukaanku sudah ada jilid barunya, ku ambil, dan kulihat harganya. Hhh…naik lagi. Uang jajanku tidak cukup untuk membelinya. Sepertinya aku akan banyak berpuasa untuk membelinya.

“ambil saja Lea…”, suara di belakangku
“oh kau..bagaimana dengan salonmu?kau sudah selesai?”, ternyata Liza, dia sudah sangat terlihat cantik dengan rambutnya yang tampak seperti iklan shampoo, harum sekali, lebih wangi dari parfum ruangan toko buku ini.

“yaa..kami hanya sedikit creambath..itu tidak memakan waktu lama”, jawab Liza
“mana Emon??”, aku mendelik mencari.
“dia di rak kesehatan, tampaknya dia berkeras untuk mencari cara buat mengecilkan perutnya “, Liza mengernyit, dia bahkan tampak manis dengan mengernyit.

Kami lalu sibuk dengan buku masing-masing, tapi Liza tampak lebih sibuk dengan buku kecantikan. Tak ku pedulikan dan aku kembali terbawa oleh komik yang ku baca. Tidak lama Emon datang tergesa-gesa.

“hei kalian!! Ayo..jam kuliah sudah lewat beberapa menit lalu!!”

Kulirik arloji. Sial! Kami sampai lupa waktu. Jam kuliah sudah mulai lima menit lalu. Jika tidak bergegas kami bisa sangat terlambat. Kami berlari menuju parkiran dan dengan segera Emon memacu mobilnya bak dikejar polisi. Dalam hati kami hanya berdoa, semoga dosen terlambat masuk.
Akhirnya kami sampai di parkiran kampus. Segera berlari menuju ruangan kelas kuliah. Mengetuk dan membuka pintu. Hah!!! Tidak ada orang?? Kemana semua penghuni kelas? Padahal ini bukan ruangan yang salah jadi seharusnya semua orang ada di sini. Tapi ternyata kelas kosong, padahal jam kuliah sudah lewat setengah jam. Aneh. Tapi sesaat sebelum kami hendak pulang, ternyata sang dosen muncul dari belakang. Dia yang berjalan dengan terbungkuk-bungkuk oleh beratnya barang bawaannya juga akget melihat kelas yang kosong dan hanya melihat kami bertiga yang berdiri bodoh di depan kelas.

“kemana teman-teman kalian?”, Tanya si dosen
“err…tidak tahu pak..kami juga bingung”, jawab Emon sekenanya.
“coba kalian hubungi!”, perintah dosen lagi.

Tentu saja kami bingung, kami ini tidak punya nomor telepon teman seangkatan sama sekali. Yaah..karena masalahnya kami ini The Outcast, dan teman seangkatan sudah di doktrin untuk tidak bergaul dengan kami. Kecuali untuk hal yang remeh temeh. Masih bingung dengan keadaan tersebut, tiba-tiba saja muncul seorang cowok dari belakang. Melihat isi kelas yang hanya tiga orang cewek bersama si dosen, dia masuk ke dalam kelas sembari garuk-garuk kepala.

“maaf pak…semua teman-teman sedang ada di himpunan, ikut pengumpulan senior..”, ujarnya.
“loh? Apa mereka tidak tahu ini jam kuliah??”, jawab sang dosen
“mereka tahu pak, tapi takut sama senior”, jawabku emosi

Cih!!! Para senior itu, selalu mampu menerbitkan rasa takut bagi para anak baru. Entahlah. Aku sudah tidak mau mengurusi lagi. Cowok yang ternyata bernama Agam itu baru saja berusaha kabur dari sekumpulan senior yang tadi mengerubungi kelas untuk menghimpun mahasiswa baru menuju himpunan.
Kami berempat berkenalan dan tampaknya akan menjadi teman akrab. Dia cukup humoris. Setelah akhirnya sang dosen memilih untuk pulang dengan membekali kami tugas rumah yang tidak akan kami bagi buat teman angkatan lain. Haha!
Tambah satu orang lagi kelompok ini.
Kurasa, dunia kampus ini mulai sedikit berbaikan denganku.


*bersambung..