Sabtu, 22 Februari 2014

BAGAIMANA DAN SUPAYA

Ini sekelumit kisah hidup yang mungkin (pernah) di rasakan oleh semua orang, atau bahkan cuma oleh saya. Entahlah.

Manusia, atau untuk lebih sopannya kita sebut saja orang.
Ya..saya selalu tertarik dengan orang-orang baru. Selalu berminat untuk mengenal. Dan itu membuat saya tidak canggung untuk mendekati, apalagi jika orang itu mudah untuk dijangkau. Ya... banyak sudah jenis orang yang saya kenal, dekat, dan akhirnya "terpelajari". Ada sosok yang untuk tersenyum dengannya pun kau akan sungkan. Dengan bagaimana mereka memasang perisai maya yang membuat mereka tidak terjangkau atau sebutlah...tidak mudah untuk di dekati.

Seperti menggaruk kepala berketombe (yang makin di garuk, makin gatal). Orang-orang yang selalu memasang citra berlebihan itu terlalu bikin saya gatal. Di garuk dan malah semakin banyak.
Tidak bisa dipungkiri, cara manusia bertahan dan terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan adalah dengan membentuk pencitraan diri, apakah untuk terlihat gagah, berwibawa...atau apalah itu sesuai ingin mereka. Pun saya demikian, kadang jika berada dalam situasi tertentu, saya akan mengambil topeng diri dengan berlagak "tidak takut apapun", walau dalam hati saya keder dengan situasi-situasi yang memiliki tekanan yang kuat. Tapi itu adalah cara awal saya agar setidaknya tidak di sepelekan.

Tapi di sini saya bicara tentang mereka yang memasang pencitraan terlalu berlebihan (setidaknya itu anggapan saya). Yang kemudian berpengaruh buruk bagi apapun di sekitarnya. Bukan asal bicara, tapi jika menilik ke belakang, saya sudah kenyang bertemu dengan orang-orang ini. Mereka yang terlalu mengedepankan tentang "bagaimana terlihat sempurna" untuk mendapatkan sesuatu, sehingga akhirnya berlebihan. 
Dan ini beberapa hal yang selalu membuat saya (pribadi) jengah.
  1. Mereka yang berperaga budaya bukan dari tanah lahirnya yang di banggakan, melainkan merasa hebat akan kemampuannya "berlagak"ala kaum barat. Bahasa percakapan yang (dulu) di sambi bahasa IBUnya kini di dominasi oleh bahasa (yang mereka sebut) internasional. Dibanding bicara dengan bahasa darimana mereka berasal, banyak dari mereka yang bahkan ingin mengaburkan hal tersebut. Ingin terlihat "ohh..licin sekali berbahasa Inggris", sementara merasa baik-baik saja dengan nilai bahasa Indonesia yang rendah, bahkan menertawakan mereka yang masih berbahasa daerah? Hey??? Pahlawan-pahlawan kita tidak akan rela mati kalau bukan untuk mengobarkan eksistensi negara kita bukan?! Negara dengan segala macam keanekaragaman, yang untuk kau sebut satu per satu tidak akan cukup. Lalu tiba-tiba berlahiranlah generasi baru yang bahkan lupa akar muasalnya. Berpakaian tidak lagi layak sebut sebagai "budaya ketimuran". Dengan dalil bahwa era sekarang menuntut semua lini untuk bergerak seragam sesuai "yang sedang beken". Dan sementara beken itu merupakan hasil iklan, hasil olahan media produksi, lalu kau hidup (tidak sadar) sebagai budak. Bukan hidup atas diri sendiri. Semua seakan sudah tertanam di alam bawah sadar bahwa keren yang terpatok itu adalah ini dan begitu. Mengangguk menyetujui lalu mengakui itu kebenaran.
  2. Menuhankan darah ningrat yang (dipaksakan) ada dalam dirinya. Keturunan raja diraja, bangsawan, dan segala gelar tentang darah biru yang ada di Indonesia, memang termasuk salah satu kearifan lokal yang patut untuk dilestarikan, dari segi sejarah dan budaya. Tapi ketika hal itu di umbar-umbar untuk mendapatkan kehormatan dan monopoli, saya rasa sudah salah. Bagaimana mereka mengambil segala kemungkinan tentang urutan-urutan pohon keluarga, menyambung-nyambungkan silisilah, mengkawin - mawinkan anak cucu agar tidak terputusnya darah ningrat yang ada (mengambil setiap inci kemungkinan agar bisa tetap ber-keturunan ningrat). Untuk hidup dan berbangga diri akan hal itu. Apa yang membedakan kalian para ningrat dengan kami sebenarnya? Bicara tentang masa kekinian, dimana eksistensi dan kontribusi para ningrat sudah terlalu kabur. Apakah adil, kalian yang sudah mendapatkan keistimewaan sejak jaman tanah air masih di jajah hingga sekarang merdeka untuk selalu mendapatkan porsi lebih? Untuk tetap mendapatkan hormat yang berlebihan? Untuk selalu duduk di depan pada tiap undangan acara? Untuk selalu mampu tiba-tiba berada di depan antrian dan melewati kami bagai mendapat kartu Pass? Untuk selalu duduk di atas singgasana sementara kami yang awam bahkan harus jalan dengan lutut untuk menemui mu?? Bahkan kami sudah harus menerima gelar di depan nama kalian, yang seakan mengabarkan tentang eksistensi dan porsi lebih yang bisa kalian dapatkan.  Untuk bicara zaman, kalian dan semua tetek bengek hal tersebut sudah terlalu purba. Membuat slogan DEMOKRASI di negara ini seakan hanya jargon belaka.
  3. Pangkat yang menjadi harga mati atas patutnya menginjak yang tidak berpangkat. Masih saya ingat ketika itu, betapa masih kecilnya saya, selesai mengepel lantai namun harus kecewa karena tamu yang datang tidak ingin melepas sandal untuk masuk ke rumah saya (hanya) karena dia bos bapak saya. Mungkin pangkatmu akan memberikan manfaat lebih dengan lebih banyaknya gaji yang di miliki untuk memiliki fasilitas hidup yang mewah. Mungkin pangkatmu membuatmu memiliki (sedikit) lebih banyak kesempatan dari mereka yang (dianggap hanya) orang biasa. Mendapat cangkir yang lebih baik dari setiap jamuan, mendapat kursi yang lebih empuk. Lalu setelah semua hal hebat dan berlebihan itu masih membuatmu tidak puas? Berlagak macam tuhannya dunia, menganggap selain dirimu adalah budak? Diberikan hak untuk tidak sama? Di suruh untuk terima perlakuan rendahan dan diam? Kami (mungkin) harus menghargai status sosial mu, mungkin itu dari jerih payah yang tidak mudah, Tapi itu bukan pembenaran untuk tidak menghargai (sebut saja) bawahanmu atau orang yang berada tidak sama denganmu. Bahkan tuhan melarang tiap satupun dari makhluknya untuk berjalan angkuh di atas bumiNya. Lalu apa yang membenarkan pangkat untuk menginjak hak dari kami yang juga manusia sama seperti kau?
Ini bukan bicara dendam, tapi kepatutan yang ada sekarang ini terlalu melabelkan diri akan kesombongan. Bagaimana pencitraan di bentuk sedemikian rupa dengan segala bentuk pembenaran-pembenaran yang (saya sebut) klise, untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu. Kepatutan yang belum tentu benar lalu tiba-tiba menjadi hal formal yang wajar. Duh!! Negeriku.. entah saya yang masih awam memaknai kehidupan ataukah memang dunia sudah keblinger. Bagaimana mendapatkan kehormatan di mata dunia. Menanduk dan memaksa selain mereka untuk tunduk. Bukan bicara hal agamis, tetapi jika manusia bisa lebih memahami jati diri masing-masing. Kita akan tahu bahwa di antara kita tidak ada yang berbeda. Perlakuan baik adalah keharusan untuk di dapati setiap dari nyawa, bukan di miliki sepihak dengan alasan-alasan buatan, rekaan sepihak.

Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda itu (menurut saya) bukan tentang hal lebih apa yang membenarkan (suatu) perilaku (yang tidak di inginkan) tertentu di bebankan pada siapapun. Kesopanan yang di inginkan, akan serta merta muncul seiring dengan kebajikan dan kebijaksanaan yang jadi tingkah laku sehari-hari. Tidak perlu dipaksakan dengan pencitraan diri yang (sebenarnya) semu dan maya.

Minggu, 16 Februari 2014

LATO'

Sosoknya jika kau tilik tidak sekokoh dua tahun lalu
Usia menggerusnya, tubuhnya merenta
Memakan semua kekuatan di dalam sana
Kecuali semangat
Jika kau tatap ia tidak akan menatapmu balik
Bukan karena sombong
Tapi penglihatannya di ambil Tuhan di umur muda
Mengecualikan nanar duka
Gerak mata yang mencari suara

Warna tidak lagi nyata
Kelam, hitam, kelabu jadi kawan
Invalid... ya mungkin ia tidak lagi sempurna
Bahkan buta membuat semua indera mengerjakan lebih dari seharusnya
Hidung untuk lebih tajam mengenal aroma
Kulit untuk meraba bentukan benda
Telinga untuk selalu waspada atas gerak sehalus helai sutra
Dan lidah untuk mengecap rasa tanpa gambar

Derita, nestapa, sebut saja semua nama, perwakilan dari duka
Tapi airmatanya keluar hanya karena debu
Merutuki Tuhan tidak pernah terlafadz
Lantunan bijak selalu jadi penyemangat nadi agar tetap berdetak
Ini sudah takdir, katanya

Padahal...
Bahkan untuk berjalan beberapa langkah
Semua anggota tubuh harus berjaga
Menjaga celah dari menabrak, terjatuh, dan tersesat
Duhai...Tuhan..apa boleh aku menyebutMu kejam?
Kau buat manusia begitu tersiksa sesuai kehendakMu?

Lalu  tetap saja ia menempuh semua resiko terburuk dari gelap dunianya
Bukan untuk mengemis
Hanya mengikuti kangen akan cicit nun di kota
Berkendara di antara belantara
Dan sudah sangat bahagia dengan dekap dan suara
Tanpa gambar...

Lato'ku....sayang...takkan ku sebut Kau malang
Walau dunia mungkin tidak berdamai
Tapi kau tegur aku yang mengutuk Tuhan
Kau ajarkan syukur tanpa dikte
Kau tunjukkan semangat tanpa perintah
Hanya laku dan bijak kata mu yang buatku membuncah
Dari jiwa sesak dan rasa ingin berontak

Lato'ku ... sayang... ini cucu mu berwajah gempal
Kemarin bersikap berandal dengan ceracau nakal
Tapi hari ini Kau buatnya sadar
Hidup bukan tentang mengeluh..bukan tentang merenung bimbang
Dan kelak nanti kupastikan kau akan menangis
Menangisi betapa tidak sia-sia nya Engkau mendidik aku