Sabtu, 18 Februari 2017

Cerita Mikrolet #1


Imah hari ini sedikit lebih manis.

Polesan bedak tabur murah yang dibeli di pasar kemarin dan seusap gincu merah muda bekas majikan membuat wajahnya lebih segar.
Pagi ini seperti biasa, Imah akan berangkat ke pasar membeli keperluan dapur, daster batik kuning miliknya tertiup angin sembari menunggu mikrolet biru nomor 6 lewat.

Satu...dua...tiga...

Sudah beberapa mikrolet biru nomor 6 yang lewat. Tapi tangan Imah tidak juga melambai untuk menghentikan satupun. 
Tidak, ya...karena Imah tidak menunggu pada mikrolet semata. Imah menunggu mikrolet dengan sosok supir yang sering terlihat memakai kacamata hitam dengan kumis  klimis tipisnya.

“Ah...itu Bang Ujang”, mata Imah begitu tajam melihat sebuah mikrolet melaju dengan kecepatan sedang kearahnya.

“Imah...”, si supir menyapa.

“Bang Ujang...”Imah menjawab sembari membuka pintu depan samping pak supir.

Mereka hanya saling mendelik satu sama lain dengan malu-malu. Tersenyum dengan dada yang berdegup kencang. 

Teringat seminggu yang lalu, ketika Imah kecopetan di pasar dan tidak punya uang untuk ongkos angkutan umum. Ujang yang saat itu sedang minum kopi di samping mikrolet birunya menawari untuk mengantar sampai ke depan kompleks perumahan majikannya. Awalnya Imah takut, tapi senyuman dan ramahnya mata dibalik kacamata hitam necis Ujang membuatnya takluk.

Dan kini sudah tiga kali perjalanan pulang pergi pasar, Imah menggunakan mikrolet Ujang. Awalnya sebagai bentuk terima kasih Imah. 
Tapi sepertinya... kini Imah dan Ujang telah memiliki maksud yang lain.



Ujang sudah tahu kearah mana Imah akan pergi. Pun Imah, mempercayakan tujuannya kepada orang yang sedang memegang kemudi.
Tanpa kata sampai tujuan, Imah turun dan hendak membayar.

“Tidak usah neng...”, si supir menolak.

“Ah..jangan Bang, Eneng kan numpang mobil sampai ke pasar...”, Imah sedikit pelan berbicara – malu dengan penumpang di belakang.

Tapi Ujang bersikeras, menolak.

“Ga usah Neng, besok...abang jemput lagi ya di tempat tadi...”, Ujang menurunkan kacamata hitamnya sembari mengedipkan satu matanya. 

Mulai berani genit. 

Demi melihat hal itu, Imah langsung memerah pipinya, ia makin malu. 

Tapi senang. 

Dan mengangguk takzim.

“Iya bang...terima kasih sebelumnya...”, tanpa menunggu jawaban si Imah langsung balik badan masuk ke dalam pasar. 

Sesekali berbalik ke arah mikrolet biru dan mendapati supirnya yang masih memandangi dari jauh.

Dalam hati Ujang berkata, “cantik sekali Imah pakai daster itu...”.