Jumat, 27 Desember 2013

Seperempat Abad

Tepatnya 25 Desember kemarin..usiaku genap 25 tahun. Rasanya aneh, untuk tetap dalam kondisi yang sama secara psikis namun ternyata jasad berjalan menuju renta. Saya... secara pribadi, merasa masih anak si mamak yang belum bisa beranjak dari balik ketiak beliau. Masih gentar ketika melihat tatapan marah mata bapak. Dan jujur saja... saya menikmati seperti itu. Rasanya aman, nyaman-nyaman saja, tidak punya beban, tidak pula di bebani apa-apa. Masih si anak kecil tanpa ekspektasi eksternal.

Namun memang sudah sangat lagu lama. Bahwa hidupmu berubah seiring waktu. Bahkan walau kalian sendiri tidak berusaha untuk berubah. And you dont have to guess cos it happens within me (as always).

Ada satu kalimat yang belakangan ini selalu di sebut mamak untuk menegur saya yang masih kalap untuk bangun pagi. Katanya " umurmu sudah seperempat abad Lia" . Sesingkat itu. Tapi menohok sampai ke sumsum tulang rasanya. Bahwa dengan porsi seperempat abad yang sudah di habisi itu. Belum ada dari hidup saya untuk hidup sesuai apa yang sebenarnya diri saya inginkan. Sudah sejak lahir hingga setua ini, kita hidup atas bentukan dari keinginan orang lain. Kita lahir dengan nama yang di berikan, dengan agama yang sudah harus di iyakan, bahkan kita punya sedikit hak untuk memilih baju apa yang hendak di pakai pun itu baru bisa dilakukan menjelang lepas masa sudah pubertas. Intinya yang saya mau bilang adalah kita ini bahkan orang-orang besar di luar sana tidak terbentuk atas kemauannya sendiri. Semua apa yang ada hingga sekarang ini adalah hasil dari kepasifan masa lalu. Karena manusia adalah tanah liat, dia terbentuk dari hasil tangan sekelilingnya. Sekeras apapun melawan bahkan perlawanan itu sendiri adalah hasil perundingan dari segala faktor eksternal di sekeliling, bukan?!

Bicara tentang usia seperempat abad saya, dengan umur segini, hidup mulai makin menjengahkan saja. Ketika arti dari tiap kelakuanmu adalah akumulasi dari penilaian orang di sekelilingmu pun kau tidak minta mereka untuk menilai. Makin banyak saja tuntutan-tuntutan di pundak ini. Tidak secara langsung di perintahkan untuk ini ataupun itu. Tapi saat kalian mencapai usiaku, percayalah kalian akan tahu apa maksud mereka bahkan hanya dengan melihat tatapan mereka.

Pertanyaan-pertanyaan mereka pun mulai sarkastik! Kalau anak jaman sekarang sebut dengan 'kepo'. Yeah...tidak lagi sungkan untuk mendahulukan sopan, karena usia ini adalah pembenaran bagi mereka untuk menyentil.

"Sudah kerja dimana?"
"Tidak lulus cpns ya?"
"Apa? Ngajar di tempat kursus?"

Itu semua masih bisa saya jawab dengan nyeleneh sembari melengos. Tapi tidak dengan pertanyaan satu ini.

"Kapan nikah?"

Nah lho! Sejak kapan nikah sebenarnya punya tenggat waktu? Kita hanya melihat umumnya masyarakat yang menikah dengan usia tertentu untuk kemudian menjadikan hal tersebut sebagai batas ideal. Semua yang kini menjadi kebenaran bukankah hanya merupakan sebuah kesepakatan? Lalu mengapa untuk menjadi 'sedikit' lain itu menjadi sangat salah?

Wanita yang belum menikah dimana seharusnya dia sudah meneteki anaknya di anggap tabu. Di minoritaskan. Dan segera dikucilkan tanpa tedeng aling-aling. Kejam. Apa sih makna "seharusnya" yang di labelkan pada tiap dari apa-apa yang ada? Siapa yang menjadikan  para mereka itu sebagai hakim dan juri?

Kita, terlepas dari apapun juga. Mau itu nilai sosial, agama, medis atau apapun juga. Bukankah hidup bukan hanya untuk menilai orang lain? Setidaknya ketika orang itu bahkan tidak merugikan diri penilai itu sama sekali. Lalu? Misalnya ketika saya belum menikah untuk sekarang ini? Masih bertahan dengan ingin capai cita-cita dulu lah setidaknya. Apa itu begitu menyusahkan orang-orang di sekeliling saya? Apa begitu meresahkan untuk tidak sesuai dengan sistem purba mereka?

Yaah...saya bicara sebagai representasi dari kaum saya. Yang mengalami diskriminasi sosial. Bukannya tidak mau menikah. Setidaknya belum. Tapi jangan lalu serta merta mendiskreditkan mereka yang tidak ingin menikah. Itu salah.

Mungkin, daripada menyarankan KB atau nikah di saat tepat dengan ideal usia yang "sekali lagi" di tentukan. Pemerintah lebih baik memberikan sosialisasi kepada masyarakat, bukan hanya tentang bebas berpendapat tapi juga tentang pentingnya menghargai privasi masing-masing dari individu untuk memilih apa yang menjadi pilihan hidup mereka, belum mau menikah cepat contohnya.
Bukankah tidak semua yang banyak dilakukan orang banyak untuk kemudian menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kebenaran?!

Menikah, menurut hemat saya adalah sebuah hal yang sakral. Bukan hanya berupa seremonial yang di laksanakan "dikarenakan" alasan klise tentang kata "sudah seharusnya". Menikah bukan pula dengan alasan menghalalkan apa yang sebelumnya terlarang. Tidak. Bukan itu maknanya. Menikah adalah suatu kebutuhan prifat masing-masing individu. Dimana manusia yang memang diciptakan berpasangan ini, sudah merasa tidak ingin lagi sendiri. Lalu kemudian disitulah peran semua sektor untuk melegalkannya, sosial kah..secara birokrasi administratif kah...atau agama sekalipun. Setidaknya itu menurut saya. Dan saya menerima pendapat yang lain tanpa perlu memaksakan pemikiran pribadi ini. Tidak ada yang boleh menikah dengan keterpaksaan. Tidak secara usia, ataupun desakan siapapun. Kita sedari lahir sudah menjadi pasif. Hasil bentukan dari para pendahulu. Lalu sampai kapan kita masih berkutat dengan sesuatu yang ternyata sangat primitif ini? Bukankah begitu jahat alasan orangtua yang memperlakukan anaknya hanya karena ingin menjaga nama baik mereka sesuai norma yang masih perlu banyak perdebatan ini?Dimana nilai sebagai manusia di
tempatkan?!

Mereka tidak sadar, bahwa akibat tingkah diskriminatif itu menyebabkan banyaknya pasangan yang menikah secara terpaksa, dijodohkan tanpa adanya diskusi. Dan hal itu berbuntut dengan banyaknya tindakan buruk lainnya akibat ketidakpuasan. Perceraian, KDRT, dan perselingkuhan. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab akan hal itu?

Ini bukan tentang membenarkan hal tentang kebebasan sebebas-bebasnya. Karena manusia adalah makhluk yang saling terikat satusama lain. Hanya saja di antara kita harus saling menghargai satu sama lain. Terlepas dari sisi mana kalian memandang. Agamakah...sosialkah...ini adalah pendapat pribadi yang terlahir tidak dengan mengutip dari referensi manapun selain sebuah pengalaman. Bukan pula bicara liberal karena sayapun menganut agama yang mengikat saya dalam rutinitas religius.

Kalian bebas untuk menilai...dan berpendapat. Tapi jangan berusaha untuk memaksakannya pada orang lain :)

Jumat, 13 Desember 2013

(SATIRE) RUAM-RUAM




Bicara tentang cita-cita. Mungkin ada dari kalian yang sudah sangat bahkan melibihi tinggi langit. Kata Soekarno memang kita disuruh bermimpi setinggi langit, jadi kalau pun jatuh akan pasti jatuh di sekitar bintang-bintang. Jadi tidak begitu buruk-buruk amat. Tapi Soekarno lupa kalau di langit sana..di angkasa…apapun bisa terjadi, mungkin saja kita terjatuh ke angkasa raya yang empty, tidak ada apa-apa, ruang hampa bahkan oksigen pun tidak ada, atau jatuh ke planet dimana air juga tidak ada, parah, dan yang tidak pernah di inginkan adalah..ketika ternyata kita jatuh dan terhisap masuk ke dalam black hole (nah lho).
Dan kurasa itulah yang terjadi dengan saya (ya..sekali lagi tentang saya). Saya bermimpi kejauhan, dan harus menghadapi kenyataan untuk jatuh, terhisap ke dalam black hole. Semua hitam, bahkan untuk merasa hidup saja susah.

Saya…pada umumnya manusia, atau sebutlah seperti kebanyakan mahasiswa yang baru lulus. Pasti ingin segera bekerja, pursuing sesuatu yang memang sudah ter-list di buku harian atawa life map masing-masing. Ingin jadi inilah..itulah…macam-macam. Dan dari kebanyakan orang yang menulis segala tetek bengek cita-cita setinggi langit itu, saya pula ada di dalamnya. Sudah sedari SMP saya menulis segala angan di atas buku harian, di tiap tulisan sebelum tidur malam, di setiap lembar belakang buku tulis atau buku cetak pelajaran, dan sialnya juga kedapatan menulis cita-cita di Kitab pengajian yang seharusnya tidak di tulis hal-hal yang duniawi.

Setelah lulus kuliah, dengan segala senyum kebanggaan di hari pertama wisuda. Ternyata memang hanya itu saja. Ya..sehari itu saja. Segala peras keringat banting tulang orangtua selama masa kuliah hanya untuk sehari itu saja. Hari wisuda. Setelah itu..segalanya menjadi buram (setidaknya untuk saya). Dari sekian banyak yang ‘akhirnya’ hari ini sudah menggapai cita, atau setidaknya sudah bekerja. Kini saya kembali menjadi bagian dari yang kebanyakan. Yaitu yang gagal.

Tidak tinggal diam, saya segera me-review segala hal yang sudah saya rencanakan dengan matang. Kok bisa gagal ya? Kok susah ya? Semua kesalahan saya runut satu demi satu. Hingga akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Saya memang di takdirkan gagal. Yah..mungkin ‘belum’ berhasil.

Semua tulisan ini, bukan untuk mengecilkan hati para pencari hidup. Tapi hanya memaparkan sedikit dari isi hati. Bukan numpang curhat, tapi menunjukkan kenyataan pada seseorang lain selain kalian. Saya.
Saya bagian dari kehidupan yang ‘masih’ terpinggirkan.  Salah satu contoh dari si Gagal. Sudah terlalu banyak nasihat dan wejangan. Yaa..awalnya mungkin sedikit menolong emosional sehingga lebih tenang, legowo, nrimo. Tapi makin kesini, dari semua keseringan gagalnya itu, merubah semua nasihat dari para kekawan yang baik menjadi terasa (maaf) klise. Kok ya tidak ada hal yang baik terjadi dengan mempercayai semua elusan-elusan kata nan bijak itu. Tetap saja saya gagal, mencapai cita.

Dulu..ya bisa bilang dulu, karena saya sudah setahun jadi sarjana dan belum produktif sampai sekarang ini. Dulu saya selalu hanya menjadi penonton atas segala keberhasilan kawan-kawan. Selalu bisa beri senyum selamat pada yang juara. Bahkan masih bisa menjabat tangan mereka. Dan segera pulang ke rumah untuk menangis, merutuki diri, dan selalu meludahi jargon “kalau mereka bisa, kenapa saya tidak bisa”. Karena toh nyata nya yaa..sayalah itu yang tidak bisa. Istilah “kalau rejeki tidak kemana”, yaa..rejeki itu sepertinya selalu salah alamat dan tidak singgah pada saya. Mulut, otak, hati, dan jiwa sudah amat muak dengan segala petuah-petuah nan klise. Macam foto-foto ala emo, begitulah saya dengan keseluruhan jiwa saya.

Hingga saya, menonton suatu reality show, yang mempertontonkan segala kejahatan dunia pada si fakir. Bagaimana si miskin di eksploitasi para redaktur media, di perlihatkan bagaimana mereka struggle, bertahan hidup di tengah makin keringnya kepedulian manusia. Sementara ‘mungkin’yang menonton mereka akan segera lupa dengan apa yang barusan mereka lihat. Yeah..di luar sana. Ternyata ada dan terlalu banyak yang lebih menderita dari saya, bahkan mereka sudah melampaui ambang batas kemampuan mereka, doa-doa mereka sudah meneriaki langit, tapi entah Tuhan atau Kehidupan yang memang tidak mengindahkan. 

Sekarang saya sudah tidak percaya lagi istilah “ kalau mereka bisa pasti kita juga bisa”. Andai demikian sudah pasti semua orang sudah menjadi presiden. Andai demikian saya pasti sudah jadi seorang mahasiswa S2 di Jogja, andai demikian saya juga sudah kongkow-kongkow di restoran mewah. Rejeki memang tidak lari kemana, karena dia lari pada yang beruntung. Apa yang (setidaknya menurut saya) benar adalah tidak semua kemampuan seorang manusia dengan manusia lain itu sama, itu sebabnya ada ukuran-ukuran yang di labelkan pada manusia, entah itu IQ, volume otak atau apalah itu. Dengan kemampuan yang berbeda-beda itu, tentu saja hal yang orang lain bisa lakukan, belum tentu bisa kita lakukan, dia bisa lolos jadi PNS, entah karena pengaruh “internal” atau otak, semua tidak bisa juga di lakukan oleh semua orang. Tidak semua impian mu bisa tercapai, itu tergantung kemampuan masing-masing lalu kemudian rejeki mu yaah sebut saja porsi untuk mu di bagikan, kamu bagian gagal dan yang bagian lainnya dapat jatah berhasil.

Ini bukan untuk mengecilkan semangat dari yang membaca, tapi supaya kalian tahu tentang realita. Bahwa hidup tidak semudah mereka yang sudah punya perusahaan keluarga sendiri, yang memang di takdirkan punya otak encer, dan yang kebagian untung terlalu banyak. Hidup itu bejo. Hanya yang bejo lah yang punya hidup asik. Kalau memang hidup segampang segala jargon dan motto penyemangat hidup, tidak mungkin para aktivis mahasiswa yang berkoar-koar menjadi oposisi pemerintah, sekarang giliran lulus malah berkoar-koar jadi kacung menutupi borok pemerintah dengan  alasan “sudah jadi pejabat pemerintahan” juga.

Sekarang yang bisa saya lakukan adalah tetap berjuang, tapi tidak membuang-buang waktu pada hal yang sudah saya tahu kesempatan saya kecil. Saya mungkin pragmatis, atau seorang opportunis. Tapi saya menjalani hidup sesuai aturan main yang di tawarkan, SMA dulu mungkin saya tidak paham bahwa dunia adalah hutan belantara…yang kuat memakan yang lemah. Dan terlalu lugu untuk selalu membenci para penjilat. Idealisme yang realistis, ada hal-hal yang ‘mungkin’ masih saya pegang sebagai kebenaran, tapi…sekarang bisa lebih fleksibel, bisa kompromi, bisa di kondisikan sesuai apa yang di butuhkan.
Saya…tidak lagi makan buak simalakama. Tapi lebih ke hidup segan, mati tak mau.

*silakan menilai masing-masing. Terima kasih.