Jumat, 10 Januari 2014

KULDESAK #1


Manusia pada semua dari sisi hidup, selalu ada sisi terkelam, sisi rahasia yang sampai mati pun akan di bawa.
Dan ini kisahku. 

Saat itu aku baru saja menyelesaikan sarjanaku. Seperti yang lainnya, aku tidak pernah jera untuk berhenti pada tiap pengumuman di dinding, hanya untuk sekedar melihat apakah ada informasi kesempatan kerja di sana. Aku pun menjadi pelanggan koran Sabtu sore. Yeah..koran Sabtu selalu menerbitkan lebih banyak informasi di banding hari lain.

Aku baru saja selesai mengajar hari itu, yeah...mengajar bukanlah jiwaku. Tapi aku tidak bisa diam begitu saja menolak semua yang datang sementara aku harus membiayai kehidupanku sendiri. Sejak aku pergi dari kota lahirku ketika kuliah, aku berjanji untuk tidak lagi meminta uang pada orangtua. Dan disinilah aku, kota asing yang selalu begitu asing bahkan setelah 5 tahun aku tempati.

Anak-anak yang baru selesai ku ajar keluar berlarian, aku duduk sendiri di pojok ruang kelas, menyalakan komputer jinjing tua milik ayah, yang di berikan kepadaku. Membuka beberapa email, mengecek beberapa apakah ada kabar berita dari semua resume yang ku kirim, menghapusnya karena tidak ada yang begitu penting. Punggung ini rasanya makin berat saja. Sudah setahun aku selesai sarjana dan jawaban belum selalu ku sampaikan pada ibu tiap kali beliau bertanya tentang pekerjaan di telepon.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka, aku sedikit kaget sampai melihat sesosok lelaki berdiri menghadapku,

 "err...maaf, di depan tidak ada orang jadi saya langsung masuk, saya mungkin tidak sopan dan mengganggumu..", ujarnya dengan suara berat, membuat aku langsung berdiri dan memperbaiki ujung rok ku yang sedikit tersingkap. 

"ah..tidak apa, ya..saya akan memanggilkan seseorang untuk anda, anda bisa menunggu di ruang depan", terburu-buru aku menutup laptop dan berlari naik ke lantai dua bahkan melewatinya tanpa sedikitpun melihat wajahnya. 

Entah, tapi aku selalu gugup bertemu dengan lelaki, apalagi di saat aku tidak memiliki kesiapan apa-apa. Di lantai dua aku juga tidak bertemu siapapun, kemana semua orang? Frontliner kami, July juga tidak nampak. Aku berlari turun kembali. Lelaki itu sudah tidak berada di depan kelas. Menarik nafas sejenak lalu aku berjalan ke depan.

 "ehm...maaf sir, sepertinya FO kami sedang keluar, ada yang bisa saya bantu?", aku berusaha sopan.

"oh yah, tak apa...saya hanya ingin bertanya, apakah tempat ini juga bisa mengajar privat?"

"privat sir?"

"ya...bukan untuk saya, untuk gadis kecilku, dia ...ehm...terlalu penyendiri, sehingga tidak memungkinkan buatnya untuk belajar bersama di tempat ini", ia menjelaskan sambil menggelengkan kepala.

"well...ya tentu saja kami bisa, tapi...boleh saya tahu mata pelajaran apa yang hendak di ambil?"

"Prancis...yeah......dia baru saja pindah ke kota ini, ah..cerita yang rumit, jadi kupikir...mungkin lebih baik dia mulai belajar dengan privat terlebih dahulu, saya belum memberi keputusan apakah akan mendaftarkannya di sekolah umum..atau home schooling", ia berbicara dengan mimik yang aneh, sesekali matanya berbinar namun sesaat pula redup. 

Suaranya yang berat, membuatnya sangat berwibawa, tidak tampak bahwa ia sudah hampir seumur dengan ayahku, jika bukan cincin di jarinya yang masih dikenakan, dan cerita tentang anak gadisnya yang baru datang bersamanya, mungki saja aku mengira ia belum berkeluarga.

"ah yaa...itu bagus, emm..bagaimana jika anda mengambil brosur ini terlebih dahulu, kemudian anda bisa kembali besok sembari menentukan jenis kursus apa yang gadis kecil anda inginkan?," tawarku.

"oh benar..! itu baik sekali, baiklah..terima kasih saya akan datang lagi besok", ia mengambil brosur di tanganku, dan tersenyum.

Segera ia berdiri dari depanku dan masuk ke dalam mobil. Tampaknya dia menyetir seorang diri. Sebuah Honda Life keluaran tahun 70-an. Hmm...sepertinya dia menyukai hal yang old school. Klasik. Sama denganku. Konyolnya, aku menatapnya hingga hilang di ujung persimpangan.

Aku masih ingat bahwa di rumah, aku menyimpan banyak barang-barang lama. Sejak kecil aku sangat menjaga semua barang yang ku miliki. Saat itu aku berpikir, suatu saat dimana aku dewasa, barang-barang ini akan menjadi barang klasik yang langka. Aku bisa menjualnya jika aku beruntung. Dan Honda Life Kuning Gading itu...membuatku merasa memiliki sesama pecinta hal-hal lama...yang klasik.


*to be continued...(hopefully can continued it)

Kamis, 09 Januari 2014

GAGAL

Aku sedang bergabung dalam sebuah komunitas ketika mengenalnya. Sebuah komunitas kecil tentang kumpulan pecinta perangko di kota kecil ku. Dan dia datang, muncul tetiba saja. Bahkan sama sekali aku tidak menyadarinya sampai ketika beberapa kali pertemuan para anggota komunitas aku datangi. Dia tersenyum, manis…tapi menurutku itu lebih menunjukkan wibawa dibandingkan senyum tulus. Sebagai anak baru aku hanya menjawabnya kikuk, dan memaksa bibirku yang kaku untuk sedikit memberi tarikan, dan kupikir aku tidak menciptakan sebuah senyuman malah terlihat seperti menyeringai.

Yeah…mom selalu menegurku, untuk lebih sering tersenyum. Karena orang-orang sering mengira aku sedang marah atau ngambek jika sedang berjalan sendirian. Padahal aku sedang tidak berekspresi apa-apa. Dan kurasa aku akan mulai menuruti apa yang mommy pinta. Tersenyum. Tidak mungkin aku akan membalas senyum manis pemuda di komunitas perangko itu dengan seringai ku yang mirip zombie. 

Hari ini seperti biasa, agenda pertemuan anggota komunitas akan berkumpul di taman kota, untuk saling berbagi koleksi terbaru. Aku pun juga sudah memiliki beberapa perangko lama setelah satu jam memeriksa berkardus-kardus di loteng penuh debu dan sarang laba-laba. Dua buah perangko tahun 1996. Ku ambil dari amplop surat kiriman kakek dari Jakarta. Perangko bergambar dua orang pekerja bangunan dengan topi pelindung, serta tulisan besar dengan tulisan SEMANGAT  PELITA. Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya. Tapi kupikir teman-teman lain belum ada yang punya. Kusingkirkan sedikit sarang laba-laba yang melekat di bahu jaketku dan segera mengayuh sepeda menuju taman kota.

Sampai di sana, beberapa anggota sudah duduk melingkar. Aku memarkir sepeda dan segera mengambil tempat duduk di antara mereka. Dan hei… tebak, dia cowok itu, yang belakangan ku tahu bernama Zayn juga sudah datang. Jaket merah dengan celana pendek hitam. Damn! Kenapa dia begitu manis hari ini. Sedangkan aku, seberapapun aku berusaha mengelap sarang laba-laba yang tadi menempel tidak juga membuatku lebih baik. 

“hei…namamu Lily bukan?”
Aku menoleh dan mendapati kalo Zayn yang berbicara.
“err..yeah, Lily, itu aku” aku menjawab gusar, ku harap aku sedikit memberi kesan yang baik.
“Namamu seperti bunga, bunga kesukaan Rani, tunggu sampai kau ketemu dengannya, lalu kau akan tiba-tiba begitu paham tentang bunga yang menjadi  nama mu, hehe…” dia tertawa. Manis. Seperti biasa. Aku menatapnya agak lama. Kurasa sampai beberapa detik setelahnya dan akhirnya aku tersadar, gelagapan sendiri ketika anak-anak yang lain mulai saling berbagi koleksi perangkonya. Oh tidak, sepertinya aku menyukainya. Suka. Rasa yang aneh. Aku menggelengkan kepala ku dan mulai sibuk mengeluarkan prangko dari dalam tas.

Kami saling memperlihatkan perangko masing-masing. Perangko mungkin hal yang sangat biasa dan kadang terlupakan. NAmun di jamannya, perangko dengan jumlah rupiah yang tertera di labelnya itulah yang akan menjadi jaminan dalam berapa harikah suratmu akan sampai di tujuan. Aku menyukai setiap perangko yang ku dapat, dia seperti memiliki kenangan tersendiri. Dan entah kenapa hari itu, aku yang sangat menyukai perangko, malah lebih sering menatap Zayn yang memiliki senyum manis dibanding perangko yang ku koleksi sejak kecil ini.

=/=/=/=/=/=/=/===/=/=/=/=/=/=/=/=/=//=/=/=/=/=/=//=/=/=/

Hari sudah senja ketika aku mengayuh sepeda, pulang ke rumah setelah berkumpul di taman kota. Zayn membagiku perangko tahun 1995, bergambar satu buah bunga Raflessia Arnoldy yang sangat besar. Dia bilang, itu di dapat dari neneknya. Bukan dapat malah. Dia mengutilnya dari balik laci mesin jahit neneknya. Dari surat om nya di Padang. Entah kenapa dia memberikannya hanya padaku, entah aku yang terlalu menganggapnya istimewa atau apalah itu. Tapi aku seperti memiliki hal dari Zayn yang tidak di miliki orang lain, walau hanya sebuah prangko tua kuno. Ini sangat special.

Sesampai di rumah aku menempelnya di buku dengan bagian kertas kosong yang paling bagus. Memandangnya agak lama sampai aku merasa konyol sendiri. Bukan bunga itu yang tampak di perangko melainkan wajah manis Zayn.  Rambutnya yang hitam dengan matanya yang coklat tua membuatnya sangat manis. Ah…sungguh beruntungnya aku, jika dia suka dan mengajakku untuk jadi pacarnya. Tidak peduli aku belum mengenalnya dengan baik. Aku merasa senyumnya tulus. Dan malam itu, aku bermimpi dalam tidur. Zayn tersenyum, lagi. Dengan aku yang berada di sampingnya, bersandar di bahunya. Mimpi yang manis.

=/=/=/=//=/=/==/=/=/=/=/=/=/=/=/=/=/=/=//==/=/=/=//=/=/=/=/=/=/=/

Hari ini aku bangun sedikit lebih pagi dari biasanya. Mommy sudah berangkat kerja. Hanya tinggal aku di rumah. Selama musim libur sekolah ini, aku memang hanya di rumah saja. Bermain dengan komputerku, atau mencari surat-surat lama untuk aku lepas perangkonya. Pernah suatu kali aku mendapati surat lama Ayah untuk Mommy. Surat cinta rupanya. Tidak bisa ku bayangkan bagaimana sulitnya orang dulu berkomunikasi dalam jarak jauh. Kata mommy, surat tercepat yang pernah ada di jamannya adalah telegram. Itupun masih berselang satu hari. Aku tidak akan bisa hidup di masa itu. Aku adalah pecinta hal yang express, yang kilat dan instan. Tapi aku mencintai barang-barang kuno seperti perangko. Kau akan merasakan bagaimana pengorbanan seseorang menyukaimu, bersusah payah mengirimi mu  surat nun dari seberang sana, yang dengan perangkolah lalu bisa terkirim ke tujuan. Aku tidak heran jika mommy masih menyimpan surat-surat lama dari ayah. Kurasa…itu adalah cara mommy mengenang ayah yang sudah tiada. Ayah adalah seorang yang bekerja di kilang minyak di tengah laut, sejak kecil aku jarang bertemu dengannya. Hingga akhirnya kecelakaan itu mengambil nyawa ayah dan membuatnya tidak pernah kembali lagi ke rumah. Ayah tenggelam bersama kilang minyak itu.

Segera aku bebersih rumah, mommy akan sangat marah besar jika pulang kerja dan mendapati rumah masih sangat berantakan. Aku terbiasa melakukan ini. Toh, di rumah ini hanya tinggal aku dan mommy. Nenek biasa datang bersama kakek hanya untuk menengok kami untuk lalu pulang sembari mengingatkan agar jangan membuang barang apapun yang ada di atas loteng. Yeah…aku heran kenapa orang-orang tua sangat suka mengingatkan hal yang sama berulang kali.

Aku baru saja mau memasak nasi namun ternyata tabung gas sudah habis. Aku harus membelinya di depan. Di toko kelontong  Ibu Milly. Hal termalas yang harus aku lakukan. Disana seringkali banyak pemuda yang tidak jelas duduk-duduk memetik gitar dan akan meneriakimu hal-hal yang aneh. Heran kenapa Ibu Milly tidak menegur dan mengusir mereka. Padahal mereka hanya akan membuat pelanggannya lari.
Segera aku menarik jaket sekenanya, membawa tabung gas kosong untuk diganti yang baru. Aku tidak menaiki sepedaku, hanya memegangnya sambil berjalan sementara gas itu ku taruh di keranjang depan. Entah apa yang akan di teriakkan padaku oleh para pemuda itu nanti melihatku hanya berjaket dengan celana piyama lusuh dan belum mandi. Aku tidak peduli.

Sesampai disana aku bersyukur, pemuda-pemuda tidak jelas itu tidak ada. Segera aku masuk ke dalam toko sembari menenteng gas kosong itu. Tapi  oh Tuhaaaan…. Siapa itu di depan kasir. Itu…Zayn!
Aku berusaha menutupi diriku di samping botoi-botol gallon besar yang ternyata tidak lebih besar untuk menyembunyikanku. Dia melihat ke arahku. Aduh! Dan parahnya dia mulai melangkah mendekat. 

“hai…Lily…apa yang kau lakukan di belakang gallon?” dia mendatangiku tepat di depanku.

Apa yang harus ku jawab? Muka ku? Pakaianku? Sama sekali tidak siap dengan pertemuan mendadak ini. Percuma menyesal tidak mencuci muka terlebih dahulu tadi. Zayn sudah mulai tertawa melihatku pucat.

“hei..kau tidak apa-apa?”, ujarnya.

“well…yeah aku baik-baik saja…errr…ini aku mau menukar tabung gas”, jawabku sambil memilin-milin ujung jaketku dan masih menunduk, malu.

“oh..sini biar aku bantu mengangkatnya, dimana kau taruh sepedamu?”, Zayn langsung mengambil gas baru untukku dan mengangkatnya.

“oh terima kasih banyak…itu..sepedaku ada di luar…aku..mm…aku…”

“yaa..kau bayarlah harga gas ini, biar aku bawa gas mu keluar”, dia pun segera keluar.

Setelah membayar harga gas itu. Aku segera keluar menemuinya. Tak lupa sedikit memperbaiki bentuk ikat rambutku yang tidak rapih.

“well…kau baik sekali, terima kasih banyak Zayn…” ucapku, berusaha untuk bernada lebih manis.

“ah…ini biasa saja, sampai jumpa di pertemuan di taman kota sebentar sore Lily..”, tukasnya.

Aku mengangguk dan memberikannya senyum paling manis yang aku bisa. Ya, aku tentu dan pasti saja datang. Sebentar sore aku akan datang lebih cepat dan berdandan lebih manis lagi agar Zayn melupakan wajah burukku hari ini. Kurasa..dia juga menyukaiku. Aku harus membuatnya lebih terpikat lagi.
Baru saja aku berbalik hendak naik ke sepeda, Zayn kembali terdengar memanggilku. Aku menoleh, dan dia melambai. Mengajakku kembali. Lalu? Siapa itu perempuan yang baru keluar dari took dan berjalan di sampingnya?

Aku kembali memutar sepedaku, ragu. Namun tetap berjalan mendekat.

“err….ya..ada apa Zayn?”, aku menjawab sambil terus menatap perempuan di samping Zayn. Cantik.

“Ini Rani, orang yang ku sebut menyukai bunga yang memiliki nama seperti nama mu Lily…”, dia memperkenalkan perempuan itu. Aku mengangkat tanganku untuk menyambut tangannya, berkenalan.

“hai…kau bernama Lily?waaaah…aku iri, kenapa ibu tidak menamaiku dengan nama Lily jugaa..kau tahu, aku sangat menyukai bunga Lily, putih…symbol kesetiaan…oohh…aku sangat senang waktu Zayn memberiku bunga itu di tahun ketiga hubungan kami…”, Rani, perempuan ini. Tiba-tiba bercerita panjang lebar tentang bunga Lili. Dan apa itu maksudnya tahun ketiga?Hubungan? Oh tidak. Apa dia…?

“yeah…kami sudah pacaran selama 4 tahun, Rani sangat menyukai bunga Lili, makanya aku sangat kaget ketika ternyata ada anggota baru yang bernama Lily, yaitu kamu..hehehe…”, Zayn berbicara dengan lugas dan tampak sangat bahagia. Dia tertawa hingga rambut hitamnya bergoyang, manis. Namun kali ini, manis yang tidak bisa ku miliki. Aahhh….

Tiba-tiba kurasa kepalaku pusing. Mimpi semalam tidak lagi indah. Matahari terasa sangat terik sampai ke ubun-ubun. Rasanya mau pingsan kalau aku masih berlama-lama disitu. Aku segera permisi setelah sebelumnya aku harus menelan ludahku yang terasa pahit, tertelan bersama impian-impian konyol yang sudah sempat mampir ke otakku.

Belum lama aku mulai berjalan lagi ketika Zayn teriak dari jauh, “jangan lupa datang sebentar sore ya..Rani juga akan datang..!”.

 Aku tidak lagi menoleh melainkan hanya melambaikan tangan saja.
Kurasa…aku tidak yakin akan bisa datang.
Dan ku tuntun sepedaku pulang.Lunglai...dan gagal.