Sabtu, 23 Juli 2016

Hasrat Siang

Hari ini sangat terik.

Jalan sepulang sekolah kali ini akan terasa lebih berat dari sebelumnya.

Sedikit terantuk batu langkahku berjalan menjauhi  gerbang sekolah.  Ajakan teman untuk berkumpul ngebakwan sudah sedari tadi kutolak.  Dan setelah berpuluh menit berjalan aku menyesali keputusan tersebut.

Seteguk air dingin terasa akan begitu menyegarkan mengganti beberapa liur yang tertelan. Namun tiada lain tiada bukan langkah kaki tetap harus kutegapkan berjalan pulang. Karena botol minum yang ku bawapun sudah kosong sejak istirahat pada jam kedua di sekolah.

 Yeah..., setelah beberapa bulan yang lalu keluarga kami pindah rumah. Jarak dari rumah ke sekolah sekarang begitu jauh. Dan dengan uang jajan yang tidak seberapa, aku harus terus menghemat pengeluaran dengan berjalan kaki ke sekolah. Jika dulu jarak rumah ke sekolah hanya 30 menit maka sekarang aku harus menghabiskan hampir satu jam untuk mencapai rumah. Ada jalan pintas yang bisa kulewati dan bisa menghemat lima belas menit waktu perjalanan ke rumah. Tapi itu artinya aku harus memutar jalan pematang sawah di belakang sebuah komplek perumahan yang baru dibangun dan berharap anjing salah satu pemilik rumah sedang terikat dengan baik.

Tidak.
Aku memilih melalui jalan biasa.




Ah...hari ini mungkin matahari ada tiga.

Aspal jalan seperti beruap. Menciptakan fatamorgana di atas jalan. Debu jalan beterbangan seiring dengan deru kendaraan yang lalu lalang. Beberapa peluh sebesar biji jagung yang mengalir dari dahi sudah berulang kali kuusap. Terseok langkah ku akibat sepatu baru yang dibelikan bapak di pasar, seminggu sebelum tahun ajaran baru dimulai.
Ck..
Harusnya aku memakai selotip pada tumitku demi menghindari gesekan yang masih kaku pada ujung tumit sepatu baru ini.

Masih ada beberapa blok lagi untuk sampai di rumah. Aku berteduh di bawah sebuah pohon beringin besar yang sudah sangat tua umurnya. Kata orang, pohon beringin ini tidak ada yang berani menebang karena ada penunggunya. Sejenak bergidik menatap rimbun daunnya, namun tidak peduli seberapa menakutkannya pohon itu, aku sudah sangat kepanasan untuk melanjutkan perjalanan dan tetap berteduh di bawahnya.
Sembari mengipas tangan dan menghapus peluh. Terdengar di seberang jalan suara anak-anak yang terlihat sedang mengerumuni ibu penjual es. Tidak hanya aku, mereka mungkin juga sangat gerah dan haus akibat kepanasan. Berebut mereka hendak segera dilayani dan menyeruput sekantong es yang sekali lirik saja aku tahu, itu es oplosan.

Warna oranye dan merahnya yang ngejreng seperti sengaja dibuat untuk menarik perhatian pembeli. Dan seperti sekerumun serangga di malam hari yang tertarik pada cahaya terang. Anak-anak dan oh..ada seorang bapak juga, segera saja berlarian hendak meneguk kesegaran yang terbayang. Tanpa mereka sadari, mereka sudah masuk perangkap. Warna minuman yang membuat liur terangsang untuk keluar itu sama sekali tidak mewakili rasa yang ditawarkan. Oranye untuk rasa jeruk dan merah untuk strawberry? Ya, seharusnya.
Tapi nyatanya itu hanyalah pewarna makanan semata – ya semoga saja pewarna makanan asli bukan untuk bahan tekstil demi menurunkan biaya proses produksi.  Pewarna yang tidak memiliki rasa. Rasa manis yang ada berasal dari citrus. Bukan gula asli. Semua artifisial. Dengan varian rasa yang hanya ada satu. Manis. Dengan mengkonsumsi yang kebanyakan akan membuatmu pusing beserta tenggorokan yang gatal.

Eerrgghh...
Aku segera menepis bayangan itu. Menelan ludah dan beranjak untuk melanjutkan perjalanan pulang.

“hai say!! Mau bareng becak?”

Cindy, cewek termanis di kelas menyapaku dari atas becak yang ditumpanginya.
Bahkan disaat panas seperti inipun dia terlihat sangat sempurna dengan sedikit keringat yang mengalir di pelipisnya. Kesannya makin membuatnya ranum. Bahasa kekiniannya -- seksi. Berbeda dengan aku yang terlihat seperti memakai lapisan minyak goreng pada wajahku disertai keringat yang muncul di daerah muka yang jauh dari terlihat manis.

“ah, tidak..rumahku sudah dekat, trims ya..”

Cindy pun mengangguk dan meminta tukang becaknya melanjutkan perjalanan melihatku menolak dan menunjuk ke blok depan seakan rumahku sudah dekat.

==================================

Menengadah dan matahari masih betah untuk bersinar.
Tak apa.
Sebentar lagi aku akan sampai di rumah.
Terbayang masakan yang dibuat ibuk, -- tidak mewah.
Hanya semangkok sayur sop sederhana dengan campuran beberapa potong wortel dan kentang yang dibumbui kaldu ayam instan dan kuahnya yang diberi kocokan telur ayam peliharaan bapak. Nikmat. Sungguh beruntung jika bapak mau merelakan beberapa lagi untuk digoreng dadar, dicampur rajangan cabai rawit dan dua siung bawang merah putih. Dan sepertinya kemarin bapak juga baru saja menerima dua karung beras hasil sawahnya di kampung. Tentu nasi panas yang akan dihidangkan masih sangat pulen. Dan selalu, masakan ibu tidak akan pernah disajikan tanpa sambal terasi khas buatannya yang akan melengkapi kelezatan menunya, secara paripurna...
Sluurrrpp...aaah..sedaaap.

Membayangkannya saja sudah membuat hatiku bergejolak.
Aku menggeleng-geleng kepala bangun dari khayalan.
Perutku senada dengan otak membuat detak jantungku memompa darah lebih banyak dan adrenalinku terbangun untuk segera bergegas. Tumit yang luka sudah tidak ku pedulikan. Semakin cepat sampai di rumah aku akan semakin cepat terlepas dari siksaan ini. Dan akan semakin cepat menikmati masakan ibu yang sudah menari-nari dipelupuk mata ini.

Dua blok tanpa kusadari hanya kulalui dalam 10 menit.
Sapaan ibu RW saat hendak keluar membeli rujak hanya ku jawab dengan senyuman sekedarnya.

Ah...pagar bambu buatan bapak dari jauh sudah terlihat.
Aku bahkan tidak sabar menunggu lampu lalu lintas berubah merah untuk segera menyeberang. Seperti kuda pacuan yang hendak dilepas, aku menunggu. Nafasku mendengus karena tidak sabaran. Perutku bernyanyi karena lapar. Dan selalu saja kepalaku gatal disaat-saat seperti ini. Sambil menggaruk aku berdecak. Disaat seperti ini, indra yang dimiliki akan semakin peka. Fokus pun makin gampang teralihkan. Bahkan kucuran air mancur di PUSKESMAS samping jalan ini membuatku membayangkan segarnya jika diseruput.
Ah, bahkan aku bisa mencium bau masakan tetangga. Ikan asin kering yang digoreng di atas minyak. Pasti sangat sedap dimakan bersama nasi panas.
Wuuff...air liurku semakin berlarian.

Lampu sudah merah!

Sedikit berlari aku menyeberang jalan.
Membuka gerendel pintu pagar dengan kesusahan karena terlalu kegirangan sampai di rumah.
Pintu depan rumah seperti biasa, terkunci.
Ibu merasa perlu untuk mengunci pintu depan sebelum kami memiliki pagar permanen untuk halaman rumah. Karena beranggapan kami adalah warga baru yang belum mengenal lingkungan disini. Beliau tidak ingin TV layar datar yang baru dimilikinya hilang dicuri sebelum masa kreditnya lunas.
Konyol. 
Mungkin. Tapi cukup masuk akal.

Aku pun membuka pintu dengan kunci yang ku miliki.
Ah, sedikit lagi. Bahkan meja makan dengan tudung saji diatasnya sudah terlihat dari jendela depan.

“assalamu alaikum...” aku mengucap salam dengan sedikit teriak.

Melempar tas seadanya di ruang tamu dan segera bergegas ke kamar mandi untuk mencuci tangan, kaki, dan tentu wajah yang sudah sangat kucel.
Aku tidak menyadari bahwa suasana rumah sangat sepi. Dan tidak ada yang menjawab salamku. Orientasiku hanya tertuju pada meja makan bertudung saji hijau. Sedikit terpeleset karena tidak melap kaki yang basah dengan baik saat keluar kamar mandi. 
Aku hanya bercelingak celinguk mencari ibu.

“mungkin ibu sedang solat di kamar”. Batinku.

Air liur dimulutku sudah sedari tadi menderu.

“yeeey...makaaaaaan!” aku berteriak sendiri sambil mengambil piring di rak dan mengggeser kursi.

Tudung saji pun ku angkat. Hupp!! ...

Mulutku masih menganga demi melihat isi dibalik tudung saji di atas meja makan.

=======================

Kosong... .
Hanya sebuah piring dengan secarik kertas bertuliskan pesan ibu,

“Ibuk sama bapak berangkat ke pengantin Bulikmu,
nda sempat masak karena mobil tumpangan sudah datang duluan,
kamu masak indomi soto saja dulu ada di lemari, mungkin ibu sama bapak baru malam pulangnya.

Ibuk.”


Kuhempaskan badan ke kursi sembari mengelus perut.

Hhh...khayalanku buyar seketika. Makanan yang sedari tadi kubayangkan pudar. Ibu tentu tidak bisa mengirimkan pesan melalui ponsel karena aku tidak pernah membawa ponsel ke sekolah. 

Nasib...  .

Dengan langkah gontai dan karena perut yang lapar, aku pun beranjak membuka lemari kecil disamping karung beras. Mengambil mie instan rasa soto itu dan menjerang air di atas kompor.

Hasratku siang ini, harus terpenuhi dengan semangkuk mie saja.







Rabu, 01 Juni 2016

Gara-Gara Bussang

Assalamu alaikum, apa kabar semua?


Siapa yang sudah menikah?

Well...

Saya tidak begitu memahami primbon hari baik, namun keliahatannya beberapa bulan sebelum bulan Ramadhan dan sesudahnya. Adalah hari nikah massal. Meja jadi penuh undangan pernikahan, tiap minggu bisa tiga sampai empat kali  “kondangan”. Sampai bingung baju mana lagi yang harus dipakai.

Lemari bufet “macea” jadi beragam bentuk suvenir-suvenir pernikahan yang berbanding lurus dengan makin kosongnya kantong akibat harus mengisi amplop undangan dengan nominal (kalo nda malu-malu jako) minimal lima puluh ribuan (biasa yang beramplop putih polos tanpa nama, itumi).

Bagi kalian yang kondangan bersama pasangan resmi.

Berbahagialah karena paling banter yang ada di pikiran kalian hanya “ih..sapa indo bottingnya itu kenapa canti sekali make up sama lamming na gang, kenapa nda disituki juga dulu ayah...”. 

Bagi yang bersama pacar.

Pasti perasaan dan wajah mupeng “ngebet” (mau sekalimi) nikah kalian bakal sangat terlihat, sambil berfoto di area photo boot dengan kertas bertag “WE ARE THE NEXT”. Dan kata-kata “doakanga juga naah kodoong”.

Tapi... jangan cari mereka yang jomblo.

Karena --  “dari tadi mi dia ada di dekatnya meja makanan pigi sendok nasi sama daging plus kerupuk tambah satu air gelas”. 

Mengeksekusi kue penutup dan buru-buru keluar sambil mengantongi suvenir pernikahan dengan tulisan terima kasih atas kehadirannya yang seakan-akan tertawa dan berkata,
 “bagemana cika’ gammarak ja pake baju bodo toh, kau kapan?”

*dustaakk!*

Tidak perlu berlama-lama bagi mereka yang lajang untuk berada di acara pernikahan, disana bagai ajang pameran antara -- “baju na sapa paling bagus, gincu dengan warna apa yang tidak hilang “matte” nya waktu gigit daging ayam, alis na sapa paling sempurna, bulaeng (baca : perhiasan emas) na aji yang mana yang paling singarak, ah..pokokna kalo bisa dikalah heba ki pengantinga”. 

Hmm, dan saya jadi ingat, sebentar lagi bakal jadi objek hinaan bagi mereka, para penghuni kehidupan sosial yang menjadikan semua atas sesuatu adalah seharusnya, termasuk pernikahan – yang harus disegerakan tanpa perlu alasan lain akan kenapa belum dilakukannya (belibet yak bahasanya..haha).

Hari itu, keesokan harinya akan diadakan acara “mappettu ada” atau lamaran, untuk adik perempuan saya (ehem..yak adekku, bukampi saya, puas mako semua ketawaikaaa’..).

Malamnya, kami sekeluarga cukup kerepotan dalam mempersiapkan menu yang akan dibuat untuk kudapan tamu calon mempelai pria. Rumah yang sempit memuat oksigen cepat habis dan kami berbagi karbondioksida (sepertinya) sehingga rumah terasa bussang (baca : gerah), sesak dan panas. Kipas angin sedari tadi hanya memutar-mutar hawa yang gerah. Para pa’dawa-dawayya (baca : koki, bisa  juga disebut : keluarga dan tetangga yang rela membantu menghabiskan hari untuk bikinkanko kue) terlihat beberapa kali mengusap dahi dan leher, serta tangan yang terkipas-kipas tanda ke-bussang-an.

Rasanya ingin segera membelikan mereka alat penyejuk ruangan saat itu juga, tapi kantong juga limit kartu kredit sepertinya tidak begitu cukup untuk AC dengan ukuran PK AC yang sesuai. Tiada lain tiada bukan, satu-satunya yang bisa terbeli adalah kipas angin (lagi).

Saya dan adik lain (bukan yammau menikayya). Diberi tugas untuk mencarinya malam itu juga, pukul sembilan malam, Yang artinya semua toko yang menjual barang tersebut sudah tutup karena kami bukan tinggal di kota yang begitu ramai, yang ketika membuka toko sampai larut malah hanya akan mengundang panga (baca : maling, garong, tukang rampok atau apapun ungkapan yang merepresentasikan orang jahat perebut suami eh maksud saya barang orang lain, hhehe).

Melihat kondisi tersebut saya dan adik memutar otak untuk menuju ke kawasan pusat ibukota, mungkin disana masih ada toko yang buka. Dengan menggunakan motor kami melaju on the way. Leher kami berulang kali menoleh ke kiri dan kanan, mata kami jelalatan menelusuri jalan seakan mencari tersangka kasus korupsi yang sedang melarikan diri.
Sesampainya di kawasan wisata kuliner Maros yang sedang ramai (kebetulang malam minggui juga), terlihat dari kejauhan ada sebuah toko alat listrik yang memajang tiga buah kipas angin. Kami berhenti di depannya, pemilik toko dari balik toko kacanya  memandang kami pula. Tatapannya sekan berkata, “singgahko sine masuk toko ku eh...”.

-----------

“Ani, itue ada kipas angin kayaknya..”
“Yakinko? Tiga ji itue kuliat..nanti jele’?!”
“Iyo pade keliling maki dulu sapa tauk masih ada yang lain, kalo ndada baruki kesitu”

Motor pun kembali menderu menuju arah belakang demi mengelilingi semua barisan ruko, yang pada  akhirnya kami sadari, semua toko yang disinyalir menjual kipas angin sudah tutup. Yang buka hanyalah cafe-cafe kopi dengan tema yang sama, yang sering dikatakan –kekinian, dengan wallpaper yang cihui demi para selfie, wefie maniac, dilengkapi gelas dan sendok adukan kopi yang diberi signature nama cafe demi menunjang hasrat para instagram-er untuk diposting. Duduk berjam-jam dengan hanya satu gelas (bukan kopi biasanya) demi mendapati password wifi.

Ah, sami mawon kabeh..

Ide yang sudah lebih dulu dimiliki kaum di Jawa sana untuk kemudian diadopsi dan masuk dalam tataran – tawwa gaulnya mi—era.

Keep fighting with that dude.

Kembali kepada kami para pencari kipas angin.
Setelah keliling dan tidak jua mendapati toko lain yang buka. Kami pun sempat bingung.

“Ani, ayokmi minum jus deh, ato makang basso mungking?”
“Weh kak Lia, pokus ko, disuruki cari kipas anging”.
“Astagaah...iyo dih, maapkanga hilapka’..”

Setelah sedikit lelah yang mengakibatkan disorientasi, kami pun bertolak untuk kembali kepada toko awal tadi yang masih buka dengan tiga buah kipas angin “mejeng” di etalase tokonya.

Ah, sial. Karena toko itu ternyata sudah tutup juga akhirnya. Hanya kegelapan yang ada di depan tokonya. Dengan aura yang sekan berkata “sapa suruko tida singga memang dari tadi”—nya.

“Ani, keliling maki pade dulu di pasar deh, sapa tauk masi adaji buka”.
“Ndada mi itu nah, karena malam mi, sore saja na tutup semua mi”.
“Enda boleki putus asa Ani, bussang
na itu kaweh di rumah”.

---------------

Motor kembali melaju. Dengan sedikit lebih cepat.

Kami beberapa kali berhenti karena melihat ada toko penjual baju yang masih buka dan terlihat memiliki kipas angin dari kejauhan, 
“weh itueehh..ada na jual kipas angin!”

Motor diputar dengan segera. Wush!

Namun segera kecele (baca : apadih kecele..?? emm..kayak ketipu mungkin) karena ternyata itu bukan kipas angin yang dijual melainkan --  “memang punya na ji penjualka na pake ki karena panas tongi na rasa kapang toko na”.

*gubrak!!* (padahal rannu ta mo gang..)

Dan setelah berkeliling, semua tetap sama. Toko sudah pada tutup. Disitu kami baru sangat menyadari bahwa Maros belum jadi kota besar. Tingkat produktivitas warganya belum begitu tinggi. Yang masih buka sampai tengah malam hanyalah para penjaja buah dan penganan oleh-oleh daerah saja. Demi melayani para penumpang bus atau kendaraan antar kota, yang mungkin sedikit lapar atau kebelet ingin ke toilet.

Saya pun memiliki ide untuk mencari kipas ke arah bandara, pikiran picik saya masih saja berharap bahwa mungkin masih ada toko yang masih buka jika sudah masuk kawasan kota besar.

Namun saat berjalan ke arah sana, tepat di depan mesjid Almarkas Maros, kendaraan cukup padat dan sedikit macet, ada beberapa motor yang berhenti di tengah jalan dan bahkan memutar balik.

Saya pun sedikit membentak sebuah motor yang dikendarai oleh seorang pria muda yang dipeluk mesra oleh penumpang wanitanya dari belakang (etdah..bukan karena jealous nah..) karena tiba-tiba motornya memutar arah pas di depan motor kami.

“We tolona ineh! Satu arah ki ine we.!”

Yang dibentak hanya melengos tidak peduli seakan lari dari sesuatu.

Kendaraan di depan pun semakin sesak saja, dari kejauhan terlihat rompi kuning kehijauan yang mengkilat diterpa sorot lampu kendaraan mengarahkan mobil dan motor untuk masuk ke dalam area kantor bupati. 

Polisi.

Saya (dengan tolonya) masih saja tidak curiga. Hemat saya waktu itu – “oh..mungkin ada pejabat sedang nikahan jadi para tamu diarahkan masuk ke dalam”. Motor pun saya lajukan tetap ke depan.
Sampai akhirnya benar-benar berada di depan para polisi. Saya pun ditepuk adik dari belakang, bagai ditepok seakan lepas dari pengaruh hipnotis.

“We kak Liaaaa....polisiiiiii!!”

*Deg!!*

“Wih iyoooh mate mijaaaaa”

Kami berdua panik, takut ditilang. Karena tidak (sedang) memegang STNK dan SIM motor. Walau helm terpasang apik, dan semua body motor lengkap (ya iyalah!). Namun kami tetap panik, toh...kami paham budaya sweeping – off the record saja yak. 

Apalagi saat seorang petugas mengarahkan tangannya yang mana maksudnya adalah mengarahkan kami untuk berhenti ke pinggir, padahal saya sudah coba pakai tips dan trik “jangko liak-liaki polisia kalo di jalan nanti nakira ki taku’..” dari seorang teman (yang enggan disebutkan namanya).

Wajah kami terlihat baik-baik saja.

Walau jika diterawang dan dilihat lebih dekat, kalian akan mendapati hidung kami yang kembang kempis tidak beraturan, keringat dingin yang berbulir-bulir, dan degup jantung yang vibrasinya bagai sedang nonton konser metal.

“mati mijaa...mati mijaaa”

Hanya itu yang ada di dalam hati kami.
Pikiran kepada orangtua di rumah yang menunggu kami di teras, para tukang masak yang sedang kepanasan, apalagi motor yang masih kredit dan beberapa lembar uang kipas angin yang ada di kantong seakan-akan memburu (hahaha..lebay yak).

Akhirnya seakan otomatis saja, ketika petugas itu lengah mengarahkan kami ke pinggir, saya tiba-tiba saja tetap melaju pergi. Lari dan lari. Pokoknya kabur. Bagai sedang dalam misi Tom Cruise di Mission Imposible, saya melaju kencang menghidari sweeping. Jilbab kami melambai-lambai kencang sejalan dengan hati kami. 

Bruuuummm..!!

“Ani! Ani! Liaki bede! Nda na ikuti jaki plokis ka??!! Liaki Ani!”
“Astaga kak Liaaa...weeeh, hati-hatikoooo...pelan-pelanko!!”
“Liaki Aniiiii....!”
“Enda jii, enda jiii”

Wuushhh wuusshhh...!

Hari itu berasa ada dalam sirkuit MotoGP saja (hahahahaa..).
Tanpa lihat ke kiri dan kanan, motor diarahkan ke arah keramaian PTB (sok-sok menghilangkan jejak bedeee’).

Berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Seakan lepas dari penyamun.

“astagaaah kak Liaaaaaaa, dumbakku weeeh!!”

Bah, saya juga dumbak (baca: deg-degan kayak mau tampil di depan penonton Indonesian Idol). Entah yang kami lakukan (tepatnya yang saya lakukan) tadi itu benar atau salah. Kami hanya para pencari kipas yang terjebak dalam keadaan yang tidak terduga, dan tidak sedang ingin menjadi korban akan sesuatu yang memang tidak seharusnya kami yang menjadi korban (apakaaaaah...!?).
Lari dari keadaan tanpa tahu apakah kami salah atau tidak dalam keadaan ini. Semua hal tersebut bahkan masih terngiang dalam hati saya sampai sekarang. Satu pikiran yang tiba-tiba saja membuat saya melakukan hal itu adalah “uang dalam kantong ini hanya untuk beli kipas angin” bukan untuk yang lain ( yaaah walo tadi hampirki ku kasi belli jus jeruk na Cafe Dewi Sinta gang...tapi tidak jadi ji).

Kami masih saja terlongo untuk beberapa menit (atur nafas tohh...).

Dan akhirnya setelah sedikit normal. Saya tetap bingung karena belum juga mendapati sebuah kipas angin bahkan untuk ukuran kecil. Masuk ke kawasan pasar malam hanya mendapati celana jeans dengan penjualnya yang bersiul akan kemolekan wajah kami (aaahhhaaaaayyyy...).

“Cari apaki ceweeetss...celana jings kaaah...priwiiiiit”

Mau putar balik lagi ke arah bandara, insya Allah saya sudah tobat. Demi menghindari bahaya.

“Lewat belakang maki kak Lia, yang ke arah prumnas Tumalia”
“Nda moja Ani, ada tongi kapa disitu jaga ka natauki bilang tempa’ kebur na ananak mudayya itu”
“Jadi??”
“Pura-pura maki masuk ke mesjid Almarkas baru keluar lewat gerbang seblana mo..”
“Wiihh..mallakka deh..nanti di dapakki lagi”

Kami sempat berdiskusi alot demi mencari jalan keluar dan menjaga harapan kami akan kipas angin yang belum ditangan. Sementara cafe sebelah yang memiliki dua lantai sedang menyanyikan lagu Dmasiv – “jangan menyeraaah...jangan menyeraaah...jangan menyeraaaah haaa...haaaaah...”.

“pokoknya haruski dapa’ kipas angin Ani”
“iyo..lama ta mo pergi baru pulangki ndda tonji kipas angin”
“Tapi bagemanaaa...”
“Oh...coba ki dulu pulang tapi lewat depannya ki pasar ka, ada mau kuliat”
“Na ndada..sudamaki tadi keliling toh..?”
“lewat maki dulu saja”

Tanpa babibu lagi motor kami arahkan ke jalan depan pasar tanpa kupertanyakan akan “apa tadi mau na liat adekku”, perlahan-lahan berjalan demi tetap memastikan bahwa (masih) ada toko yang buka. Saat melewati pos polisi dan sebelum sampai ke arah lampu lalu lintas, tepatnya di samping para penjual kaset bajakan dan pulsa juga HP merek China. Ada sebuah toko elektronik yang pintunya masih buka setengah (entah itu penjual galauki antara mau mi na tutup ato masi mau buka). Kami dengan kalap (macam ngegap orang selingkuh) segera memarkir motor.

“Itueeeh..itueeeh masi bukaaa, yeeeeeeeeyyyy!!!”

Ani, adik saya yang dari tadi pias karena kabur dari sweeping tiba-tiba bersorak sorai gembira, seperti mendapati oase di tengah padang gersang. Dan saya dengan “tolo”—nya malah bilang,
“Tida adaji itu guguknya Ani?Karena kayaknya cina yang punya baru pernah kuliat ada guguknya keluar masuk disitu”

*gubrakk!!*

“Awweeh ayokmi deh, bilang memangka tadi waktu pergi sekilas kuliat kayak masi buka tapi tidak yakinga, ternyata masi buka ji gaaang...yeey”.

Adik saya sudah tidak peduli lagi, dan saya yang sangat takut akan najis guguk masih juga cemas takut terkena najis (weird me...yeah..).
Beruntung saat kami masuk, si guguk tidak terlihat (mungkin tidak ada, atau mungkin tidurmi..). Nampak hanya seorang bapak yang membeli sebuah bahlon lampu dan dilayani bapak (keturunan Tionghoa) tua. 
Terlihat di dalamnya ada banyak kipas angin. Macam mendapati syurga kipas rasanya. Kami bisa saja memilih-milih terlebih dahulu, namun demi melihat tokonya saja kami sudah sangat bersyukur sehingga dengan tidak begitu lama negosiasi pilihan merek dan harga. Kami pun menjatuhkan pilihan pada kipas angin dengan ukuran sedang dan harga yang juga -- sedang,
 “ harga tutup toko ku mi itu nak..”, ujar si empunya toko.

Ahaaaaayyy!! Alhamdulillaaah....dapat juga.

Kami mengangkat kipas itu bagai tim ganda putri yang mengangkat PIALA UBER CUP. 

Yeeeaaaaayyy!!

“Mau dibungkus nak?”
“Tida usami, pake disini mi om”

Hehe, tentu saja tidak. Kami sudah cukup senang karena hasrat memiliki kipas angin bisa terlaksana setelah banyaknya uji dan coba yang dilalui.
Orang rumah setidaknya tidak akan begitu kepanasan lagi saat memasak sehingga persiapan acara nganre baje’ (baca : ketan yang dimasak dengan gula merah yang kalau masih hangat enak dimakan tapi kalo kena mi angin lebi keras ki daripada batu kurasa..) tetap bisa terlaksana. 

------------

Sesampainya di rumah, kami berdua disambut layaknya sang juara bulutangkis yang diarak karena memenangkan piala (hahahaha....padahal karena mereka suda kepanasan dari tadi).
Pertanyaan-pertanyaan, “kenapa ko lama” dan “dimanako beli kenapa masi bisako dapa’ kipas angin” hanya kami jawab dengan senyuman dan lirikan yang kompak. Tidak cukup kata untuk menjelaskan petualangan semalam dengan kipas angin itu. 
Pun dalam hati kami berucap “deh..kalo na tauki bapak bilang lari ki karena hampir ditilang napakamma kipas anging...habis ma’ saya”.





The End.

*Jangan ditiru yaa..*





Senin, 08 Februari 2016

Selintas Gumam Yang Belum Selesai - Poverty

Kemiskinan itu selama ini hanya terpapar melalui layar kaca, terbaca melalui media baca, dan sama sekali asing sedimikian lamanya meskipun sangat nyata (sebenarnya).

Lalu kemudian kemiskinan ini benar-benar saya sadari sampai ia benar-benar melingkupiku.
Tidak secara nyata lalu saya merasakannya dengan menjalani hidup dengan kemiskinan itu sendiri.
Namun, ia - kemiskinan itu ada di dekatku.
Tidak lagi melalui potret seorang anak kelaparan yang dijaga sang burung pemakan bangkai menunggunya mati. Atau berbahayanya menyelamatkan nyawa untuk tetap aman dan kenyang ketika seorang anak berbaju biru ditemukan mati terdampar di pantai.
Tidak, tidak senaif itu.