Senin, 15 Desember 2014

BEKU

Aku menatap nanar pada bingkai jendela dengan pemandangan yang sama, lalu lalang yang selalu tetap sama.
Entah apa yang terjadi pada otakku sehingga tidak memberi komando pada tubuhku untuk bergerak, setidaknya...untuk mandi.

Kejadian semalam...yah kejadian semalam. Bahkan setiap dari sentuhannya masih sangat terekam di memori otakku. Nafas yang memburu, gejolak dari segala dorongan sel hyphothalamus yang membuat udara dingin di sekitar tidak lagi berfungsi. Kami -- sebut saja... bercengkerama liar.
Sejenak terlupa semua sistem sosial yang mengungkung, nilai-nilai budaya yang mengikat, dan bahkan tuhan mungkin berpaling saat itu.

Atas dasar cinta.
Yang semu.
Dan hanya menjadi alasan klise.
Menjawab semua rasa penasaran yang sedari kecil mengganggu. Dan membiarkan semua pikiran kolot agamis dilepas, biarkan membubung di langit-langit kamar dulu saja. Tidak terlena tapi kubiarkan lena. Aku masih dengan segala pikiran sitematis ku, masih dengan segala otak yang penuh perhitungan. Bukan remaja tolol yang memberikan semua dari tubuhku hanya dengan alasan, nafsu.
Apa ini benar?
Apa aku sudah cukup mampu bertanggungjawab atas diriku?
Apa aku mampu menghadapi segala cibir?
Tapi ini aku, aku adalah duniaku dan kubiarkan jua segala hal liar itu, terjadi. Lepas.

Sepeti itu saja.
Hal erotis yang tergambarkan dalam film-film dan video amatir ternyata tipu belaka.
Atau aku yang mati rasa? Entahlah.

Semalam seperti angin lalu.
Dan kini yang ku dapati diriku terjerembab dengan segala hal yang tidak bisa terpungkiri -- semu.
Apa lagi selanjutnya?
Lalu apa sesudah itu?
Apa ketika mati aku masuk neraka?
Bentuk siksa macam di buku-buka siksa neraka yang kecilku dulu terjual bebas dengan segala bentuk gambar erotis tidak terdeteksi lembaga sensor itu, apakah akan menjumpaiku juga?
Lalu setelah segala keperawanan yang telah tergagahi usai, aku termasuk kategori "wanita kotor"?
Apa stereotype "pelacur" juga pantas kusandang?

Aku paham agama. Walau tidak berperangai nabi.
Semua sudah jadi hal yang kucerna sejak kecil dini ku.
Tuhan yang tidak hanya menghidupkan manusia untuk sekedar hidup saja, namun dibarengi segala hal yang sudah harus diterima untuk dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan bahkan tidak untuk didekati sekalipun.

Segala norma dan dogma yang sedari lahir sudah "dibuatkan" secara tidak tertulis. Jangan begini dan jangan begitu yang harus selalu dijaga. Sehingga menjadikan nama baik menjadi prioritas utama untuk dipelihara. Yang "kata mereka" membedakan manusia dari binatang.

Aku selesai.
Selesai dengan tidak menyelesaikannya. Selesai dengan tidak memikirkannya.
Dan kini selesai dengan semua rasa penasaran yang terjawab.
Aku masih tetap sama secara kasat mata.
Namun semua orang selalu terlalu sok tahu tentang bagaimana membedakan si perawan dan yang telah kehilangan baik itu melepaskannya dengan sengaja atau dalam keadaan yang bahkan dirinya tidak menginginkannya.
Dan aku kini penasaran tentang bagaimana manusia-manusia di sekelilingku menilaiku.

Aku -- masih menatap nanar keluar jendela.
Bahkan menjawab segala hal dalam otak aku tidak mampu.
Ayah pasti mengecamku.
Ibu akan meringkuk pilu dengan tangisan sesal.

Tidak, aku tidak sedang berpikir.
Menyesalpun, tidak bisa pula dikatakan demikian.
Menangis sedikit, sesaat setelah selesai. Seperti telah melangkah dari jenjang masa kecil menuju dewasa.
Seperti saat pertama kali mendapatkan haid pertama.

Tapi masih saja semua tidak tercerna dengan baik di otakku.
Bahkan untuk melangkah mandi pun enggan.
Kejadian semalam.
Buatku, beku.







Selasa, 06 Mei 2014

SEKILAS LEMPUYANGAN


Setelah kemarin aku menyelesaikan tes masuk pasca sarjana di UGM Jogja, hari ini aku hendak menunggu waktu tes wawancara (yang masih lama waktunya) di rumah nenek di Jakarta. Tidak enak rasanya, kalau sudah ada di pulau Jawa macam ini, lalu tidak soan ke rumah nenek yang dulu merawat kecil dini ku.

Aku yang belum tahu Jogja, tidak mau merepotkan senior yang sudah berbaik hati, meminjamkan kamar kost kecilnya untuk di bagi sama aku yang badannya mengambil sepertiga luas kamar kost nya. Malu rasanya. 

Berangkat dari kost dengan berjalan kaki mencari shelter bus.

Jalanku terseok, dengan segala tas yang bergantungan tidak lagi apik di bahu dan punggung. Ternyata begini rasanya merantau, sendiri di kampung orang, dengan bahasa, budaya, dan laku yang beda dengan kampung sendiri. Sampai di shelter punggungku sudah hampir patah rasanya. Setelah bertanya bus dan rute apa yang harus ku tumpangi untuk ke stasiun Lempuyangan, aku ternyata malah mendapati diri salah shelter. Si mbak petugas menunjuk shelter lain di sebelah rumah sakit yang masih rada jauh. Ah!

Badan baru terasa sedikit enak setelah duduk di jok kursi bus.

Toeeeet!! Busssshhh!!

Si bus berjalan perlahan dan pasti. Rasa nyaman ini terus ku nikmati.

Pemandangan kota Jogja, dengan Malioboro-nya, entah karena aku terlalu sensitif atau memang karena aku sendirian, sehingga tidak bisa mendapati apa alasan Kla Project bikin lagu tentang indahnya kenangan di Malioboro, aku – hanya merasa kesepian. Walaupun paham bahasa mereka. Aku tetap merasa seperti tersesat. Seperti film Last in Translation versi Indonesia mungkin. Hhh..... menyedihkan.

Tidak lama ku nikmati jok empuk bus dengan harga murah itu, penumpang makin membuncit, dan seorang tua di depanku yang baru masuk sudah seharusnya ku beri tempat.

“Monggo bu... duduk di sini saja...,” aku berdiri mencari keseimbangan pada laju bus yang pula makin cepat.

“Maturnuwun mbak...,” si ibu memegang tas kecil nya sambil duduk.

15 menit aku mematung, pada tiap dari hempasan bus yang berusaha laju pada kota Jogja yang sempit, akhirnya si kondektur menyatakan bahwa shelter depan adalah untuk mereka yang hendak ke stasiun Lempuyangan. Aku bersiap.

Hupp!

Aku selalu sedikit takut pada jeda bus dan shelter, membuat aku harus melompat karena takut terlalu lama dan terjatuh.

Keluar dari shelter, banyak penarik becak yang mendekat, ku pilih bapak pengayuh yang paling tua di situ.

“Lempuyangan ya..”

Bapak pengayuh becak itu mengangguk takzim. Mafhum mungkin, pada tampangku yang terlihat sangat baru akan daerah ini.

Ah...kompleks rumah di daerah menuju stasiun mengingatkanku pada film-film lama Adi Bing Slamet dan DKI Warkop. Jendela-jendela dengan kusennya yang sangat 80-an. Pagar-pagaran yang (saya sebutnya) sangat Betharia Sonata (mungkin). Sangat klasik. 
Hati jadi makin sendu saja rasanya.

Becak berhenti di depan gerbang stasiun. Bapak pengayuh ku beri lebih dari biaya yang seharusnya. Beliau berterima kasih terlalu berlebihan. Aku hanya tersenyum sembari berkata, bahwa itu harga yang bahkan kurang untuk usianya. Tapi beliau masih saja bersikap seakan itu lebih. Layaknya sertifikasi guru yang banyak orang bilang terlalu berlebihan, aku rasa itu bahkan kurang, saat mereka harusnya sadar, tidak akan ada yang kenal angka dan aksara jika para guru tidak mengajarkannya.

Ku tinggalkan bapak pengayuh becak itu sembari berdoa, jika aku lulus di UGM, bapak itu akan jadi langganan becakku jika melancong di Lempuyangan lagi.

Aku masuk ke stasiun, bertanya tiket ke Jakarta. Jam berdetak di jam 10 pagi.

Mbak petugasnya melayani melalui ruang sebelah yang di hubungkan lewat jendela kecil macam rumah tikus. Dia menjawab semua pertanyaanku melalui microphone depan mulutnya yang tersambung ke speaker di atas kepalaku. Keretaku baru akan datang jam 6 sore. Dan semua orang harus tahu itu lewat speaker besar di atasku. Bodoh.

Aku melangkah lunglai, tas-tas besar ku angkat lagi ke kursi tunggu.

Tidak mungkin aku harus balik ke kost. Terlalu jauh. Ongkos lagi. Dan semangatku pun sudah pupus.

3 jam aku duduk beku. Tidak ada yang menarik selain logat-logat Jawa yang berseliweran. Tidak ada kisah macam di FTV yang membuatku bertemu dengan lelaki gagah medok dan akhirnya jadi kekasih.

Kulihat, ada orang-orang yang sudah diperbolehkan masuk ke dalam ruang tunggu di bagian dalam stasiun, sementara aku masih di ruang tiket dan informasi. Aku pula beranjak. Merajuk untuk di masukkan ke dalam walau keretaku masih lama. Mereka akhirnya mau. Setelah melihat KTP Makassar ku.

Di dalam lebih lengang. Rel-rel kereta belum terlintasi kereta satu pun. Penumpang yang menunggu masih sedikit, bahkan ada yang tiduran.

Aku memilih kursi yang paling belakang. Selain mengamankan tas, aku bisa menyapu pandangan ke seluruh sudut stasiun dari sini. Ku tarik nafas panjang. 
Hhhhhhh....... 
Apa kelak aku akan baik-baik saja jika tidak lulus dari tes masuk UGM ini? Setelah semua usaha dari bapak yang meminjam uang demi biaya ke sini. Derit kursi yang ku duduki makin membuat mentalku meringkik pilu. Tuhan... ku harap semesta mau mendukungku.

Ku buka tas dan mengambil Kimun (kamera DSLR ku). 
Membidik sunyinya Lempuyangan dengan seorang anak kecil yang berpotongan ala Dora The Explorer, menunggui emaknya yang tertidur dengan si kecil yang sedang di susui. Jarik panjang khas Jawa nya menutupi. Klasik. Aku jadi teringat jarik (kain panjang) mamak yang sering ku jadikan sprei kasur ketika di pesantren dulu, sebagai pengobat kangen pada mamak dan bapak di rumah. Dan harus selalu basah oleh airmata demi menahan rindu setengah mati.





&*&*&*&*&*&*&*            &*&*&*&*&*&*&*&*&            *&*&*&*&*&*&*    *&*&*&*&*





Makin siang akhirnya stasiun makin ramai saja. Aku makin terdesak. Makin sunyi dalam keriuhan. Aku masuk ke dalam mini market untuk membeli minuman, sekedar melegakan tenggorokan yang tercekat. Ah... lapar. Tapi aku terlalu takut untuk makan sembarangan. Dengan pengalaman buruk akan dedagingan yang beredar di Jawa. Aku, jadi sedikit lebih waspada untuk menyantap makanan pada warung-warung yang ada. Lapar ku tahan. Tidak enak juga makan sendiri.

Kembali duduk.

Tiba terlihat dari arah depan, ada penjual roti. Dan dengan senang aku menyambutnya karena tulisan HALAL yang cukup besar pada kereta dorongnya.

Mas penjual roti mendekatiku dengan senyum. Ramah.

Aku memesan dua bungkus. Dan dengan bahasa ku yang sangat tidak Jawa, ia segera bertanya.


“Mbak nya mau kemana, baru ya di sini??”


“Emmm iyaa...ke Jakarta..”, jawabku sambil mengunyah.


“Waah,,kereta ke Jakarta masih lama loh mbak, apa gak pulang dulu saja??ntar balek lagi kesini..”


Aku menggeleng. Menjelaskan alasan kenapa. Pada orang yang baru ku kenal. Seakan mendapat teman mengadu. Apa mungkin ternyata aku butuh orang yang peduli?

“Yaa...kalo gitu mbak nunggu di mushalla saja mbak, sekalian istirahat, ntar kalo kereta nya datang ta’panggil deh..”, si mas penjual roti itu simpatik mendengar cerita ku yang macam anak hilang.


Aku menurut dan berjalan ke mushalla.


Sampai di mushalla ternyata ada penitipan tas. Aku masuk dan bertanya ke marbot masjid. Dia tersenyum sangat ramah (mungkin senyum standar biasa, tapi aku terlalu kering akan kepedulian saat ini), dia menawarkan tas ku untuk di angkatkan dan di titipkan. Saat ku pesan untuk tidak meletakkan tas-tas ku di lantai, dia pun masih dengan senyum ramahnya mengangguk.

Ah...mungkin tdak semua orang di sini yang individualis. Buktinya sudah ada dua orang yang baik di sini. Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku tidak kesepian lagi menunggu kereta. 


Setelah dhuhuran. Aku selonjor kaki di teras masjid. Si mas marbot tadi mendatangiku.


“Mbak nya mau kemana?”


“Mau ke Jakarta...”


“Oh keretanya masih lama kok, tiduran saja dulu..”


Aku hanya tersenyum. Tidak  mungkin aku tidur dan kemudian benar-benar tertidur. Takut ketinggalan kereta. Apalagi di tengah kesendirian dengan uang pas-pasan. Jika di bilang sendiri, sebenarnya tidak juga. Aku memiliki beberapa teman sepantaran yang sudah sekolah lama di Jogja, tapi mereka tidak juga menawarkan diri untuk ku tempat bernaung selama di Jogja, mungkin karena sibuk. Aku pun -- mencoba berdikari.

Lama. Aku memandangi kereta-kereta yang sudah beberapa lewat. Aku melangkah keluar mushalla, kembali duduk di kursi, mas penjual roti mendatangiku.


“Mbak e gak makan? Kok lesu gitu...gak usah takut...nanti ta’ kasi tau kalo keretanya sudah datang..”


“Gak papa mas, saya takut makan di sini, kemarin hampir makan daging babi waktu di Solo, masih kenyang kok makan roti”,ku jawab sekenanya.


“Lah kok bisa?? Yaaa memang sih namanya di jawa banyak suku dan agama mbak..., mbak nya kesini ketemu siapa toh? Kok sekarang mau ke jakarta lagi?orang sana toh?”


“Saya orang makassar, kesini buat ikut tes masuk di UGM, sekarang mau ke rumah nenek di Jakarta, nanti balek lagi kesini buat wawancara...”


“Hoooh...ta’ doakan semoga lulus dan bisa ketemu lagi sama saya, namaku Jono ya mbak...ingat-ingat kalo balek lagi ke Jogja, aku tiap hari kerja di sini terus jual roti, “ ia menjawab dengan semangat sembari duduk di dekatku dan mengipas-ngipaskan topi nya.


Aku mengangguk tersenyum. Senang dan berterima kasih karena dia mau mengerti keadaan aku yang seperti hilang arah. Aku -- tidak merasa sendiri lagi.






&*&*&*&*&*     &*&*&*&*&*&*    &*&*&*&*&*&*     &*&*&*&*&*&*&*     &*&*&*&*





Jam sudah menunjukkan solat ashar. Aku sudah sangat muak menunggu. TOA mushalla stasiun Lempunyangan pun sudah melantunkan adzan. Aku beranjak ke mushalla. Berwudhu dan bersiap solat berjamaah. Aku berada di shaf terdepan dan jamaah shaf di belakangku penuh. Hingga akhirnya imam memulai takbir rakaat pertama.


Dan tiba-tiba kereta jurusan Jakarta datang! 
Aku terkesiap. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin solat sendiri sementara aku berada di shaf depan. Aku juga tidak bisa lari karena shaf sangat full di mushalla kecil ini. Padahal, kereta tidak akan berhenti lama untuk menungguku berjamaah. Oh tidak! Katanya jam 6, kenapa sudah datang keretanya??


Aku masih ternganga dengan segala kebingungan. Kepalaku menjulur-julur menengok kereta dan tempatku solat secara bergantian. Pucat. Bagaimana ini?


Tiba-tiba si marbot yang baru selesai berwudhu dan mengambil shaf di belakang melihatku yang pias dan tersenyum, sambil berkata dengan berbisik dari jauh.

“tenaaang....keretanya....belum berangkaat...itu...masih mau di cuci dulu....udaaah..solat aja dulu...”, ia paham ketakutanku.


Huaaaaah....Alhamdulillah....aku berkaca-kaca di sebabkan ketololan dan kecemasan.


Aku mengangguk cepat dengan sangat lega dan kembali meperbaiki shaf untuk segera berjamaah pada ujung bacaan ruku’ imam.




*&*&*&*&*&*&    *&*&*&*&*&*&*&      *&*&*&*&*&*&*     *&*&*&*&*&*&*&*  




Tuhan tahu kegundahan hatiku. Di saat aku sangat merasa sendirian. Dia mengirim orang-orang baik seperti Mas Jono penjual roti dan Mas marbot mushalla. Di saat segala risau dan cemas Tuhan memberi kawan yang tidak di duga datangnya.

Setelah solat ashar. Aku mendatangi penitipan tas di mushalla itu. Hendak mengambil tas. Tapi mas marbot itu melarang, katanya nanti saja kalau keretanya sudah mau berangkat karena keretanya baru di cuci.

Aku manut. Melihat ke arah kereta yang sedang di cuci oleh petugas.

Beberapa jam aku masih menunggu.

Setelah jam menuju pukul 6. Aku mengambil tas. Mas marbot itu memberi doa semoga aku selamat sampai tujuan. Sementara di depan peron, mas Jono penjual roti mengarahkanku pada pintu yang harus ku masuki sesuai dengan nomor di tiketku. Aku sangat senang dan berterima kasih. Tidak perlu harus ketika aku lulus di UGM, jika aku kelak sedang di Jogja, aku pasti mencari kalian. Orang-orang baik yang menemani sekilas waktu ku di Lempuyangan.


Aku melambaikan tangan pada Mas Jono dari jendela kereta.

Sampai Jumpa Lagi...





Rabu, 02 April 2014

Satu Dari Beberapa (Resolusi)

Jadi mendaki gunung sebenarnya bukanlah pengalaman pertama buat saya…karena dulu semasa kecil saya tiap kali libur panjang sekolah pasti di buang (baca: di bawa) mamak dan bapak untuk berlibur ke Desa Bentengnge di Mallawa sana…which is actually desa itu berada di atas gunung. Yang mana kalau harus kesana pula harus mendaki, namun mungkin karena sudah jadi pemukiman jadi kemiringan tanahnya sudah banyak yang terkikis dan tidak akan se-ekstrim memanjat gunung beneran (kecuali di beberapa tempat tertentu). Jadi tiap kali ke Bentengnge saya akan merasa jadi orang terpopuler sedunia (hahahahha…). Jelas saja… kami datang (setidaknya) dari daerah yang lebih berperadaban dibanding daerah mereka, baju yang kami pakai pula lebih modis. Jadi tiap ke sana pasti jadi tontonan dan pipi jadi area cubit terstrategis. Dan tiap kali naik ke kebun kakek (mereka sebutnya  koko) itu…serasa ada di atas langit, saya biasa sama adik-adik berpura-pura jadi elang berputar-putar di tanah kebun kakek yang berada di puncak (benar-benar paling puncak) sambil melongok-longok ke tanah rendah nun di sana.

Itu dulu, sampai akhirnya sabtu 29 Maret kemarin saya juga telah (Alhamdulillah) menuntaskan salah satu dari beberapa resolusi tahun ini yaitu INTO THE TOP OF MOUNTAIN. Walau mendaki gunung bukan pengalaman pertama, tapi mendaki gunung “ala” pecinta alam yang “well prepared” itu belum saya lakukan. Dulu tiap kali mendaki gunung ke kebun kakek saya cuma ber—sandal jepit dengan ubi goreng di tangan. Oleh karena itu…sejak saya tahu dengan komunitas-komunitas pecinta alam atawa mereka yang sering manjat gunung, saya jadi penasaran. What makes it so special actually?? Waktu mahasiswa…saya liat kalo anak-anak mapala itu gondrong-gondrong dan filosofis sekali kalo bicara…macam seorang sufi saja rasanya (hehehhe…). Belum lagi gelang-gemelangan yang bergelantungan di tangan dan kaki dan bahkan di segala outfit mereka. Sebelum tahu itu padahal saya sudah pakai gelang2 ala “pendaki gunung” itu tanpa tahu artinya sampai ada yang nyeletuk “weeeetsss…anak gunung ineeeh….!”. Waktu itu saya cuma melongo dongok. Tapi akhirnya nantinya saya mengerti. Ah! Terlalu kerdil rasanya menisbatkan gelang ini sebagai tanda “sudah” pernah naik gunung atau sebagai symbol “anak gunung”. Yah… tapi memang anak mapala dulu selalu menarik perhatian saya, kenapa mereka begitu melebih-lebihkan gunung sampai di bentuk komunitas yang ada perekrutannya. Mana lagi outfit mereka bermerek ala merek-merek luar negeri sana, mulai dari jaket, tas, celana, dan semua outdoor gear nya bermerek mahal. Sandal dan sepatu khusus. Tenda, sleeping bag, dan lain-lain. Harus tahan angin, hujan, dan (mungkin) badai. Padahal om saya dulu kalau mau berangkat ke kebunnya (yang berada di puncak sana) malam-malam hanya bermodalkan sarung, senter, parang, dan –anjingnya. Tanpa sandal.
Belum lagi sosok Gie, belum lagi acaranya si Djangkaru, belum lagi film-film barat tentang semua hal yang berbau “pendakian gunung”, “penaklukan puncak”, itu semua membuat saya penasaran. Dan novel 5CM (ingat novelnya….bukan filmnya…), berhasil membuat saya terbayang-bayang tentang keindahan gunung gemunung yang mereka maksud. Begitu berbeda dengan pengalaman masa kecil saya…
Oleh karena itu..setelah beberapa tahun resolusi itu menganggur….setelah beberapa kali penolakan untuk di ikutsertakan dalam tim, dan setelah beberapa kali penundaan….sabtu kemarin, saya berhasil sampai ke puncak gunung Bulusaraung. Banyak terima kasih atas segala dukungan dan bantuan teman-teman yang sudah mau di bebani oleh saya yang (ternyata) memang banyak menyusahkan ini. Dalam blog selanjutnya…akan saya posting cerita lengkap perjalanan saya menuju puncak Bulusaraung yaaa….. :)



Rabu, 26 Maret 2014

RIAK

Hari ini seharusnya naskah puisi pesanan guru SD ku sudah selesai. Tapi sudah hampir subuh hari, kursor di layar komputer hanya berkedip pada teks yang setengahnya saja belum selesai. Ah!! Wajah itu senantiasa menghiasi kepala dan segala penjuru otak kiri dan kanan ku. Naskah puisi yang seharusnya tentang Hari Guru malah berubah menjadi puisi roman nan picisan, romantis malah jadi bikin geli sendiri.

------------------------------_____________________-----------------------------------------------

Gadis itu, yang sore tadi menghampiri di warkop tongkrongan komunitas seni dan sastra. Dengan wajah bingung lehernya bergerak mirip kura-kura, ke kanan ke kiri, seperti perawan di sarang penyamun, di tengah para gondrong yang jarang kena air, dia macam teratai yang tumbuh di atas air keruh. Sampai matanya bersirobok dengan aku yang sedang menyeruput kopi, berteriak nama ku yang bikin kopi itu muncrat ke meja Sugeng. Kaget.

“Ah…wedhus kowe Mat!!”, Si Jawa gondrong ini mengumpat mukanya di sembur kopi.

Si gadis yang tadi teriak nama ku dari jauh itu mendekat sambil tersenyum.

“Kak Ahmad Ansori kan?!”, ujarnya.

“Ehm..iya…siapa ya?”, aku berlagak sok cool, sambil nge lap tumpahan kopi di meja dan muka Sugeng. Sugeng yang di lap mukanya malah marah-marah. Karena lap yang aku pakai ternyata bekas nge lap lantai yang tadi di kencingi anak Mak Jenap pemilik warkop.

Dia mengulurkan tangan, kibasannya malah wangi sekali, waaahh…entah apa itu wangi yang biasa saja atau memang aku yang jarang kenal dengan sesuatu yang harum nan wangi, sesuatu yang sebenarnya wajar-wajar saja, sesuatu seperti….wanita.

“Saya Lilik, anak jurusan komunikasi, mungkin kakak tidak kenal saya, iya…pasti, padahal dulu kita satu SD, kakak sudah kelas 6 SD pas saya baru kelas 4, tapi saya ingat puisi yang kakak baca pas upacara bendera di hari kelulusan kakak lho!”.

Dia, gadis ini, berceracau cepat…dan Sugeng malah nyengir kuda mendapati aku yang  -ternyata - menganga memperhatikan si Lilik ini bicara.

“Hoih!! Kasian tuh tangannya nganggur, halo…saya Sugeng…ooh..kamu anak komunikasi sebelah toh…kenapa bisa kenal si Mamat ini?? Ada urusan apa yak??! Sampe masuk sendiri ke sini…”, dasar Sugeng, begitu cepatnya dia langsung mengambil dan menyalami tangan Lilik dan bicara macam manajer yang ku bayar.

Si Lilik tampak malu-malu, dia permisi duduk di sebelah kami, jika orang melihat pasti menyangka si Lilik sedang duduk bersama bodyguard-nya sekarang. Dia tidak menolak saat ku pesankan kopi dan malah begitu lancarnya menjelaskan alasan kehadirannya di warkop, hanya untuk mencari aku.

Ternyata dia anak Pak Jauhari –guru bahasa Indonesia ku dulu di sekolah dasar, Pak Jauhari… beliau yang mengenalkanku pada indahnya puisi, mengantarku ke berbagai lomba di kecamatan dengan sepeda ontel tua nya, menggunakan gajinya yang sedikit untuk membayar biaya registrasi dari setiap lomba yang ku ikuti. Tidak ku sangka punya anak yang –manis.

Sempat kaget, tapi juga pongah tadi. Dari banyaknya lelaki yang duduk menyeruput kopi, tapi nama ku yang di teriakkan. Oleh seorang gadis. Mungkin perawakannya bukan bak model, kulitnya juga tidak semulus wanita di iklan lotion. Ah..kenapa pula sampai pada kulitnya ku telusuri. Namun kehadirannya di sore tadi , sanggup membuat mata ku yang tidak pernah terbayangi sosok kaum hawa ini –menerawang.

Katanya, pak Jauhari sedang sakit, sementara sebentar lagi ada pentas seni untuk merayakan Hari Guru Nasional. Seharusnya si Lilik ini yang di suruh membuat puisi demi penampilan siswa perwakilan bekas SD ku itu. Tapi ternyata si Lilik malah mengusulkan aku,  karena dia harus fokus pada skripsinya. Haha!! Padahal aku yang lebih senior darinya saja belum kepikiran untuk mengerjakan sesuatu yang prosedural itu.

“Saya dan teman-teman waktu itu amat kagum dengan puisi yang kakak baca di upacara kelulusan, mengharukan…dan kata bapak itu karya buatan kakak sendiri kan?! Kertas puisinya ada di rumah…di bingkai sama bapak. Katanya… itu masterpiece..”, Lilik bercerita dengan berbinar-binar. Tapi nyatanya hati ku lebih berbinar. Lilik Jauhari… hidungnya mirip bapaknya. Hidung jambu. Matanya sipit, makin menyipit saat dia tersenyum. Dan aku berbohong jika tidak iri pada beberapa tahi lalat yang menempel di pipi bundarnya.

“Trus kamu tahu darimana saya kuliah di sini? Apalagi sampai tahu dimana saya biasa nongkrong?” Aku mulai penasaran.

“Kakak kenal Mudhin? Dia  junior kakak di jurusan sastra, dan dia itu….teman sekelas saya waktu SD, dia yang memberi tahu saya kalau kakak ada di sini, sebelumnya juga saya sudah sering lihat kakak kuliah di sini juga…toh fakultas kita bersebelahan,” jawabnya sembari menunjuk ke arah fakultas isipol.

Aku mendelik. Pantas saja.

Jika ingin jujur, aku malas untuk mengerjakan puisi ini. Apalagi naskah teatrikal untuk kegiatan kampus saja belum ku selesaikan.

Tapi…Pak Jauhari menang dengan menggiring anaknya untuk datang. Ini aneh. Untuk urusan perempuan, aku awam, peduli apa aku pada mereka, yang ku tahu hanya panggung pementasan puisi dan sastra. Bekerja sama dengan para gadis  hanya seperlunya saja. Aku tidak menarik diri. Hanya saja…aku belum tertarik.

Sampai hari ini tiba.

Gadis ini, yang hidungnya seperti jambu air depan rumah, lucu, sekalian manis. Aku masih ingat wajahnya saat pamit, matahari senja yang masih terik membuatnya silau, dan matanya yang sipit makin hilang saja saat ber—dadah bubbye. Imut.

Seperti lagu lawas punya Savage Garden

“I knew I loved you before I met you…
I think I dreamed you into life…”

Tiba-tiba saja dia kuasai semua kuasa ku atas otak yang tertanam dalam kerangka tengkorak kepala ku, hanya dalam sekali jumpa. Ku tepis dan muncul lagi. Seperti riak air. Aku kalah dan bahkan dengkur Sugeng tidak mampu mengganggu.

Adzan subuh akhirnya berkumandang. Ku regangkan badan bangun dari kursi, membuka jendela agar udara kost kecil ini tidak hanya bau obat nyamuk campur jigong Sugeng. Menghirup udara dengan sebanyak-banyaknya. Tuhan… makhluk mu yang satu itu manis sekali.

Drrtttt!!! Drrrrtttt!!!!

Ponselku bergetar, ada pesan masuk.

Segera ku ambil dan kubaca.

“kak…sebentar siang sehabis kuliah saya ambil naskah puisinya ya…bapak kadung penasaran buat membacanya…. By Lilik”

Gawat!! Harus segera dikerjakan nih!! Ini kesempatan baik yang tidak boleh ku sia-siakan. Jangan sampai pertemuan kedua ini buruk hanya karena secarik puisi yang tidak selesai. Ku konsentrasikan pikiran ku, mulut Sugeng yang masih mendengkur ku sumpal sarung. 

Pertemuan yang dadakan, puisi yang dadakan, dan perasaan yang dadakan berjibaku dalam hati, otak, dan punuk pundakku. Tarik nafas….hembuskan….dan mulai mengetik.

Tunggu aku gadis berhidung jambu.





Sabtu, 22 Februari 2014

BAGAIMANA DAN SUPAYA

Ini sekelumit kisah hidup yang mungkin (pernah) di rasakan oleh semua orang, atau bahkan cuma oleh saya. Entahlah.

Manusia, atau untuk lebih sopannya kita sebut saja orang.
Ya..saya selalu tertarik dengan orang-orang baru. Selalu berminat untuk mengenal. Dan itu membuat saya tidak canggung untuk mendekati, apalagi jika orang itu mudah untuk dijangkau. Ya... banyak sudah jenis orang yang saya kenal, dekat, dan akhirnya "terpelajari". Ada sosok yang untuk tersenyum dengannya pun kau akan sungkan. Dengan bagaimana mereka memasang perisai maya yang membuat mereka tidak terjangkau atau sebutlah...tidak mudah untuk di dekati.

Seperti menggaruk kepala berketombe (yang makin di garuk, makin gatal). Orang-orang yang selalu memasang citra berlebihan itu terlalu bikin saya gatal. Di garuk dan malah semakin banyak.
Tidak bisa dipungkiri, cara manusia bertahan dan terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan adalah dengan membentuk pencitraan diri, apakah untuk terlihat gagah, berwibawa...atau apalah itu sesuai ingin mereka. Pun saya demikian, kadang jika berada dalam situasi tertentu, saya akan mengambil topeng diri dengan berlagak "tidak takut apapun", walau dalam hati saya keder dengan situasi-situasi yang memiliki tekanan yang kuat. Tapi itu adalah cara awal saya agar setidaknya tidak di sepelekan.

Tapi di sini saya bicara tentang mereka yang memasang pencitraan terlalu berlebihan (setidaknya itu anggapan saya). Yang kemudian berpengaruh buruk bagi apapun di sekitarnya. Bukan asal bicara, tapi jika menilik ke belakang, saya sudah kenyang bertemu dengan orang-orang ini. Mereka yang terlalu mengedepankan tentang "bagaimana terlihat sempurna" untuk mendapatkan sesuatu, sehingga akhirnya berlebihan. 
Dan ini beberapa hal yang selalu membuat saya (pribadi) jengah.
  1. Mereka yang berperaga budaya bukan dari tanah lahirnya yang di banggakan, melainkan merasa hebat akan kemampuannya "berlagak"ala kaum barat. Bahasa percakapan yang (dulu) di sambi bahasa IBUnya kini di dominasi oleh bahasa (yang mereka sebut) internasional. Dibanding bicara dengan bahasa darimana mereka berasal, banyak dari mereka yang bahkan ingin mengaburkan hal tersebut. Ingin terlihat "ohh..licin sekali berbahasa Inggris", sementara merasa baik-baik saja dengan nilai bahasa Indonesia yang rendah, bahkan menertawakan mereka yang masih berbahasa daerah? Hey??? Pahlawan-pahlawan kita tidak akan rela mati kalau bukan untuk mengobarkan eksistensi negara kita bukan?! Negara dengan segala macam keanekaragaman, yang untuk kau sebut satu per satu tidak akan cukup. Lalu tiba-tiba berlahiranlah generasi baru yang bahkan lupa akar muasalnya. Berpakaian tidak lagi layak sebut sebagai "budaya ketimuran". Dengan dalil bahwa era sekarang menuntut semua lini untuk bergerak seragam sesuai "yang sedang beken". Dan sementara beken itu merupakan hasil iklan, hasil olahan media produksi, lalu kau hidup (tidak sadar) sebagai budak. Bukan hidup atas diri sendiri. Semua seakan sudah tertanam di alam bawah sadar bahwa keren yang terpatok itu adalah ini dan begitu. Mengangguk menyetujui lalu mengakui itu kebenaran.
  2. Menuhankan darah ningrat yang (dipaksakan) ada dalam dirinya. Keturunan raja diraja, bangsawan, dan segala gelar tentang darah biru yang ada di Indonesia, memang termasuk salah satu kearifan lokal yang patut untuk dilestarikan, dari segi sejarah dan budaya. Tapi ketika hal itu di umbar-umbar untuk mendapatkan kehormatan dan monopoli, saya rasa sudah salah. Bagaimana mereka mengambil segala kemungkinan tentang urutan-urutan pohon keluarga, menyambung-nyambungkan silisilah, mengkawin - mawinkan anak cucu agar tidak terputusnya darah ningrat yang ada (mengambil setiap inci kemungkinan agar bisa tetap ber-keturunan ningrat). Untuk hidup dan berbangga diri akan hal itu. Apa yang membedakan kalian para ningrat dengan kami sebenarnya? Bicara tentang masa kekinian, dimana eksistensi dan kontribusi para ningrat sudah terlalu kabur. Apakah adil, kalian yang sudah mendapatkan keistimewaan sejak jaman tanah air masih di jajah hingga sekarang merdeka untuk selalu mendapatkan porsi lebih? Untuk tetap mendapatkan hormat yang berlebihan? Untuk selalu duduk di depan pada tiap undangan acara? Untuk selalu mampu tiba-tiba berada di depan antrian dan melewati kami bagai mendapat kartu Pass? Untuk selalu duduk di atas singgasana sementara kami yang awam bahkan harus jalan dengan lutut untuk menemui mu?? Bahkan kami sudah harus menerima gelar di depan nama kalian, yang seakan mengabarkan tentang eksistensi dan porsi lebih yang bisa kalian dapatkan.  Untuk bicara zaman, kalian dan semua tetek bengek hal tersebut sudah terlalu purba. Membuat slogan DEMOKRASI di negara ini seakan hanya jargon belaka.
  3. Pangkat yang menjadi harga mati atas patutnya menginjak yang tidak berpangkat. Masih saya ingat ketika itu, betapa masih kecilnya saya, selesai mengepel lantai namun harus kecewa karena tamu yang datang tidak ingin melepas sandal untuk masuk ke rumah saya (hanya) karena dia bos bapak saya. Mungkin pangkatmu akan memberikan manfaat lebih dengan lebih banyaknya gaji yang di miliki untuk memiliki fasilitas hidup yang mewah. Mungkin pangkatmu membuatmu memiliki (sedikit) lebih banyak kesempatan dari mereka yang (dianggap hanya) orang biasa. Mendapat cangkir yang lebih baik dari setiap jamuan, mendapat kursi yang lebih empuk. Lalu setelah semua hal hebat dan berlebihan itu masih membuatmu tidak puas? Berlagak macam tuhannya dunia, menganggap selain dirimu adalah budak? Diberikan hak untuk tidak sama? Di suruh untuk terima perlakuan rendahan dan diam? Kami (mungkin) harus menghargai status sosial mu, mungkin itu dari jerih payah yang tidak mudah, Tapi itu bukan pembenaran untuk tidak menghargai (sebut saja) bawahanmu atau orang yang berada tidak sama denganmu. Bahkan tuhan melarang tiap satupun dari makhluknya untuk berjalan angkuh di atas bumiNya. Lalu apa yang membenarkan pangkat untuk menginjak hak dari kami yang juga manusia sama seperti kau?
Ini bukan bicara dendam, tapi kepatutan yang ada sekarang ini terlalu melabelkan diri akan kesombongan. Bagaimana pencitraan di bentuk sedemikian rupa dengan segala bentuk pembenaran-pembenaran yang (saya sebut) klise, untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu. Kepatutan yang belum tentu benar lalu tiba-tiba menjadi hal formal yang wajar. Duh!! Negeriku.. entah saya yang masih awam memaknai kehidupan ataukah memang dunia sudah keblinger. Bagaimana mendapatkan kehormatan di mata dunia. Menanduk dan memaksa selain mereka untuk tunduk. Bukan bicara hal agamis, tetapi jika manusia bisa lebih memahami jati diri masing-masing. Kita akan tahu bahwa di antara kita tidak ada yang berbeda. Perlakuan baik adalah keharusan untuk di dapati setiap dari nyawa, bukan di miliki sepihak dengan alasan-alasan buatan, rekaan sepihak.

Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda itu (menurut saya) bukan tentang hal lebih apa yang membenarkan (suatu) perilaku (yang tidak di inginkan) tertentu di bebankan pada siapapun. Kesopanan yang di inginkan, akan serta merta muncul seiring dengan kebajikan dan kebijaksanaan yang jadi tingkah laku sehari-hari. Tidak perlu dipaksakan dengan pencitraan diri yang (sebenarnya) semu dan maya.

Minggu, 16 Februari 2014

LATO'

Sosoknya jika kau tilik tidak sekokoh dua tahun lalu
Usia menggerusnya, tubuhnya merenta
Memakan semua kekuatan di dalam sana
Kecuali semangat
Jika kau tatap ia tidak akan menatapmu balik
Bukan karena sombong
Tapi penglihatannya di ambil Tuhan di umur muda
Mengecualikan nanar duka
Gerak mata yang mencari suara

Warna tidak lagi nyata
Kelam, hitam, kelabu jadi kawan
Invalid... ya mungkin ia tidak lagi sempurna
Bahkan buta membuat semua indera mengerjakan lebih dari seharusnya
Hidung untuk lebih tajam mengenal aroma
Kulit untuk meraba bentukan benda
Telinga untuk selalu waspada atas gerak sehalus helai sutra
Dan lidah untuk mengecap rasa tanpa gambar

Derita, nestapa, sebut saja semua nama, perwakilan dari duka
Tapi airmatanya keluar hanya karena debu
Merutuki Tuhan tidak pernah terlafadz
Lantunan bijak selalu jadi penyemangat nadi agar tetap berdetak
Ini sudah takdir, katanya

Padahal...
Bahkan untuk berjalan beberapa langkah
Semua anggota tubuh harus berjaga
Menjaga celah dari menabrak, terjatuh, dan tersesat
Duhai...Tuhan..apa boleh aku menyebutMu kejam?
Kau buat manusia begitu tersiksa sesuai kehendakMu?

Lalu  tetap saja ia menempuh semua resiko terburuk dari gelap dunianya
Bukan untuk mengemis
Hanya mengikuti kangen akan cicit nun di kota
Berkendara di antara belantara
Dan sudah sangat bahagia dengan dekap dan suara
Tanpa gambar...

Lato'ku....sayang...takkan ku sebut Kau malang
Walau dunia mungkin tidak berdamai
Tapi kau tegur aku yang mengutuk Tuhan
Kau ajarkan syukur tanpa dikte
Kau tunjukkan semangat tanpa perintah
Hanya laku dan bijak kata mu yang buatku membuncah
Dari jiwa sesak dan rasa ingin berontak

Lato'ku ... sayang... ini cucu mu berwajah gempal
Kemarin bersikap berandal dengan ceracau nakal
Tapi hari ini Kau buatnya sadar
Hidup bukan tentang mengeluh..bukan tentang merenung bimbang
Dan kelak nanti kupastikan kau akan menangis
Menangisi betapa tidak sia-sia nya Engkau mendidik aku