Senin, 08 Februari 2016

Selintas Gumam Yang Belum Selesai - Poverty

Kemiskinan itu selama ini hanya terpapar melalui layar kaca, terbaca melalui media baca, dan sama sekali asing sedimikian lamanya meskipun sangat nyata (sebenarnya).

Lalu kemudian kemiskinan ini benar-benar saya sadari sampai ia benar-benar melingkupiku.
Tidak secara nyata lalu saya merasakannya dengan menjalani hidup dengan kemiskinan itu sendiri.
Namun, ia - kemiskinan itu ada di dekatku.
Tidak lagi melalui potret seorang anak kelaparan yang dijaga sang burung pemakan bangkai menunggunya mati. Atau berbahayanya menyelamatkan nyawa untuk tetap aman dan kenyang ketika seorang anak berbaju biru ditemukan mati terdampar di pantai.
Tidak, tidak senaif itu.


Karena ternyata kemiskinan bukan tentang mendengarnya kemudian terenyuh. Membacanya dan melihatnya via media kemudian mengerti. Itu hanya empati yang tidak akan pernah sehati - bagi saya.

Ini adalah kali pertama saya merantau begitu jauhnya dari inang. Keluar dari sarang seperti yang selama ini saya inginkan. Jemu dengan keadaan kota yang sebenarnya tidak begitu buruk lalu hidup dan belajar terbang sendiri.

Di kota ini, Jakarta.
Kota berkelas dunia - katanya. Dengan taraf hidup yang - seharusnya lebih baik. Dimana lahan sudah berubah menjadi apartemen, manusia-manusia modern yang tidak lagi memijak kaki di tanah dan bertempat tinggal dengan orientasi vertikal. Selama masih tinggi langit dijangkau, semeter tanah pun bisa dibuat bangunan menjulang untuk ditinggali - mungkin. Melupakan kodrat kaki untuk menapak. Namun beruntunglah saya karena dipersilahkan untuk memulai semua fase itu dari bawah. Sehingga mampu memahami makna "Jakarta Undercover" yang selama masa remaja saya hanya bermakna seks sesat dengan menganggap bahwa semua alasan di dalamnya adalah justifikasi semata, tanpa membuka bukunya dan belajar memahaminya sama sekali. Sehingga - setidaknya tidak lagi asal-asalan dalam menilai sesuatu, walau belum bijak sekalipun.

Masih tentang pemahaman saya yang sangat dangkal. Dan otak yang belum teridentifikasi dengan semua teori, defenisi, dan semua penemuan tentang bagaimana hidup seharusnya. Lalu kemudian saya menyadari. Kemerdekaan baru sampai di tempat dimana kita bisa menyebut negara ini Indonesia. Bukan bagian dari persemakmuran. Dan ras bangsa lain yang hendak datang ke dalam negara ini - akhirnya perlu surat-surat izin demi masuk wilayah kita, Indonesia. Teritori. Yah, saya rasa baru sampai batas itu.

Karena kemerdekaan tidak dimiliki kaum miskin. Akan tetap terjajah oleh siapapun di atas mereka. Yang menuding dan menunjuk demi instruksi-instruksi  yang - dengan manggut-manggut akan dituruti.

Saya bisa mengakui bahwa - dulu, uang koin senilai 100 rupiah adalah barang yang hampir tidak lagi bisa dipakai. Pun jumlahnya sampai seribu rupiah. Orang lain di sekitar bahkan saya sekalipun akan memicingkan mata ketika menerimanya dan baiknya ditukar saja dengan lembar kertas dengan jumlah nilai yang sama. Namun di sini, Jakarta. Di bawah gedung yang menjulang tinggi. Di sebelah parkiran kendaraan dengan sistem scan kartu. Dan di belakang swalayan yang menawarkan efektifitas berbelanja. Ada tangan yang akan tetap menengadah dan menerima recehan tersebut. Entah ini memang sangat awam dan memang saya begitu jauhnya dari memahami bagaimana pedal kehidupan orang lain. Namun, sampai saat ini akhirnya saya mafhum. Kemiskinan sedang mengajak saya untuk mengenalnya - lebih dalam.



Seperti menghitung jumlah hutang para pembeli di warung kecil milik nenek saya. Jumlahnya hanya berkisar 15.000 rupiah - saja. Namun butuh berminggu-minggu untuk membayarnya. Sementara di lain sisi. Pengguna taksi bisa saja menghabiskan 150.000 untuk berpindah tempat beberapa kilometer. Bagaimana saya menemani nenek saya untuk memeriksa kesehatan dan harus menunggu sang dokter yang terhormat datang hingga pukul 11 malam. Demi sesi pemeriksaan ala kadarnya dan seonggok obat gratis hasil dari kartu bernama BPJS. Untuk hal yang "gratis" itu adalah sepadan. Entah akan sembuh atau tidak. Akan kembali lagi atau dirujuk ke tempat lain yang mengharuskan pembayaran dikarenakan dengan ukuran penyakit yang ada ternyata sudah tidak sesuai dengan platform gratis itu lagi.

Lalu muncul ungkapan " bahagia tidak diukur dari uang". Cih...

Lucu. Geli rasanya. Tidak, saya tidak hendak berdebat dalam hal tentang bagaimana seharusnya...bagaimana semestinya... Apa tindak lanjut pemerintah sebagai pengayom. Bagaimana harus diselesaikannya kemiskinan ini dengan menghentikan korupsi. Bagaimana menilai uang yang tidak seharusnya menjadi semua penyelesaian. Atau peredaran jumlah uang yang bisa saja mengganggu stabilitas suatu negara. Berbicara teoritis dengan dalil yang disadur dari buku-buku yang penuh hasil penelitian diserati saran-saran tentang bagaimana sesuatu itu seharusnya.

Mungkin pemikiran ini belum pakem dan akan terus berkembang seiring waktu - yang kata orang adalah pembelajaran. Saya tidak pernah paham makna kemiskinan itu sendiri sampai akhirnya semua terdefinisi dengan kurangnya - jumlah uang yang dimiliki. Setidaknya itu yang sampai pada saya hari ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar