Senin, 15 Desember 2014

BEKU

Aku menatap nanar pada bingkai jendela dengan pemandangan yang sama, lalu lalang yang selalu tetap sama.
Entah apa yang terjadi pada otakku sehingga tidak memberi komando pada tubuhku untuk bergerak, setidaknya...untuk mandi.

Kejadian semalam...yah kejadian semalam. Bahkan setiap dari sentuhannya masih sangat terekam di memori otakku. Nafas yang memburu, gejolak dari segala dorongan sel hyphothalamus yang membuat udara dingin di sekitar tidak lagi berfungsi. Kami -- sebut saja... bercengkerama liar.
Sejenak terlupa semua sistem sosial yang mengungkung, nilai-nilai budaya yang mengikat, dan bahkan tuhan mungkin berpaling saat itu.

Atas dasar cinta.
Yang semu.
Dan hanya menjadi alasan klise.
Menjawab semua rasa penasaran yang sedari kecil mengganggu. Dan membiarkan semua pikiran kolot agamis dilepas, biarkan membubung di langit-langit kamar dulu saja. Tidak terlena tapi kubiarkan lena. Aku masih dengan segala pikiran sitematis ku, masih dengan segala otak yang penuh perhitungan. Bukan remaja tolol yang memberikan semua dari tubuhku hanya dengan alasan, nafsu.
Apa ini benar?
Apa aku sudah cukup mampu bertanggungjawab atas diriku?
Apa aku mampu menghadapi segala cibir?
Tapi ini aku, aku adalah duniaku dan kubiarkan jua segala hal liar itu, terjadi. Lepas.

Sepeti itu saja.
Hal erotis yang tergambarkan dalam film-film dan video amatir ternyata tipu belaka.
Atau aku yang mati rasa? Entahlah.

Semalam seperti angin lalu.
Dan kini yang ku dapati diriku terjerembab dengan segala hal yang tidak bisa terpungkiri -- semu.
Apa lagi selanjutnya?
Lalu apa sesudah itu?
Apa ketika mati aku masuk neraka?
Bentuk siksa macam di buku-buka siksa neraka yang kecilku dulu terjual bebas dengan segala bentuk gambar erotis tidak terdeteksi lembaga sensor itu, apakah akan menjumpaiku juga?
Lalu setelah segala keperawanan yang telah tergagahi usai, aku termasuk kategori "wanita kotor"?
Apa stereotype "pelacur" juga pantas kusandang?

Aku paham agama. Walau tidak berperangai nabi.
Semua sudah jadi hal yang kucerna sejak kecil dini ku.
Tuhan yang tidak hanya menghidupkan manusia untuk sekedar hidup saja, namun dibarengi segala hal yang sudah harus diterima untuk dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan bahkan tidak untuk didekati sekalipun.

Segala norma dan dogma yang sedari lahir sudah "dibuatkan" secara tidak tertulis. Jangan begini dan jangan begitu yang harus selalu dijaga. Sehingga menjadikan nama baik menjadi prioritas utama untuk dipelihara. Yang "kata mereka" membedakan manusia dari binatang.

Aku selesai.
Selesai dengan tidak menyelesaikannya. Selesai dengan tidak memikirkannya.
Dan kini selesai dengan semua rasa penasaran yang terjawab.
Aku masih tetap sama secara kasat mata.
Namun semua orang selalu terlalu sok tahu tentang bagaimana membedakan si perawan dan yang telah kehilangan baik itu melepaskannya dengan sengaja atau dalam keadaan yang bahkan dirinya tidak menginginkannya.
Dan aku kini penasaran tentang bagaimana manusia-manusia di sekelilingku menilaiku.

Aku -- masih menatap nanar keluar jendela.
Bahkan menjawab segala hal dalam otak aku tidak mampu.
Ayah pasti mengecamku.
Ibu akan meringkuk pilu dengan tangisan sesal.

Tidak, aku tidak sedang berpikir.
Menyesalpun, tidak bisa pula dikatakan demikian.
Menangis sedikit, sesaat setelah selesai. Seperti telah melangkah dari jenjang masa kecil menuju dewasa.
Seperti saat pertama kali mendapatkan haid pertama.

Tapi masih saja semua tidak tercerna dengan baik di otakku.
Bahkan untuk melangkah mandi pun enggan.
Kejadian semalam.
Buatku, beku.







2 komentar:

  1. Jaga hubungan itu, Karan.
    Pasti sakit rasanya ketika orang lain menemukan sesuatu yang di takdir kan untuknya dalam keadaan yang tidak baik, walau masa depan itu gelap tapi tidak harus gelap

    BalasHapus
  2. Walau masa depan itu gelap tapi tidak seharusnya hitam.

    BalasHapus