Selasa, 06 Mei 2014

SEKILAS LEMPUYANGAN


Setelah kemarin aku menyelesaikan tes masuk pasca sarjana di UGM Jogja, hari ini aku hendak menunggu waktu tes wawancara (yang masih lama waktunya) di rumah nenek di Jakarta. Tidak enak rasanya, kalau sudah ada di pulau Jawa macam ini, lalu tidak soan ke rumah nenek yang dulu merawat kecil dini ku.

Aku yang belum tahu Jogja, tidak mau merepotkan senior yang sudah berbaik hati, meminjamkan kamar kost kecilnya untuk di bagi sama aku yang badannya mengambil sepertiga luas kamar kost nya. Malu rasanya. 

Berangkat dari kost dengan berjalan kaki mencari shelter bus.

Jalanku terseok, dengan segala tas yang bergantungan tidak lagi apik di bahu dan punggung. Ternyata begini rasanya merantau, sendiri di kampung orang, dengan bahasa, budaya, dan laku yang beda dengan kampung sendiri. Sampai di shelter punggungku sudah hampir patah rasanya. Setelah bertanya bus dan rute apa yang harus ku tumpangi untuk ke stasiun Lempuyangan, aku ternyata malah mendapati diri salah shelter. Si mbak petugas menunjuk shelter lain di sebelah rumah sakit yang masih rada jauh. Ah!

Badan baru terasa sedikit enak setelah duduk di jok kursi bus.

Toeeeet!! Busssshhh!!

Si bus berjalan perlahan dan pasti. Rasa nyaman ini terus ku nikmati.

Pemandangan kota Jogja, dengan Malioboro-nya, entah karena aku terlalu sensitif atau memang karena aku sendirian, sehingga tidak bisa mendapati apa alasan Kla Project bikin lagu tentang indahnya kenangan di Malioboro, aku – hanya merasa kesepian. Walaupun paham bahasa mereka. Aku tetap merasa seperti tersesat. Seperti film Last in Translation versi Indonesia mungkin. Hhh..... menyedihkan.

Tidak lama ku nikmati jok empuk bus dengan harga murah itu, penumpang makin membuncit, dan seorang tua di depanku yang baru masuk sudah seharusnya ku beri tempat.

“Monggo bu... duduk di sini saja...,” aku berdiri mencari keseimbangan pada laju bus yang pula makin cepat.

“Maturnuwun mbak...,” si ibu memegang tas kecil nya sambil duduk.

15 menit aku mematung, pada tiap dari hempasan bus yang berusaha laju pada kota Jogja yang sempit, akhirnya si kondektur menyatakan bahwa shelter depan adalah untuk mereka yang hendak ke stasiun Lempuyangan. Aku bersiap.

Hupp!

Aku selalu sedikit takut pada jeda bus dan shelter, membuat aku harus melompat karena takut terlalu lama dan terjatuh.

Keluar dari shelter, banyak penarik becak yang mendekat, ku pilih bapak pengayuh yang paling tua di situ.

“Lempuyangan ya..”

Bapak pengayuh becak itu mengangguk takzim. Mafhum mungkin, pada tampangku yang terlihat sangat baru akan daerah ini.

Ah...kompleks rumah di daerah menuju stasiun mengingatkanku pada film-film lama Adi Bing Slamet dan DKI Warkop. Jendela-jendela dengan kusennya yang sangat 80-an. Pagar-pagaran yang (saya sebutnya) sangat Betharia Sonata (mungkin). Sangat klasik. 
Hati jadi makin sendu saja rasanya.

Becak berhenti di depan gerbang stasiun. Bapak pengayuh ku beri lebih dari biaya yang seharusnya. Beliau berterima kasih terlalu berlebihan. Aku hanya tersenyum sembari berkata, bahwa itu harga yang bahkan kurang untuk usianya. Tapi beliau masih saja bersikap seakan itu lebih. Layaknya sertifikasi guru yang banyak orang bilang terlalu berlebihan, aku rasa itu bahkan kurang, saat mereka harusnya sadar, tidak akan ada yang kenal angka dan aksara jika para guru tidak mengajarkannya.

Ku tinggalkan bapak pengayuh becak itu sembari berdoa, jika aku lulus di UGM, bapak itu akan jadi langganan becakku jika melancong di Lempuyangan lagi.

Aku masuk ke stasiun, bertanya tiket ke Jakarta. Jam berdetak di jam 10 pagi.

Mbak petugasnya melayani melalui ruang sebelah yang di hubungkan lewat jendela kecil macam rumah tikus. Dia menjawab semua pertanyaanku melalui microphone depan mulutnya yang tersambung ke speaker di atas kepalaku. Keretaku baru akan datang jam 6 sore. Dan semua orang harus tahu itu lewat speaker besar di atasku. Bodoh.

Aku melangkah lunglai, tas-tas besar ku angkat lagi ke kursi tunggu.

Tidak mungkin aku harus balik ke kost. Terlalu jauh. Ongkos lagi. Dan semangatku pun sudah pupus.

3 jam aku duduk beku. Tidak ada yang menarik selain logat-logat Jawa yang berseliweran. Tidak ada kisah macam di FTV yang membuatku bertemu dengan lelaki gagah medok dan akhirnya jadi kekasih.

Kulihat, ada orang-orang yang sudah diperbolehkan masuk ke dalam ruang tunggu di bagian dalam stasiun, sementara aku masih di ruang tiket dan informasi. Aku pula beranjak. Merajuk untuk di masukkan ke dalam walau keretaku masih lama. Mereka akhirnya mau. Setelah melihat KTP Makassar ku.

Di dalam lebih lengang. Rel-rel kereta belum terlintasi kereta satu pun. Penumpang yang menunggu masih sedikit, bahkan ada yang tiduran.

Aku memilih kursi yang paling belakang. Selain mengamankan tas, aku bisa menyapu pandangan ke seluruh sudut stasiun dari sini. Ku tarik nafas panjang. 
Hhhhhhh....... 
Apa kelak aku akan baik-baik saja jika tidak lulus dari tes masuk UGM ini? Setelah semua usaha dari bapak yang meminjam uang demi biaya ke sini. Derit kursi yang ku duduki makin membuat mentalku meringkik pilu. Tuhan... ku harap semesta mau mendukungku.

Ku buka tas dan mengambil Kimun (kamera DSLR ku). 
Membidik sunyinya Lempuyangan dengan seorang anak kecil yang berpotongan ala Dora The Explorer, menunggui emaknya yang tertidur dengan si kecil yang sedang di susui. Jarik panjang khas Jawa nya menutupi. Klasik. Aku jadi teringat jarik (kain panjang) mamak yang sering ku jadikan sprei kasur ketika di pesantren dulu, sebagai pengobat kangen pada mamak dan bapak di rumah. Dan harus selalu basah oleh airmata demi menahan rindu setengah mati.





&*&*&*&*&*&*&*            &*&*&*&*&*&*&*&*&            *&*&*&*&*&*&*    *&*&*&*&*





Makin siang akhirnya stasiun makin ramai saja. Aku makin terdesak. Makin sunyi dalam keriuhan. Aku masuk ke dalam mini market untuk membeli minuman, sekedar melegakan tenggorokan yang tercekat. Ah... lapar. Tapi aku terlalu takut untuk makan sembarangan. Dengan pengalaman buruk akan dedagingan yang beredar di Jawa. Aku, jadi sedikit lebih waspada untuk menyantap makanan pada warung-warung yang ada. Lapar ku tahan. Tidak enak juga makan sendiri.

Kembali duduk.

Tiba terlihat dari arah depan, ada penjual roti. Dan dengan senang aku menyambutnya karena tulisan HALAL yang cukup besar pada kereta dorongnya.

Mas penjual roti mendekatiku dengan senyum. Ramah.

Aku memesan dua bungkus. Dan dengan bahasa ku yang sangat tidak Jawa, ia segera bertanya.


“Mbak nya mau kemana, baru ya di sini??”


“Emmm iyaa...ke Jakarta..”, jawabku sambil mengunyah.


“Waah,,kereta ke Jakarta masih lama loh mbak, apa gak pulang dulu saja??ntar balek lagi kesini..”


Aku menggeleng. Menjelaskan alasan kenapa. Pada orang yang baru ku kenal. Seakan mendapat teman mengadu. Apa mungkin ternyata aku butuh orang yang peduli?

“Yaa...kalo gitu mbak nunggu di mushalla saja mbak, sekalian istirahat, ntar kalo kereta nya datang ta’panggil deh..”, si mas penjual roti itu simpatik mendengar cerita ku yang macam anak hilang.


Aku menurut dan berjalan ke mushalla.


Sampai di mushalla ternyata ada penitipan tas. Aku masuk dan bertanya ke marbot masjid. Dia tersenyum sangat ramah (mungkin senyum standar biasa, tapi aku terlalu kering akan kepedulian saat ini), dia menawarkan tas ku untuk di angkatkan dan di titipkan. Saat ku pesan untuk tidak meletakkan tas-tas ku di lantai, dia pun masih dengan senyum ramahnya mengangguk.

Ah...mungkin tdak semua orang di sini yang individualis. Buktinya sudah ada dua orang yang baik di sini. Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku tidak kesepian lagi menunggu kereta. 


Setelah dhuhuran. Aku selonjor kaki di teras masjid. Si mas marbot tadi mendatangiku.


“Mbak nya mau kemana?”


“Mau ke Jakarta...”


“Oh keretanya masih lama kok, tiduran saja dulu..”


Aku hanya tersenyum. Tidak  mungkin aku tidur dan kemudian benar-benar tertidur. Takut ketinggalan kereta. Apalagi di tengah kesendirian dengan uang pas-pasan. Jika di bilang sendiri, sebenarnya tidak juga. Aku memiliki beberapa teman sepantaran yang sudah sekolah lama di Jogja, tapi mereka tidak juga menawarkan diri untuk ku tempat bernaung selama di Jogja, mungkin karena sibuk. Aku pun -- mencoba berdikari.

Lama. Aku memandangi kereta-kereta yang sudah beberapa lewat. Aku melangkah keluar mushalla, kembali duduk di kursi, mas penjual roti mendatangiku.


“Mbak e gak makan? Kok lesu gitu...gak usah takut...nanti ta’ kasi tau kalo keretanya sudah datang..”


“Gak papa mas, saya takut makan di sini, kemarin hampir makan daging babi waktu di Solo, masih kenyang kok makan roti”,ku jawab sekenanya.


“Lah kok bisa?? Yaaa memang sih namanya di jawa banyak suku dan agama mbak..., mbak nya kesini ketemu siapa toh? Kok sekarang mau ke jakarta lagi?orang sana toh?”


“Saya orang makassar, kesini buat ikut tes masuk di UGM, sekarang mau ke rumah nenek di Jakarta, nanti balek lagi kesini buat wawancara...”


“Hoooh...ta’ doakan semoga lulus dan bisa ketemu lagi sama saya, namaku Jono ya mbak...ingat-ingat kalo balek lagi ke Jogja, aku tiap hari kerja di sini terus jual roti, “ ia menjawab dengan semangat sembari duduk di dekatku dan mengipas-ngipaskan topi nya.


Aku mengangguk tersenyum. Senang dan berterima kasih karena dia mau mengerti keadaan aku yang seperti hilang arah. Aku -- tidak merasa sendiri lagi.






&*&*&*&*&*     &*&*&*&*&*&*    &*&*&*&*&*&*     &*&*&*&*&*&*&*     &*&*&*&*





Jam sudah menunjukkan solat ashar. Aku sudah sangat muak menunggu. TOA mushalla stasiun Lempunyangan pun sudah melantunkan adzan. Aku beranjak ke mushalla. Berwudhu dan bersiap solat berjamaah. Aku berada di shaf terdepan dan jamaah shaf di belakangku penuh. Hingga akhirnya imam memulai takbir rakaat pertama.


Dan tiba-tiba kereta jurusan Jakarta datang! 
Aku terkesiap. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin solat sendiri sementara aku berada di shaf depan. Aku juga tidak bisa lari karena shaf sangat full di mushalla kecil ini. Padahal, kereta tidak akan berhenti lama untuk menungguku berjamaah. Oh tidak! Katanya jam 6, kenapa sudah datang keretanya??


Aku masih ternganga dengan segala kebingungan. Kepalaku menjulur-julur menengok kereta dan tempatku solat secara bergantian. Pucat. Bagaimana ini?


Tiba-tiba si marbot yang baru selesai berwudhu dan mengambil shaf di belakang melihatku yang pias dan tersenyum, sambil berkata dengan berbisik dari jauh.

“tenaaang....keretanya....belum berangkaat...itu...masih mau di cuci dulu....udaaah..solat aja dulu...”, ia paham ketakutanku.


Huaaaaah....Alhamdulillah....aku berkaca-kaca di sebabkan ketololan dan kecemasan.


Aku mengangguk cepat dengan sangat lega dan kembali meperbaiki shaf untuk segera berjamaah pada ujung bacaan ruku’ imam.




*&*&*&*&*&*&    *&*&*&*&*&*&*&      *&*&*&*&*&*&*     *&*&*&*&*&*&*&*  




Tuhan tahu kegundahan hatiku. Di saat aku sangat merasa sendirian. Dia mengirim orang-orang baik seperti Mas Jono penjual roti dan Mas marbot mushalla. Di saat segala risau dan cemas Tuhan memberi kawan yang tidak di duga datangnya.

Setelah solat ashar. Aku mendatangi penitipan tas di mushalla itu. Hendak mengambil tas. Tapi mas marbot itu melarang, katanya nanti saja kalau keretanya sudah mau berangkat karena keretanya baru di cuci.

Aku manut. Melihat ke arah kereta yang sedang di cuci oleh petugas.

Beberapa jam aku masih menunggu.

Setelah jam menuju pukul 6. Aku mengambil tas. Mas marbot itu memberi doa semoga aku selamat sampai tujuan. Sementara di depan peron, mas Jono penjual roti mengarahkanku pada pintu yang harus ku masuki sesuai dengan nomor di tiketku. Aku sangat senang dan berterima kasih. Tidak perlu harus ketika aku lulus di UGM, jika aku kelak sedang di Jogja, aku pasti mencari kalian. Orang-orang baik yang menemani sekilas waktu ku di Lempuyangan.


Aku melambaikan tangan pada Mas Jono dari jendela kereta.

Sampai Jumpa Lagi...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar