Sabtu, 08 April 2017

Cerita Mikrolet #2

Pagi ini seperti beberapa  hari sebelumnya, aku akan berada di persimpangan jalan satu blok di depan lorong rumah. Menunggu angkutan umum yang akan kutumpangi sampai ke kantor.
---------
Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu, namun mobil mirip minibus biru  itu tidak juga muncul dihadapanku.  Ada beberapa yang lewat namun tujuan mereka hanya sampai ke pasar beberapa blok di depan. Dan aku baru tahu hal itu setelah beberapa hari ini.

Ah! Batu kerikil kecil menjadi sasaran kemarahanku.

Aku tidak pernah setuju dengan ide menumpang angkutan umum ke kantor.

Bajuku akan berbau keringat dan debu. Sementara rambutku akan menjadi kusut tak peduli seberapa sering berusaha menyisirnya dengan jemariku. Namun ibu tidak akan mengizinkanku memakai sepeda motor yang ada karena insiden di malam minggu kemarin.

Yeah, demi menghindari sebuah truk container besar yang tidak tahu aturan, aku jadi tersungkur jatuh di gundukan pasir pinggir jalan, belum cukup merutuki hal itu, sebuah mobil melaju dari belakang dan membuat genangan air didepanku terbang ke arahku.

Lututku memar dan berdarah.
Dan walau tidak terlalu parah, ibu yang melihat hal itu langsung pucat dan memuntahkan isi perutnya di wastafel.

“Ibu akan mual jika kaget dan khawatir”, itu alasan ibu melihat darah yang berbercak pada celana jeans ku yang sobek.

---------

Hampir lima belas menit kemudian lalu sebuah mikrolet biru ini berhenti tepat di depanku. Sesaat setelah supir itu mengangguk mendengar arah dan tujuanku, aku sudah duduk tenang di atas –entah kursi penumpang ini aman atau tidak, telah memenuhi standar kualifikasi tempat duduk penumpang atau tidak.


Aku penumpang satu-satunya, segera sibuk mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kantor untuk memberitahu mengenai keterlambatanku. Setelah itu aku begitu asyiknya membaca portal berita online.

---------

Bruakkk!!!!

Ahhh!! Aduuuhh!!!!

Aku berteriak kencang. Badanku yang berada jauh di belakang kursi penumpang tiba-tiba saja terlempar sampai ke depan kursi supir pengemudi mikrolet. Aku memegangi lututku dan terus meringis.

Bapak supir itu tentu saja juga sangat terkejut melihatku tidak dapat bergerak. Dia begitu paniknya menanyaiku,

“Apa yang patah?ada yang luka?kenapa lututmu?”

Bodoh.

Aku tetap terdiam tidak menjawab selain meringis dan menangis.
Sungguh lututku ini belum sembuh benar sejak kecelakaan itu lalu kemudian harus kembali terbentur di lantai mikrolet.

Aku berusaha bangun dan segera menghardik.

“Kalau bawa kendaraan tolong hati-hati!”

“Pelan-pelan saja bisa kan, lihat luka di lutut saya kembali berdarah!”

Aku pun langsung duduk dengan susah payah. Pengemudi mikrolet ini terus saja meminta maaf sambil melajukan kendaraaan dengan kecepatan sedang.

“Maaf, tadi tiba-tiba kendaraan di depan saya berhenti jadi saya langsung menginjak rem, maaf..apakah saya boleh membawa adik ke rumah sakit?”

“Ya, itu sebabnya bawa kendaraan tidak perlu buru-buru. Jadi tidak akan mengerem dengan tiba-tiba juga. Sudah, saya mau langsung ke kantor saja”.

Pengemudi mikrolet ini mengangguk dengan takzim seakan paham dengan kemarahanku.

Bahkan disaat aku hendak turun dia hendak menuntunku tapi kutolak.

Hhh…, aku akan protes pada ibu sebentar malam. Naik mikrolet, ternyata tidak lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar