Sabtu, 23 Juli 2016

Hasrat Siang

Hari ini sangat terik.

Jalan sepulang sekolah kali ini akan terasa lebih berat dari sebelumnya.

Sedikit terantuk batu langkahku berjalan menjauhi  gerbang sekolah.  Ajakan teman untuk berkumpul ngebakwan sudah sedari tadi kutolak.  Dan setelah berpuluh menit berjalan aku menyesali keputusan tersebut.

Seteguk air dingin terasa akan begitu menyegarkan mengganti beberapa liur yang tertelan. Namun tiada lain tiada bukan langkah kaki tetap harus kutegapkan berjalan pulang. Karena botol minum yang ku bawapun sudah kosong sejak istirahat pada jam kedua di sekolah.

 Yeah..., setelah beberapa bulan yang lalu keluarga kami pindah rumah. Jarak dari rumah ke sekolah sekarang begitu jauh. Dan dengan uang jajan yang tidak seberapa, aku harus terus menghemat pengeluaran dengan berjalan kaki ke sekolah. Jika dulu jarak rumah ke sekolah hanya 30 menit maka sekarang aku harus menghabiskan hampir satu jam untuk mencapai rumah. Ada jalan pintas yang bisa kulewati dan bisa menghemat lima belas menit waktu perjalanan ke rumah. Tapi itu artinya aku harus memutar jalan pematang sawah di belakang sebuah komplek perumahan yang baru dibangun dan berharap anjing salah satu pemilik rumah sedang terikat dengan baik.

Tidak.
Aku memilih melalui jalan biasa.




Ah...hari ini mungkin matahari ada tiga.

Aspal jalan seperti beruap. Menciptakan fatamorgana di atas jalan. Debu jalan beterbangan seiring dengan deru kendaraan yang lalu lalang. Beberapa peluh sebesar biji jagung yang mengalir dari dahi sudah berulang kali kuusap. Terseok langkah ku akibat sepatu baru yang dibelikan bapak di pasar, seminggu sebelum tahun ajaran baru dimulai.
Ck..
Harusnya aku memakai selotip pada tumitku demi menghindari gesekan yang masih kaku pada ujung tumit sepatu baru ini.

Masih ada beberapa blok lagi untuk sampai di rumah. Aku berteduh di bawah sebuah pohon beringin besar yang sudah sangat tua umurnya. Kata orang, pohon beringin ini tidak ada yang berani menebang karena ada penunggunya. Sejenak bergidik menatap rimbun daunnya, namun tidak peduli seberapa menakutkannya pohon itu, aku sudah sangat kepanasan untuk melanjutkan perjalanan dan tetap berteduh di bawahnya.
Sembari mengipas tangan dan menghapus peluh. Terdengar di seberang jalan suara anak-anak yang terlihat sedang mengerumuni ibu penjual es. Tidak hanya aku, mereka mungkin juga sangat gerah dan haus akibat kepanasan. Berebut mereka hendak segera dilayani dan menyeruput sekantong es yang sekali lirik saja aku tahu, itu es oplosan.

Warna oranye dan merahnya yang ngejreng seperti sengaja dibuat untuk menarik perhatian pembeli. Dan seperti sekerumun serangga di malam hari yang tertarik pada cahaya terang. Anak-anak dan oh..ada seorang bapak juga, segera saja berlarian hendak meneguk kesegaran yang terbayang. Tanpa mereka sadari, mereka sudah masuk perangkap. Warna minuman yang membuat liur terangsang untuk keluar itu sama sekali tidak mewakili rasa yang ditawarkan. Oranye untuk rasa jeruk dan merah untuk strawberry? Ya, seharusnya.
Tapi nyatanya itu hanyalah pewarna makanan semata – ya semoga saja pewarna makanan asli bukan untuk bahan tekstil demi menurunkan biaya proses produksi.  Pewarna yang tidak memiliki rasa. Rasa manis yang ada berasal dari citrus. Bukan gula asli. Semua artifisial. Dengan varian rasa yang hanya ada satu. Manis. Dengan mengkonsumsi yang kebanyakan akan membuatmu pusing beserta tenggorokan yang gatal.

Eerrgghh...
Aku segera menepis bayangan itu. Menelan ludah dan beranjak untuk melanjutkan perjalanan pulang.

“hai say!! Mau bareng becak?”

Cindy, cewek termanis di kelas menyapaku dari atas becak yang ditumpanginya.
Bahkan disaat panas seperti inipun dia terlihat sangat sempurna dengan sedikit keringat yang mengalir di pelipisnya. Kesannya makin membuatnya ranum. Bahasa kekiniannya -- seksi. Berbeda dengan aku yang terlihat seperti memakai lapisan minyak goreng pada wajahku disertai keringat yang muncul di daerah muka yang jauh dari terlihat manis.

“ah, tidak..rumahku sudah dekat, trims ya..”

Cindy pun mengangguk dan meminta tukang becaknya melanjutkan perjalanan melihatku menolak dan menunjuk ke blok depan seakan rumahku sudah dekat.

==================================

Menengadah dan matahari masih betah untuk bersinar.
Tak apa.
Sebentar lagi aku akan sampai di rumah.
Terbayang masakan yang dibuat ibuk, -- tidak mewah.
Hanya semangkok sayur sop sederhana dengan campuran beberapa potong wortel dan kentang yang dibumbui kaldu ayam instan dan kuahnya yang diberi kocokan telur ayam peliharaan bapak. Nikmat. Sungguh beruntung jika bapak mau merelakan beberapa lagi untuk digoreng dadar, dicampur rajangan cabai rawit dan dua siung bawang merah putih. Dan sepertinya kemarin bapak juga baru saja menerima dua karung beras hasil sawahnya di kampung. Tentu nasi panas yang akan dihidangkan masih sangat pulen. Dan selalu, masakan ibu tidak akan pernah disajikan tanpa sambal terasi khas buatannya yang akan melengkapi kelezatan menunya, secara paripurna...
Sluurrrpp...aaah..sedaaap.

Membayangkannya saja sudah membuat hatiku bergejolak.
Aku menggeleng-geleng kepala bangun dari khayalan.
Perutku senada dengan otak membuat detak jantungku memompa darah lebih banyak dan adrenalinku terbangun untuk segera bergegas. Tumit yang luka sudah tidak ku pedulikan. Semakin cepat sampai di rumah aku akan semakin cepat terlepas dari siksaan ini. Dan akan semakin cepat menikmati masakan ibu yang sudah menari-nari dipelupuk mata ini.

Dua blok tanpa kusadari hanya kulalui dalam 10 menit.
Sapaan ibu RW saat hendak keluar membeli rujak hanya ku jawab dengan senyuman sekedarnya.

Ah...pagar bambu buatan bapak dari jauh sudah terlihat.
Aku bahkan tidak sabar menunggu lampu lalu lintas berubah merah untuk segera menyeberang. Seperti kuda pacuan yang hendak dilepas, aku menunggu. Nafasku mendengus karena tidak sabaran. Perutku bernyanyi karena lapar. Dan selalu saja kepalaku gatal disaat-saat seperti ini. Sambil menggaruk aku berdecak. Disaat seperti ini, indra yang dimiliki akan semakin peka. Fokus pun makin gampang teralihkan. Bahkan kucuran air mancur di PUSKESMAS samping jalan ini membuatku membayangkan segarnya jika diseruput.
Ah, bahkan aku bisa mencium bau masakan tetangga. Ikan asin kering yang digoreng di atas minyak. Pasti sangat sedap dimakan bersama nasi panas.
Wuuff...air liurku semakin berlarian.

Lampu sudah merah!

Sedikit berlari aku menyeberang jalan.
Membuka gerendel pintu pagar dengan kesusahan karena terlalu kegirangan sampai di rumah.
Pintu depan rumah seperti biasa, terkunci.
Ibu merasa perlu untuk mengunci pintu depan sebelum kami memiliki pagar permanen untuk halaman rumah. Karena beranggapan kami adalah warga baru yang belum mengenal lingkungan disini. Beliau tidak ingin TV layar datar yang baru dimilikinya hilang dicuri sebelum masa kreditnya lunas.
Konyol. 
Mungkin. Tapi cukup masuk akal.

Aku pun membuka pintu dengan kunci yang ku miliki.
Ah, sedikit lagi. Bahkan meja makan dengan tudung saji diatasnya sudah terlihat dari jendela depan.

“assalamu alaikum...” aku mengucap salam dengan sedikit teriak.

Melempar tas seadanya di ruang tamu dan segera bergegas ke kamar mandi untuk mencuci tangan, kaki, dan tentu wajah yang sudah sangat kucel.
Aku tidak menyadari bahwa suasana rumah sangat sepi. Dan tidak ada yang menjawab salamku. Orientasiku hanya tertuju pada meja makan bertudung saji hijau. Sedikit terpeleset karena tidak melap kaki yang basah dengan baik saat keluar kamar mandi. 
Aku hanya bercelingak celinguk mencari ibu.

“mungkin ibu sedang solat di kamar”. Batinku.

Air liur dimulutku sudah sedari tadi menderu.

“yeeey...makaaaaaan!” aku berteriak sendiri sambil mengambil piring di rak dan mengggeser kursi.

Tudung saji pun ku angkat. Hupp!! ...

Mulutku masih menganga demi melihat isi dibalik tudung saji di atas meja makan.

=======================

Kosong... .
Hanya sebuah piring dengan secarik kertas bertuliskan pesan ibu,

“Ibuk sama bapak berangkat ke pengantin Bulikmu,
nda sempat masak karena mobil tumpangan sudah datang duluan,
kamu masak indomi soto saja dulu ada di lemari, mungkin ibu sama bapak baru malam pulangnya.

Ibuk.”


Kuhempaskan badan ke kursi sembari mengelus perut.

Hhh...khayalanku buyar seketika. Makanan yang sedari tadi kubayangkan pudar. Ibu tentu tidak bisa mengirimkan pesan melalui ponsel karena aku tidak pernah membawa ponsel ke sekolah. 

Nasib...  .

Dengan langkah gontai dan karena perut yang lapar, aku pun beranjak membuka lemari kecil disamping karung beras. Mengambil mie instan rasa soto itu dan menjerang air di atas kompor.

Hasratku siang ini, harus terpenuhi dengan semangkuk mie saja.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar