Bicara tentang cita-cita. Mungkin ada dari kalian yang sudah sangat bahkan melibihi tinggi langit. Kata Soekarno memang kita disuruh bermimpi setinggi langit, jadi kalau pun jatuh akan pasti jatuh di sekitar bintang-bintang. Jadi tidak begitu buruk-buruk amat. Tapi Soekarno lupa kalau di langit sana..di angkasa…apapun bisa terjadi, mungkin saja kita terjatuh ke angkasa raya yang empty, tidak ada apa-apa, ruang hampa bahkan oksigen pun tidak ada, atau jatuh ke planet dimana air juga tidak ada, parah, dan yang tidak pernah di inginkan adalah..ketika ternyata kita jatuh dan terhisap masuk ke dalam black hole (nah lho).
Dan kurasa itulah yang terjadi dengan saya (ya..sekali lagi
tentang saya). Saya bermimpi kejauhan, dan harus menghadapi kenyataan untuk
jatuh, terhisap ke dalam black hole. Semua hitam, bahkan untuk merasa hidup
saja susah.
Saya…pada umumnya manusia, atau sebutlah seperti kebanyakan
mahasiswa yang baru lulus. Pasti ingin segera bekerja, pursuing sesuatu yang
memang sudah ter-list di buku harian atawa life map masing-masing. Ingin jadi
inilah..itulah…macam-macam. Dan dari kebanyakan orang yang menulis segala tetek
bengek cita-cita setinggi langit itu, saya pula ada di dalamnya. Sudah sedari
SMP saya menulis segala angan di atas buku harian, di tiap tulisan sebelum
tidur malam, di setiap lembar belakang buku tulis atau buku cetak pelajaran,
dan sialnya juga kedapatan menulis cita-cita di Kitab pengajian yang seharusnya
tidak di tulis hal-hal yang duniawi.
Setelah lulus kuliah, dengan segala senyum kebanggaan di hari
pertama wisuda. Ternyata memang hanya itu saja. Ya..sehari itu saja. Segala
peras keringat banting tulang orangtua selama masa kuliah hanya untuk sehari
itu saja. Hari wisuda. Setelah itu..segalanya menjadi buram (setidaknya untuk
saya). Dari sekian banyak yang ‘akhirnya’ hari ini sudah menggapai cita, atau
setidaknya sudah bekerja. Kini saya kembali menjadi bagian dari yang
kebanyakan. Yaitu yang gagal.
Tidak tinggal diam, saya segera me-review segala hal yang
sudah saya rencanakan dengan matang. Kok bisa gagal ya? Kok susah ya? Semua
kesalahan saya runut satu demi satu. Hingga akhirnya saya sampai pada satu
kesimpulan. Saya memang di takdirkan gagal. Yah..mungkin ‘belum’ berhasil.
Semua tulisan ini, bukan untuk mengecilkan hati para pencari
hidup. Tapi hanya memaparkan sedikit dari isi hati. Bukan numpang curhat, tapi
menunjukkan kenyataan pada seseorang lain selain kalian. Saya.
Saya bagian dari kehidupan yang ‘masih’ terpinggirkan. Salah satu contoh dari si Gagal. Sudah
terlalu banyak nasihat dan wejangan. Yaa..awalnya mungkin sedikit menolong
emosional sehingga lebih tenang, legowo, nrimo. Tapi makin kesini, dari semua
keseringan gagalnya itu, merubah semua nasihat dari para kekawan yang baik
menjadi terasa (maaf) klise. Kok ya tidak ada hal yang baik terjadi dengan
mempercayai semua elusan-elusan kata nan bijak itu. Tetap saja saya gagal,
mencapai cita.
Dulu..ya bisa bilang dulu, karena saya sudah setahun jadi
sarjana dan belum produktif sampai sekarang ini. Dulu saya selalu hanya menjadi
penonton atas segala keberhasilan kawan-kawan. Selalu bisa beri senyum selamat
pada yang juara. Bahkan masih bisa menjabat tangan mereka. Dan segera pulang ke
rumah untuk menangis, merutuki diri, dan selalu meludahi jargon “kalau mereka
bisa, kenapa saya tidak bisa”. Karena toh nyata nya yaa..sayalah itu yang tidak
bisa. Istilah “kalau rejeki tidak kemana”, yaa..rejeki itu sepertinya selalu
salah alamat dan tidak singgah pada saya. Mulut, otak, hati, dan jiwa sudah
amat muak dengan segala petuah-petuah nan klise. Macam foto-foto ala emo,
begitulah saya dengan keseluruhan jiwa saya.
Hingga saya, menonton suatu reality show, yang
mempertontonkan segala kejahatan dunia pada si fakir. Bagaimana si miskin di
eksploitasi para redaktur media, di perlihatkan bagaimana mereka struggle,
bertahan hidup di tengah makin keringnya kepedulian manusia. Sementara
‘mungkin’yang menonton mereka akan segera lupa dengan apa yang barusan mereka
lihat. Yeah..di luar sana. Ternyata ada dan terlalu banyak yang lebih menderita
dari saya, bahkan mereka sudah melampaui ambang batas kemampuan mereka, doa-doa
mereka sudah meneriaki langit, tapi entah Tuhan atau Kehidupan yang memang
tidak mengindahkan.
Sekarang saya sudah tidak percaya lagi istilah “ kalau mereka
bisa pasti kita juga bisa”. Andai demikian sudah pasti semua orang sudah
menjadi presiden. Andai demikian saya pasti sudah jadi seorang mahasiswa S2 di
Jogja, andai demikian saya juga sudah kongkow-kongkow di restoran mewah. Rejeki
memang tidak lari kemana, karena dia lari pada yang beruntung. Apa yang
(setidaknya menurut saya) benar adalah tidak semua kemampuan seorang manusia
dengan manusia lain itu sama, itu sebabnya ada ukuran-ukuran yang di labelkan
pada manusia, entah itu IQ, volume otak atau apalah itu. Dengan kemampuan yang
berbeda-beda itu, tentu saja hal yang orang lain bisa lakukan, belum tentu bisa
kita lakukan, dia bisa lolos jadi PNS, entah karena pengaruh “internal” atau
otak, semua tidak bisa juga di lakukan oleh semua orang. Tidak semua impian mu
bisa tercapai, itu tergantung kemampuan masing-masing lalu kemudian rejeki mu
yaah sebut saja porsi untuk mu di bagikan, kamu bagian gagal dan yang bagian
lainnya dapat jatah berhasil.
Ini bukan untuk mengecilkan semangat dari yang membaca, tapi
supaya kalian tahu tentang realita. Bahwa hidup tidak semudah mereka yang sudah
punya perusahaan keluarga sendiri, yang memang di takdirkan punya otak encer,
dan yang kebagian untung terlalu banyak. Hidup itu bejo. Hanya yang bejo lah
yang punya hidup asik. Kalau memang hidup segampang segala jargon dan motto
penyemangat hidup, tidak mungkin para aktivis mahasiswa yang berkoar-koar
menjadi oposisi pemerintah, sekarang giliran lulus malah berkoar-koar jadi
kacung menutupi borok pemerintah dengan
alasan “sudah jadi pejabat pemerintahan” juga.
Sekarang yang bisa saya lakukan adalah tetap berjuang, tapi
tidak membuang-buang waktu pada hal yang sudah saya tahu kesempatan saya kecil.
Saya mungkin pragmatis, atau seorang opportunis. Tapi saya menjalani hidup
sesuai aturan main yang di tawarkan, SMA dulu mungkin saya tidak paham bahwa
dunia adalah hutan belantara…yang kuat memakan yang lemah. Dan terlalu lugu
untuk selalu membenci para penjilat. Idealisme yang realistis, ada hal-hal yang
‘mungkin’ masih saya pegang sebagai kebenaran, tapi…sekarang bisa lebih
fleksibel, bisa kompromi, bisa di kondisikan sesuai apa yang di butuhkan.
Saya…tidak lagi makan buak simalakama. Tapi lebih ke hidup
segan, mati tak mau.
*silakan menilai masing-masing. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar