It was a gloomy afternoon. Buy suddenly my mind got an inspiration to write something. I used to write manually, but i was too tired towrite by pen. So i just click on the laptop. And here is the result. Please enjoy. A short story i called...IBUK. Give your comment..:)
#########################################...................
Bunyi lokomotif
yang berderak, membuat aku terbangun dari tidur. Ternyata sudah sejam sejak aku
duduk di kursi kereta ini dan berangkat dari Solo ke Jogja.
Ku runut kembali
ingatan, alasan kenapa aku bisa berada di kereta ini, seorang diri berada pada gerbong
paling belakang. Tadi aku dan ibu bertengkar hebat. Yeah..kami memang sering
berselisih, tapi tadi adalah pertengkaran terhebat yang pernah terjadi antara
aku dan ibu. Tidak ada pangkal mulanya sebenarnya, hanya saja tiba-tiba emosiku
memuncak ketika ibu mengungkit aku yang belum mendapat kerja. Ibu yang baru
pulang dari mengajar, segera saja mencecar aku yang duduk di depan komputer
dengan segala pertanyaan dan pernyataan tentang kenapa aku yang sudah setahun
lalu sarjana, belum bekerja sementara anak yang lain sudah mulai berangkat ke
kantor masing-masing sejak sebulan yang lalu.
Aku tahu, aku salah
dengan langsung menjawabnya kasar.
Tiba-tiba saja aku berdiri sambil menatapnya tajam sembari berkata, “ kalau ibu
begitu muaknya melihat aku yang belum bekerja, kenapa tidak masukkan saja lagi
aku ke dalam rahim, sehingga tidak pernah lagi ada aku yang begitu
menyusahkan!!”.
Dan langsung saja
tangan ibu menampar pipi ku. Keras. Kami berdua sama-sama terhenyak. Dan
menit-menit itu langsung saja membuat aku kerasukan setan. Segera ku tinggalkan
tempat itu dan berlari ke kamar, mengambil tas sembari memasukkan beberapa
pakaian dengan asal. Berlari keluar. Tanpa peduli pada ibu yang masih mematung.
Menuju stasiun dan memesan tiket apa saja yang tersedia. Hingga..disinilah aku.
Duduk di barisan kursi pada gerbong belakang kereta jurusan Jogja. Entah apa
yang akan kulakukan di sana. Ini semua berlangsung cepat dan tiba-tiba.
Kuraba pipi kanan.
Bekas tamparan itu sama sekali tidak ada. Rasa panas akibat tamparan sudah
lenyap. Tidak sakit sebenarnya. Hanya saja..itu pertama kalinya ibu menampar
aku. Rasa sakit hati lebih menguasai aku dibanding apa yang dihasilkan oleh
tamparan itu sendiri. Sejak kecil, kami memang di didik keras, aku dan ketiga
adikku. Namun, ibu sama sekali tidak pernah kasar pada kami. Kalaupun memukul,
itu bukan lain hanya merupakan pukulan kecil yang berupa teguran. Ketika kami
mulai suka makan coklat tanpa mau menggosok gigi sebelum tidur. Atau kami mulai
suka mengintip untuk menonton televisi di saat jam belajar malam berlaku. Beda
dengan ayah. Beliau adalah orang yang paling kami takuti di rumah. Kami bisa
tahu ada yang salah pada kami hanya dengan melihat tatapan ayah yang melotot
pada kami. Teringat, waktu itu kami masih sangat kecil dan belum punya
televisi, aku dan adik-adik yang waktu itu hari Minggu sangat ingin menonton
televisi. Dan yeah..kami tentu saja harus menumpang ke tetangga untuk hanya
sekedar duduk menonton “apa yang ditonton” oleh tetangga kami. Namun, untuk
meminta ijin pada ayah saja kami sangat takut. Jadi, sebelum kami meminta ijin,
kami sudah berusaha untuk menyenangkan hati beliau dengan membersihkan
pekarangan, mencuci seragam dan sepatu sendiri, kemudian mandi dan bersolek
rapih. Tapi giliran waktunya untuk meminta ijin, kami pun dorong-dorongan,
tidak ada yang berani bicara pada ayah. Hingga akhirnya adik kami yang paling
kecil menjadi tumbal kakak-kakaknya. Dia tanpa persetujuannya diharuskan untuk
bicara pada ayah agar mengijinkan kami menonton. Dia akhirnya mendatangi ayah
yang ketika itu sedang membuat pagar bambu. Terlihat sekali dia takut, badannya
gemetar dan selalu saja berhenti untuk membalikkan badan kembali pada kami,
kami pun cuma melambai-lambaikan tangan padanya agar segera bicara. Melihat
ayah yang memegang golok sambil memancang-mancangkan potongan bambu, adik kami
pun bicara sambil takut-takut. Suaranya sangat kecil, hampir tidak terdengar
kecuali sayup-sayup dari jarak hanya beberapa meter dari kami. Terlihat dia dan
ayah saling bicara, lalu adik kami kembali dan melapor, bahwa kami tidak diberi
ijin menonton televisi karena sebentar lagi masa ulangan caturwulan akan
dimulai. Betapa kecewanya kami, lalu masuk merajuk pada ibu. Ibu yang selalu
berbaik hati pun membantu untuk meminta ijin pada ayah. Tapi tiba-tiba ayah
masuk, ibu langsung menyahuti ijin untuk kami, namun ayah yang ketika bicara
pada ibu langsung saja melihat ke arah kami sambil melotot, membuat kami tahu
diri, patuh, dan segera masuk kamar untuk kecewa.
Yeah..ayah memang
selalu membuat kami segan. Ayah jarang marah. Tapi ketika kami membuat salah,
beliau tidak segan untuk memukul atau menghukum kami yang nakal. Dan ibu..akan
menjadi orang yang akan membauri luka dan lebam kami dengan minyak gosok atau
tiupan-tiupan kecil yang selalu membuat kami merasa lebih baik. Meninabobokan
kami yang masih sesenggukan akibat habis di hukum ayah. Masa kecil itu...tidak
ada kemanjaan...tapi penuh dengan didikan yang penuh kasih sayang.
Kereta yang
kutumpangi ini singgah pada suatu stasiun kecil, belum sampai Jogja. Penumpang
pun bergantian ada yang naik dan turun dari kereta. Aku masih saja duduk sambil
menopang dagu ke arah jendela kereta.
Suasana stasiun kecil memang tidak terlalu ramai, hanya beberapa saja penumpang
dengan para penjual makanan minuman. Tapi terlihat kereta sudah penuh sejak
dari stasiun Balapan, Solo. Kursi yang tersisa kosong sudah terisi penuh
ditambahi penumpang yang baru saja naik. Bahkan kursi di depanku yang tadinya
kosong sudah terisi oleh seorang ibu dengan tubuh gempal. Baru saja duduk dan
dia langsung saja tidur. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu dan lelah.
Terlihat dia begitu kewalahan dengan apa yang di pakainya, berulang kali harus
terbangun untuk memperbaiki posisi duduk “sambil tidurnya” agar tidak merusak
lipatan dari baju dan rok span nya. Make up nya terlihat mulai luntur akibat
keringat yang keluar. Tidak ada memang yang bisa diharapkan dari kipas angin
kereta ekonomi, angin yang dihasilkan sama sekali tidak dingin melainkan udara
panas saja yang terputar-putar.
Kereta sudah mulai
berjalan lagi. Perlahan dan segera kencang. Aku kembali melayangkan pandangan
keluar jendela. Terlihat hamparan sawah dengan beberapa rumah kecil di
tengahnya. Tampaknya hampir musim panen. Bulir padi yang terliohat mulai
menguning. Indah. Matahari senja juga membuatnya makin terlihat oranye. Seperti
bergradasi, terasering itu terlihat bergantian kuning, hijau. Mata jadi sedikit
relaksasi.
Namun aku segera
terusik dengan rintihan dan sesenggukan anak kecil dari kejauhan. Ketika
kutengok, ternyata ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dengan kain,
sembari tangan kanan dan kirinya menggandeng sebuah tas dan seorang anak kecil
yang sedang menangis. Ibu itu menengok ke kursi kereta ke kanan dan ke kiri
sembari berjalan di selasar tengah kereta. Tampaknya dia sedang mencari kursi
yang kosong. Dengan bawaan yang cukup berat itu. Dia terlihat kesusahan menarik
anaknya yang tidak mau diam dan meronta-ronta ingin duduk. Mereka berjalan
hingga ke belakang gerbong, kursi tempatku duduk.
Terdengar dia
berkata, “liat nak..sudah tidak ada tempat kosong lagi...kita berdiri saja
ya..ibuk sudah capek jalan sambil gendong adekmu”. Namun si anak kecil itu
tetap saja menangis, bahkan dia mulai menggelosorkan badan ke lantai kereta
sambil kakinya menendang-nendang mengganggu. Kulirik si ibu yang sedang tidur
di depanku, ternyata dia tidak terganggu sedikitpun. Orang-orang mulai menoleh
jengah, si ibu itu menaruh tas nya dan mulai berjongkok untuk melerai tangisan
si anak. Tentu sangat repot, apalagi si kecil yang dalam gendongan mulai
terbangun dan ‘pula’ ikut menangis.
Ku telusuri
pandangan ke dalam kereta, tidak ada yang tampak hendak menyumbangkan tempat
duduk milik mereka. Apalagi di hari yang begitu panas ini, membuat badan cepat
lelah dan pegal. Semua hanya mendelik sembari memperbaiki duduk dan sibuk pada
urusan masing-masing. Hanya aku saja yang masih memperhatikan si ibu dan dua
orang anak nya itu. Kini si ibu mengambil sesuatu dari tas nya, kain sarung
ternyata. Dia menggelarnya di lantai kereta, untuk si anak agar mau duduk
disitu saja. Dengan sedikit merengut si anak akhirnya mau. Tapi kembali menjadi
masalah ketika tiba-tiba ada petugas kereta yang menegur. Penumpang dilarang
duduk di tengah selasar. Akhirnya setelah sedikit berdebat ibu itu harus patuh.
Dia kembali berdiri, menyimpan sarungnya, dan karena si anak tidak mau berdiri
dan mulai kembali menangis walau sudah dicubit. Si ibu itu akhirnya turut
menggendong anak itu bersama adiknya. Tasnya tidak lagi di pegang karena harus
menggendong dua orang anak, yang tentunya tidak ringan. Berpeluh dia
menggendong sambil bersandar pada dinding gerbong kereta agar tidak terjatuh.
Betapa tidak putus asanya ibu itu, untuk menyenangkan si anak. Tidak peduli
betapa rewelnya dia. Aku..tiba-tiba saja teringat pada ibu di rumah, betapa
beliau sebenarnya menyayangiku, harapan mendapat pekerjaan itu tidak lain hanya
untuk kebahagiaanku, bukan untuknya, bukan pula demi kepentingannya. Tapi aku
selalu saja mendahulukan ego dalam memahaminya. Aku merasa tertohok,
tenggorokanku mulai menahan sakit dari tangis yang tertahan. Betapa aku lupa
bagaimana ibu yang berjuang nyawa melahirkanku, hanya untuk melihatku di dunia,
ibu rela menderita sakit yang luar biasa. Tidak peduli bagaimana aku kelak. Ibu
tetap rela mengambil resiko mati demi lahirnya aku. Lalu..kenapa aku begitu
tega mengeluarkan kata-kata kasar itu tadi?
Dengan segera aku
beranjak berdiri, memegang tiang gerbong, dan mempersilahkan si ibu dengan dua
anaknya tadi duduk pada tempatku. Mungkin seharusnya dari tadi aku
melakukannya, tapi aku terlalu lama bergumul dengan segala perasaanku. Yang
seharusnya sedikit disingkirkan demi kepedulian terhadap sesama. Awalnya si ibu
menolak, takutnya nanti aku capek katanya. Tapi kuyakinkan si ibu, bahwa aku
sudah cukup pegal untuk duduk dan mau sedikit berdiri. Ketika si ibu akhirnya
duduk dengan segala ucapan terima kasihnya. Aku mengambil posisi berdiri di
samping pintu gerbong. Memandang pada sawah yang kemuning dan mentari senja di
ufuk sana. Angin berhembus panas, bahkan di senja hari. Sambil menghirup udara
aku berjanji, ketika turun dari kereta di stasiun nanti aku akan menelpon ibu,
yang mungkin sekarang sedang khawatir.
Ibu...aku minta
maaf...sekarang sedang di Jogja...dan baik-baik saja.