Hari ini adalah hari terakhir
puasa. Pihak pemerintah juga sudah memberikan pengumuman tentang jadwal 1
syawal.. Rumah-rumah juga sudah mulai mengeluarkan aroma masakannya
masing-masing. Pertanda mereka masih menghargai hari raya.
Sedih rasanya berpisah dengan
Ramadhan, terasa bahwa belum banyak hal baik yang sudah dikerjakan. Bahkan
masih sangat kurang. Namun benar Ramadhan akan berlalu, semoga semangatnya
terus istiqomah di dalam kalbu. Dan semoga saja umur masih dipanjangkan untuk
bertemu kembali di tahun mendatang. Aamiin...
Setelah segala aktivitas
Ramadhan, hari ini pun saya sudah selesai dengan berbenah rumah. Bebersih agar
setidaknya rumah lebih lega, dan sedikit menghalau para laba-laba yang sedang
berdiam di sarangnya. Tidak ada yang berubah sebenarnya, rumah walau mau
dibersihkan pun tampakannya tetap sama. Rumah dinas tua, rapuh, dan doyong jika
diterpa angin. Namun tetap mampu memberikan kehangatan.
Teringat ramadhan tahun lalu. Di
akhir ramadhan menjelang lebaran seperti kali ini, saya tinggal sendirian di
rumah. Karena keluarga lain mudik ke Jawa, dan saya harus menyelesaikan tugas
akhir skripsi demi mengejar ketertinggalan wisuda. Ya, saya lebaran
sendirian di rumah, tidak ada kue, tidak
ada baju baru, dan segala euforia hari raya. Tapi damai. Karena sebenarnya,
walau berkumpul sekeluarga sekalipun, entah ini karena perasaan saya atau
bukan, saya selalu merasa sendirian. Tidak di pahami, dan juga berusaha untuk
tidak memahami saja sebaiknya. Kali itu, dengan sendirian. Saya bisa lebih
memahami diri sendiri. Bahwa yang saya inginkan adalah berkumpul, tidak hanya
secara fisik saja, tapi juga hati, perasaan karena terikat hubungan biologis.
Namun, seperti yang sudah saya katakan, tiap kali rasa bahagia di saat
berkumpul itu selalu hanya sesaat. Karena kemudian saya menjadi terpisah, tidak
secara fisik, namun hati juga perasaan. Mungkin karena umur saya yang berjarak
jauh dengan para adik atau karena saya anak pertama yang tidak sesuai dengan
keinginan orangtua? Entah. Tapi itulah kenyataan yang terasa tiap kali
berkumpul sekeluarga. Terasingkan. Dan jika itu tetap saja terjadi. Benar-benar
sendiri adalah keputusan yang terbaik.
Yah, kali ini pun begitu.
Berkumpul dan terasingkan. Tapi saya sudah tidak mau lagi memikirkan terlalu
lama. Senyum ini masih bisa terkembang seberapa buruknya keluarga. Dan ku ambil
sajadah dan berangkat ke masjid untuk Isya. Malam ini adalah malam takbiran.
Mungkin masjid bisa lebih menenangkan.
Di dalam masjid tidak begitu
ramai. Bahkan sepi. Hanya beberapa jamaah yang bisa di hitung jari. Bahkan ketika
iqamat sudah berbunyi. Selesai salam, jamaah yang sedikit ini bertakbir,
sahut-sahutan menyambut lebaran. Sesaat terlupa kekecewaan itu, bahkan ketika
melihat jamaah yang sudah tidak cukup satu shaf lagi, hanya seperlima nya
kukira. Sebegitu cepatkah iman itu luntur?Bahkan ketika ramadhan belum
benar-benar pergi?Atau memang amalan ibadah di bulan Ramadhan itu hanya sebuah
euforia?Romansa yang sifatnya temporari?Musiman bagai liga sepakbola? Padahal
ini Ramadhan, bukan ajang sok-sok alim dan turut memeriahkan, ini akidah yang
di pertaruhkan. Masa hanya sampai segitu? Tidak dengan berburuk sangka saya
ungkapkan ini, tapi jika pada bulan Ramadhan saja kita mampu menyisakan waktu
untuk men-sujudkan duniawi lalu mengapa ketika Ramadhan berlalu kita jadi super
sibuk? Bahkan Ramadhan belum benar-benar berakhir. Dan penghuni masjid hanyalah
tetua-tetua yang berharap kesempatan umur dan surga di akhir hayat. Mungkin..ya
mungkin saja para wanita sedang bersibuk diri dengan semua tetek bengek hari
raya besok, namun bahkan para pria yang dianjurkan berjamaah di masjid saja pun
sudah sangat berkurang jumlahnya. Ramadhan bukan masa penilaian yang
sesungguhnya, melainkan apa makna sesudahnya. Ramadhan adalah bulan penambah
poin dari tiap amalan yang dilaksanakan, namun para malaikat akan tetap menjalankan
catatannya pada tiap hamba tuhan selama mereka masih hidup.
Tapi inilah kenyataan hidup,
akidah itu tidak di paksakan pada tiap masing-masing umat. Hingga pemahaman
masing-masing sampai pada yang kata orang hidayah. Andai Allah mau, Dia hanya
tinggal bilang Kun Fayakun agar semua beriman dengan Kaaffah. Semudah itu saja.
Namun manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang belajar, mencari tahu. Hingga
kelak waktunya tiba, masing-masing manusia akan memegang apa yang telah di
kerjakan, dan hanya pasang badan saja menyaksikan semua perbuatan yang akan di
mintai pertanggungjawaban di hadapan Allah dengan menyaksikan semua scene yang
akan di re-run di depan mata. Mendapat buku rapor masing-masing dan masuk ke
dalam kelas yang sudah di tentukan. Surga. Atau neraka. Wallahu A’lam.
Selamat Idul Fitri.
Mohon maaf lahir dan batin.
Wassalam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar