Ive got this...it has been in my lappy for a long time. I was so in mood to write until finally I my mood gone away.
I wanna continue writing, because I dont have anything yet to share...i think maybe with this writing of mine, people can remember about me..no matter how usefull I am..
I remember also there was a wise word said, "if you'r not rich or a children of ulama..then write..". Yeah..consider it as my heritage hehehe...hope my children will read this in a future...
Ockay..I made this storie as a running story..err..a kinda serial maybe? well please read if you dont mind, and give a comment so that i know you like the story and I can make the next story then...:)
please enjoy...*well im still yet make up my mind to find a good title for the story..so maybe you can give me some options after you read it..Thank you...
#1
Tergesa, seperti biasa. Aku
berlari keluar rumah sambil menggigit roti yang ku jejalkan untuk jadi
sarapanku. Jika tidak cepat aku bisa terlambat untuk masuk kuliah pagi ini. Dan
setelah beberapa menit berlari dan menghabiskan roti di mulut, akhirnya kugapai
juga tembok halte yang kusam ini. Orang-orang di sekelilingku menoleh melihatku
yang terengah seakan baru selesai marathon.
Tooeet…bussshhh….suara bus
berhenti di depan halte. Orang-orang termasuk aku naik teratur. Sementara di
atas bus itu masih banyak tempat yang kosong, aku sengaja mengambil tempat
paling belakang. Bus kembali berjalan. Aku menyenderkan badan, perjalananku
kira-kira masih satu jam dan masih harus mengganti bus ke tempat kuliahku.
Memang jauh, aku tinggal di pinggiran kota sementara tempat kuliahku berada di
pusat kota. Huffhh…,sebenarnya aku enggan untuk kuliah di tempat itu. Karena
cita-citaku sebenarnya adalah kuliah ke luar wilayah aku di besarkan. Tapi
ternyata nasibku tidak semujur itu, aku tidak lolos pada pendaftaran kuliah dan
terpaksa harus berkuliah di tempat asalku. Ku pikir lebih baik aku kuliah saja
dulu di tempat ini di banding harus menganggur dan iri melihat orang lain
senang menyandang pangkat mahasiswanya. Tapi ternyata setelah ku jalani beberapa bulan, aku muak dan jengah. Aku
tidak tahan kuliah di tempat itu. Bukan karena mata kuliahnya yang membosankan,
hanya saja ada beberapa alasan yang tidak aku inginkan berada di tempat itu.
Kalau bukan kasihan melihat orangtuaku telah susah payah membayarkan uang masuk
kuliahku. Aku pasti telah lama tidak berada di bus ini setiap hari.
Apalagi di tempat ini aku memiliki kenangan
buruk yang ingin sekali ku hapus. Bahkan pernah aku berharap untuk amnesia saja
sehingga aku bisa melupakan luka yang masih memerih ini. Sumpah, selama hidupku
aku tidak ingin itu terjadi lagi.
Aku kembali tersadar dari
lamunanku ketika bus terguncang karena melintasi tanjakan. Ku lihat
orang-orang di bus mulai berkurang.
Ternyata aku tidak sadar saat bus menurunkan mereka satu persatu. Dan ternyata
sebentar lagi juga aku akan turun.
,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.
Akhirnya, ku jejakkan juga kaki ke
tanah. Gerbang kampus seakan menandakan kekalahan akan cita-citaku. Sementara
bendera almamater yang berkibar seakan menertawakan aku yang terpaksa meredam
gejolak emosi yang terkungkung dalam hati tanpa ada penyelesaian. Hhhh…,
padahal aku sudah hampir satu semester berada di kampus ini. Tapi belum ada
teman yang berteriak menyambutku datang seperti pada masa SMA dulu. Ku akui,
aku sedikit demi sedikit terkikis. Sifatku yang kata orang mudah bergaul
mendadak hilang. Yang ada rasa ketidak percaya dirianku semakin runcing. Aku
melangkah masuk ke dalam fakultas ilmu sosial yang menjadi tujuanku setiap hari
kuliah. Ini juga menjadi masalah bagiku, ternyata fakultasku ini adalah biang
masalah. Tiap tahun selalu saja ada perkelahian antar fakultas, entah sudah
menjadi tradisi atau tidak aku tidak tahu. Mereka selalu menganggap bahwa hak
mereka di sepelekan sehingga mereka selalu mengadakan demo. Tradisi menghimpun
anak baru untuk masuk ke dalam kelompok sesama jurusan pun masih di adakan
sampai sekarang. Aku dan dua orang lain yang tidak ingin masuk pun jadi sasaran
empuk sebagai contoh orang-orang yang di anggap penghianat jurusan. Dan bahkan aku pernah cekcok dengan senior yang
marah karena tidak mampu memasukkan ideologinya ke dalam otakku. Hhh… bukankah
aku sudah bilang bahwa aku sedikit demi sedikit terkikis, sebenarnya aku suka
masuk organisasi bahkan hobi. Tapi entah kenapa saat ini aku enggan. Atau
mungkin saja karena aku tidak suka dengan cara perekrutan mereka. Kami memang
tidak di paksa secara langsung untuk masuk himpunan mahasiswa. Bahasa yang
mereka pakai pun terasa “sangat mahasiswa”. Dengan balutan kata-kata ilmiah
yang bagi anak baru terasa cukup keren. Tapi aku merasakan esensi penindasan
hak di dalamnya. Kami para anak baru, jika tidak hadir dalam pengumpulan akan
di cari bagai buronan. Jika tidak menyelesaikan tugas dengan benar atau tidak
menghormati senior maka kami akan mendapatkan hukuman. Kudengar-dengar dan
pernah juga kusaksikan anak laki-laki mendapatkan hukuman pemukulan. Entah itu
ditampar pakai tangan langsung atau pakai benda aku tetap tidak dapat
menyetujuinya. Mereka mengangggap bahwa terkadang kekerasan bukanlah sesuatu
yang jelek jika ingin memperbaiki sesuatu. Bagiku, hanya orang tua, hukum, atau
instansi militer saja yang boleh menerapkan prinsip demikian itupun harus
disertai dengan alasan yang kuat, tidak asal dan masuk akal dan aku punya hak
untuk menyatakan tidak mau masuk. Tanpa ada diskriminasi.
Dan akhirnya setelah beberapa kali
manipulasi alasan juga tipu menipu, kabur-kaburan, dan perkelahian dengan
senior. Aku bisa bebas dari himpunan bersama dua orang cewek lainnya. Dan kami
harus dengan siap mengikuti konsekuensinya yaitu, kami harus menyelesaikan
urusan akademik sendiri,menyelesaikan masalah dengan fakultas lain sendiri dan
kami tidak akan mendapat perhatian dari senior sedikitpun. Mendengar hal itu,
saat itu, perasaanku terbagi dua. Aku gembira karena aku tidak akan lagi lari-lari
atau bahkan bolos kuliah demi menghindari senior yang hingga sekarang ini masih
menjadi momok bagiku. Namun aku juga takut jikalau nanti aku mendapat masalah
di kampusku aku tidak akan mendapatkan bantuan sedikitpun padahal aku masih
merasa buta di kampus ini. Orang tuaku pun bukan orang yang memiliki kolega
yang akan melindungiku nantinya jika tersandung masalah. Ini terus menjadi
doaku pada Tuhan akhir-akhir ini, semoga saja aku menjadi seorang yang lebih
berani dan jauh dari masalah yang akan menyulitkan orang tuaku.
Mata kuliah kali ini seperti
biasa, tidak mengasyikkan. Monoton dan tidak menarik perhatianku sedikitpun.
Catatan yang sedari tadi kutulispun hanya berupa coretan yang tidak jelas,
setidak jelasnya masa depanku di tempat ini. Waktu dua jam yang seharusnya
singkat terasa sangat lama. Jam-jam seakan enggan merangkak lebih cepat. Tempat
duduk pun terasa semakin kasar dan berduri. Saat ini kata-kata yang paling menggembirakan
adalah kata-kata dosen yang berkata “sampai jumpa minggu depan”. Keluar dari
kelas, tiba-tiba aku ditepuk dari belakang. Saat menoleh ternyata yang
menepukku adalah Emon, cewek yang menjadi The
Outcast sama sepertiku karena keluar dari himpunan mahasiswa. Dia cewek
yang enerjik. Terlihat dari postur dan gerak tubuhnya yang terlihat dari hasil
olahraga. Kudengar dia lulus di kampus ini karena prestasinya di bidang
olahraga basket. Sementara cewek yang di sampingnya dan memang selalu
bersamanya adalah Liza, tidak beda dengan Emon dia juga lulus di kampus ini
karena prestasinya di olahraga voli. Dia juga The Outcast. Keduanya adalah cewek yang akan sering di cari-cari
para cowok, yah apalagi alasannya kalau bukan karena cantik, proposional, dan
kaya tentunya. Ternyata Emon mengajakku untuk ikut mereka berdua jalan-jalan ke
mall sembari menunggu jam kuliah ke dua yang baru ada sore hari nanti. Karena
tidak ada kerjaan dan ingin lebih dekat dengan mereka, aku menerima tawarannya.
“hhfffhh…tadi ada senior yang
mencoba mendekati aku”, keluh Liza.
“tentu saja, kau cantik”,jawabku
sekenanya.
“yah…aku senang sih tapi senior
tadi tidak cukup tampan bagiku, rasanya malu dikejar-kejar seperti tadi”,
timpalnya.
Apa barusan yang dia bilang tadi!?
Wah, memang beda orang yang menjadi kejaran dengan orang yang berharap dikejar.
Dan aku sepertinya termasuk orang yang tipe kedua itu rasanya. Memikirkan hal
itu aku terkikik.
“kenapa kau senyum sendiri Lea?”,
Tanya Emon.
“tidak, aku hanya merasa kasihan
pada senior yang mengejar Liza itu,haha dia pasti tengsin setengah mati setelah
kamu mengacuhkannya Liza”, ujarku.
Mendengar hal itu kami bertiga
tertawa terkakak di dalam mobil Emon yang melaju mulus.
,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,.,
Sesaat setelah menjejakkan kaki di
lantai mall. Aku memilih untuk masuk ke dalam toko buku. Liza dan Emon sudah
nyaman duduk di kursi empuk salon untuk di layani.
Banyak buku baru, tercium dari
sampul plastic yang sangat berbau tajam tampaknya buku itu baru keluar dari
pabrikan. Ku ambil satu yang menarik dan mencari pojokan yang aman untuk
membacanya.
Cih…buku jelek!! Aku menaruh buku
itu asal. Benar-benar tidak boleh tertipu oleh kemasannya. Banyak pula yang
kukira penulisnya orang luar negeri, tapi setelah membacanya ketahuan bahwa
penulisnya sangat local, untung saja belum membelinya.
Kulihat di seberang rak bukan
hanya aku yang juga membaca diam-diam buku yang ada. Seorang karyawan toko
mendapati dan menegur. Hehehe…bodoh. Apa salahnya mencoba untuk mecari tahu
buku yang hendak dibeli, apa dia mau menerima buku yang di kembalikan karena
ternyata buku itu tidak sesuai dengan yang di inginkan?
Aku segera menuju rak komik,
disana aku merasa menjadi sejenak kembali ke masa kecil yang belum paham apapun
selain hal-hal yang sepele. Ku lihat komik kesukaanku sudah ada jilid barunya,
ku ambil, dan kulihat harganya. Hhh…naik lagi. Uang jajanku tidak cukup untuk
membelinya. Sepertinya aku akan banyak berpuasa untuk membelinya.
“ambil saja Lea…”, suara di
belakangku
“oh kau..bagaimana dengan
salonmu?kau sudah selesai?”, ternyata Liza, dia sudah sangat terlihat cantik
dengan rambutnya yang tampak seperti iklan shampoo, harum sekali, lebih wangi
dari parfum ruangan toko buku ini.
“yaa..kami hanya sedikit
creambath..itu tidak memakan waktu lama”, jawab Liza
“mana Emon??”, aku mendelik
mencari.
“dia di rak kesehatan, tampaknya
dia berkeras untuk mencari cara buat mengecilkan perutnya “, Liza mengernyit,
dia bahkan tampak manis dengan mengernyit.
Kami lalu sibuk
dengan buku masing-masing, tapi Liza tampak lebih sibuk dengan buku kecantikan.
Tak ku pedulikan dan aku kembali terbawa oleh komik yang ku baca. Tidak lama
Emon datang tergesa-gesa.
“hei kalian!! Ayo..jam kuliah
sudah lewat beberapa menit lalu!!”
Kulirik arloji. Sial! Kami sampai
lupa waktu. Jam kuliah sudah mulai lima menit lalu. Jika tidak bergegas kami bisa
sangat terlambat. Kami berlari menuju parkiran dan dengan segera Emon memacu
mobilnya bak dikejar polisi. Dalam hati kami hanya berdoa, semoga dosen
terlambat masuk.
Akhirnya kami sampai di parkiran
kampus. Segera berlari menuju ruangan kelas kuliah. Mengetuk dan membuka pintu.
Hah!!! Tidak ada orang?? Kemana semua penghuni kelas? Padahal ini bukan ruangan
yang salah jadi seharusnya semua orang ada di sini. Tapi ternyata kelas kosong,
padahal jam kuliah sudah lewat setengah jam. Aneh. Tapi sesaat sebelum kami hendak
pulang, ternyata sang dosen muncul dari belakang. Dia yang berjalan dengan
terbungkuk-bungkuk oleh beratnya barang bawaannya juga akget melihat kelas yang
kosong dan hanya melihat kami bertiga yang berdiri bodoh di depan kelas.
“kemana teman-teman kalian?”,
Tanya si dosen
“err…tidak tahu pak..kami juga
bingung”, jawab Emon sekenanya.
“coba kalian hubungi!”, perintah
dosen lagi.
Tentu saja kami bingung, kami ini
tidak punya nomor telepon teman seangkatan sama sekali. Yaah..karena masalahnya
kami ini The Outcast, dan teman seangkatan sudah di doktrin untuk tidak bergaul
dengan kami. Kecuali untuk hal yang remeh temeh. Masih bingung dengan keadaan
tersebut, tiba-tiba saja muncul seorang cowok dari belakang. Melihat isi kelas
yang hanya tiga orang cewek bersama si dosen, dia masuk ke dalam kelas sembari
garuk-garuk kepala.
“maaf pak…semua teman-teman sedang
ada di himpunan, ikut pengumpulan senior..”, ujarnya.
“loh? Apa mereka tidak tahu ini
jam kuliah??”, jawab sang dosen
“mereka tahu pak, tapi takut sama
senior”, jawabku emosi
Cih!!! Para senior itu, selalu
mampu menerbitkan rasa takut bagi para anak baru. Entahlah. Aku sudah tidak mau
mengurusi lagi. Cowok yang ternyata bernama Agam itu baru saja berusaha kabur
dari sekumpulan senior yang tadi mengerubungi kelas untuk menghimpun mahasiswa
baru menuju himpunan.
Kami berempat berkenalan dan
tampaknya akan menjadi teman akrab. Dia cukup humoris. Setelah akhirnya sang
dosen memilih untuk pulang dengan membekali kami tugas rumah yang tidak akan
kami bagi buat teman angkatan lain. Haha!
Tambah satu orang lagi kelompok
ini.
Kurasa, dunia kampus ini mulai
sedikit berbaikan denganku.
*bersambung..