Tidak menjadi sesuai dengan
ekpektasi seseorang maka bersiaplah untuk tidak lagi di inginkan. Hal-hal
seperti itu lumrah terjadi, karena erat dengan interaksi sosial, baik itu per
individu atau dengan kelompok.
Terkadang kita sudah siap dengan
resiko ditinggalkan atau tidak di sukai bahkan di tolak. Karena sebelum sesuatu
di mulai atau di kerjakan biasanya kita sudah memikirkan terlebih dahulu apa
baik dan buruknya dalam mengambil keputusan untuk mengerjakan sesuatu.
Tapi lain hal nya jika berkaitan
tentang sebuah keluarga. Sebuah kelompok orang yang terbentuk tanpa kesepakatan
terlebih dahulu bagi si anak. Untuk memiliki orangtua seperti yang sekarang di
miliki. Untuk lahir dengan agama yang di anut orangtua nya, untuk punya
saudara-saudara sekandung yang ada. Semua tanpa kesepakatan. Seorang anak sudah
harus menerima semua secara langsung, tanpa harus protes. Dan seringkali hal
itu termasuk juga dengan “apa impian orangtua” terhadap mereka.
Sejak kecil sudah di jejali
dengan segala macam hal demi menunjang impian orangtua (bahkan sejak lahir pun
seorang anak sama sekali tidak memiliki hak memilih). Harus masuk sekolah ini,
ikut kursus itu dan lain sebagainya. Agar kelak bisa menjadi apa yang di
inginkan oleh yang melahirkan mereka. Padahal secara umum, manusia memiliki hak
untuk memilih jalan apa yang di inginkan, tidak ada yang sama, semua manusia
memiliki keinginan yang berbeda-beda. Bahkan seorang anak sekalipun. Di waktu
kecil mungkin mereka akan patuh saja (walau pada sebagian kasus sudah ada pula
yang menolak). Dan sudah sangat naluriah kalau akan selalu ada anak yang
membantah dalam suatu keluarga. Akan selalu ada anak yang berbeda sendiri, yang
selalu di anggap melawan padahal mereka hanya ingin menyuarakan pendapat
mereka, otoritas atas diri mereka.
Tapi terkadang orangtua sudah sangat
terlambat untuk menyadari hal itu, bahkan tidak menyadarinya sama sekali. Dan
ketika berhadapan dengan anak yang tidak berjalan sesuai keinginan mereka,
pasti akan di anggap bebal, nakal, dan dalam agama di juluki “durhaka”. Pada
orangtua yang cerdas, mungkin mereka mampu memahami bagaimana perilaku anak
pada tahap itu, mereka mampu menyelami bahkan jadi mediasi terhadap kebutuhan
anak akan apa yang di inginkannya. Tapi terkadang walau di sebut orangtua
sekalipun ternyata mereka tidak begitu dewasa dalam menangani “clash” yang ada
dalam sebuah keluarga. Dan kesalahan pengasuhan pun terjadi. Orangtua yang
bodoh akan lebih memberikan perhatian pada anak yang lebih “manut”. Alih-alih
memberikan perhatian lebih pada yang “sedang bermasalah”, mereka lebih senang
menumpahkan kekesalan dengan memperlihatkan perhatian lebih pada anak lain.
Bukannya menyelesaikan masalah, justru hal tersebut akan memicu masalah yang
kelak akan lebih besar.
Mereka pun tidak menyadari bahwa
kata-kata kasar yang di ucapkan pada anak ketika memarahi itu akan selalu di
ingat oleh memori anak secara tidak sadar, apalagi pada sesuatu yang
berulang-ulang. Semua itu akan mensugesti anak bahwa dia memang benar-benar tidak
di inginkan. Satu sama lain akan makin saling menjauhi. Bukan hanya memusuhi
orangtua, si anak pun akan ikut membenci saudara-saudara nya karena hanya dia
yang di perlakukan buruk oleh orangtua. Bukan makin menurut untuk kembali
mendapat kasih sayang orangtua, mereka malah akan semakin menjauh, menarik
diri.
Mungkin orangtua punya tujuan
baik bagi sang anak, melihat mereka lebih dulu memahami dunia yang sedang di
hadapi. Tapi ternyata hidup tidak berjalan di tempat seperti yang di pikirkan
orangtua. Bahwa dunia pun berjalan sesuai jaman, bahwa pilihan-pilihan kini
semakin banyak. Bahwa mendengarkan itu bisa menjadi penengah ketidak cocokan. Bahwa
seorang anak adalah manusia yang akan berkembang, berpikir, dan akan mampu mengambil
keputusannya sendiri. Pada negara-negara barat, anak-anak mereka sudah tidak
lagi tinggal serumah dengan para orangtua mereka sejak mereka memutuskan untuk
memilih jalan mereka sendiri, dan para orangtua di sana pun tahu bahwa itu
memang adalah fase nya. Kanak-kanak, remaja, lalu dewasa pada dunia mereka
sendiri. Berbeda dengan negara timur, adat istiadat dan suasana agamis, terkadang
mengekang kebebasan seseorang, norma-norma dan nilai-nilai yang ada di
masyarakat membuat orangtua begitu mengatur anaknya. Alih-alih demi kebaikan si
anak terkadang orangtua hanya ingin agar nama baiknya tidak rusak oleh
perbuatan salah si anak.
Seyogyanya, anak dan orangtua
adalah suatu ikatan yang sangat erat, bukan hanya karena terikat secara
biologis saja, namun dua pihak ini saling melengkapi dan membutuhkan. Orangtua
sebagai yang lebih tua sudah seharusnya lebih bijak dan mawas diri akan
perkembangan seorang anak, dan anak pun akan senantiasa berkaca diri ketika
mendapat perlakuan yang lebih bisa di terima.