Imah hari ini sedikit lebih manis.
Polesan bedak tabur murah yang dibeli di pasar kemarin dan
seusap gincu merah muda bekas majikan membuat wajahnya lebih segar.
Pagi ini
seperti biasa, Imah akan berangkat ke pasar membeli keperluan dapur, daster
batik kuning miliknya tertiup angin sembari menunggu mikrolet biru nomor 6
lewat.
Satu...dua...tiga...
Sudah beberapa mikrolet biru nomor 6 yang lewat. Tapi tangan
Imah tidak juga melambai untuk menghentikan satupun.
Tidak, ya...karena Imah tidak
menunggu pada mikrolet semata. Imah menunggu mikrolet dengan sosok supir yang
sering terlihat memakai kacamata hitam dengan kumis klimis tipisnya.
“Ah...itu Bang Ujang”, mata Imah begitu tajam melihat sebuah
mikrolet melaju dengan kecepatan sedang kearahnya.
“Imah...”, si supir menyapa.
“Bang Ujang...”Imah menjawab sembari membuka pintu depan
samping pak supir.
Mereka hanya saling mendelik satu sama lain dengan
malu-malu. Tersenyum dengan dada yang berdegup kencang.
Teringat seminggu yang lalu, ketika Imah kecopetan di pasar
dan tidak punya uang untuk ongkos angkutan umum. Ujang yang saat itu sedang
minum kopi di samping mikrolet birunya menawari untuk mengantar sampai ke depan
kompleks perumahan majikannya. Awalnya Imah takut, tapi senyuman dan ramahnya
mata dibalik kacamata hitam necis Ujang membuatnya takluk.
Dan kini sudah tiga kali perjalanan pulang pergi pasar, Imah
menggunakan mikrolet Ujang. Awalnya sebagai bentuk terima kasih Imah.
Tapi
sepertinya... kini Imah dan Ujang telah memiliki maksud yang lain.
Ujang sudah tahu kearah mana Imah akan pergi. Pun Imah,
mempercayakan tujuannya kepada orang yang sedang memegang kemudi.
Tanpa kata sampai tujuan, Imah turun dan hendak membayar.
“Tidak usah neng...”, si supir menolak.
“Ah..jangan Bang, Eneng kan numpang mobil sampai ke
pasar...”, Imah sedikit pelan berbicara – malu dengan penumpang di belakang.
Tapi Ujang bersikeras, menolak.
“Ga usah Neng, besok...abang jemput lagi ya di tempat tadi...”,
Ujang menurunkan kacamata hitamnya sembari mengedipkan satu matanya.
Mulai
berani genit.
Demi melihat hal itu, Imah langsung memerah pipinya, ia makin
malu.
Tapi senang.
Dan mengangguk takzim.
“Iya bang...terima kasih sebelumnya...”, tanpa menunggu
jawaban si Imah langsung balik badan masuk ke dalam pasar.
Sesekali berbalik ke
arah mikrolet biru dan mendapati supirnya yang masih memandangi dari jauh.
Dalam hati Ujang berkata, “cantik sekali Imah pakai daster
itu...”.