Aku sedang bergabung dalam sebuah
komunitas ketika mengenalnya. Sebuah komunitas kecil tentang kumpulan pecinta
perangko di kota kecil ku. Dan dia datang, muncul tetiba saja. Bahkan sama
sekali aku tidak menyadarinya sampai ketika beberapa kali pertemuan para
anggota komunitas aku datangi. Dia tersenyum, manis…tapi menurutku itu lebih
menunjukkan wibawa dibandingkan senyum tulus. Sebagai anak baru aku hanya
menjawabnya kikuk, dan memaksa bibirku yang kaku untuk sedikit memberi tarikan,
dan kupikir aku tidak menciptakan sebuah senyuman malah terlihat seperti
menyeringai.
Yeah…mom selalu menegurku, untuk
lebih sering tersenyum. Karena orang-orang sering mengira aku sedang marah atau
ngambek jika sedang berjalan sendirian. Padahal aku sedang tidak berekspresi
apa-apa. Dan kurasa aku akan mulai menuruti apa yang mommy pinta. Tersenyum.
Tidak mungkin aku akan membalas senyum manis pemuda di komunitas perangko itu
dengan seringai ku yang mirip zombie.
Hari ini seperti biasa, agenda
pertemuan anggota komunitas akan berkumpul di taman kota, untuk saling berbagi
koleksi terbaru. Aku pun juga sudah memiliki beberapa perangko lama setelah
satu jam memeriksa berkardus-kardus di loteng penuh debu dan sarang laba-laba.
Dua buah perangko tahun 1996. Ku ambil dari amplop surat kiriman kakek dari
Jakarta. Perangko bergambar dua orang pekerja bangunan dengan topi pelindung,
serta tulisan besar dengan tulisan SEMANGAT
PELITA. Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya. Tapi kupikir
teman-teman lain belum ada yang punya. Kusingkirkan sedikit sarang laba-laba
yang melekat di bahu jaketku dan segera mengayuh sepeda menuju taman kota.
Sampai di sana, beberapa anggota
sudah duduk melingkar. Aku memarkir sepeda dan segera mengambil tempat duduk di
antara mereka. Dan hei… tebak, dia cowok itu, yang belakangan ku tahu bernama
Zayn juga sudah datang. Jaket merah dengan celana pendek hitam. Damn! Kenapa
dia begitu manis hari ini. Sedangkan aku, seberapapun aku berusaha mengelap
sarang laba-laba yang tadi menempel tidak juga membuatku lebih baik.
“hei…namamu Lily bukan?”
Aku menoleh dan mendapati kalo
Zayn yang berbicara.
“err..yeah, Lily, itu aku” aku
menjawab gusar, ku harap aku sedikit memberi kesan yang baik.
“Namamu seperti bunga, bunga
kesukaan Rani, tunggu sampai kau ketemu dengannya, lalu kau akan tiba-tiba
begitu paham tentang bunga yang menjadi
nama mu, hehe…” dia tertawa. Manis. Seperti biasa. Aku menatapnya agak
lama. Kurasa sampai beberapa detik setelahnya dan akhirnya aku tersadar,
gelagapan sendiri ketika anak-anak yang lain mulai saling berbagi koleksi
perangkonya. Oh tidak, sepertinya aku menyukainya. Suka. Rasa yang aneh. Aku
menggelengkan kepala ku dan mulai sibuk mengeluarkan prangko dari dalam tas.
Kami saling memperlihatkan
perangko masing-masing. Perangko mungkin hal yang sangat biasa dan kadang
terlupakan. NAmun di jamannya, perangko dengan jumlah rupiah yang tertera di
labelnya itulah yang akan menjadi jaminan dalam berapa harikah suratmu akan
sampai di tujuan. Aku menyukai setiap perangko yang ku dapat, dia seperti
memiliki kenangan tersendiri. Dan entah kenapa hari itu, aku yang sangat
menyukai perangko, malah lebih sering menatap Zayn yang memiliki senyum manis
dibanding perangko yang ku koleksi sejak kecil ini.
=/=/=/=/=/=/=/===/=/=/=/=/=/=/=/=/=//=/=/=/=/=/=//=/=/=/
Hari sudah senja ketika aku
mengayuh sepeda, pulang ke rumah setelah berkumpul di taman kota. Zayn
membagiku perangko tahun 1995, bergambar satu buah bunga Raflessia Arnoldy yang
sangat besar. Dia bilang, itu di dapat dari neneknya. Bukan dapat malah. Dia
mengutilnya dari balik laci mesin jahit neneknya. Dari surat om nya di Padang.
Entah kenapa dia memberikannya hanya padaku, entah aku yang terlalu
menganggapnya istimewa atau apalah itu. Tapi aku seperti memiliki hal dari Zayn
yang tidak di miliki orang lain, walau hanya sebuah prangko tua kuno. Ini
sangat special.
Sesampai di rumah aku menempelnya
di buku dengan bagian kertas kosong yang paling bagus. Memandangnya agak lama
sampai aku merasa konyol sendiri. Bukan bunga itu yang tampak di perangko
melainkan wajah manis Zayn. Rambutnya
yang hitam dengan matanya yang coklat tua membuatnya sangat manis. Ah…sungguh
beruntungnya aku, jika dia suka dan mengajakku untuk jadi pacarnya. Tidak
peduli aku belum mengenalnya dengan baik. Aku merasa senyumnya tulus. Dan malam
itu, aku bermimpi dalam tidur. Zayn tersenyum, lagi. Dengan aku yang berada di
sampingnya, bersandar di bahunya. Mimpi yang manis.
=/=/=/=//=/=/==/=/=/=/=/=/=/=/=/=/=/=/=//==/=/=/=//=/=/=/=/=/=/=/
Hari ini aku bangun sedikit lebih
pagi dari biasanya. Mommy sudah berangkat kerja. Hanya tinggal aku di rumah.
Selama musim libur sekolah ini, aku memang hanya di rumah saja. Bermain dengan
komputerku, atau mencari surat-surat lama untuk aku lepas perangkonya. Pernah
suatu kali aku mendapati surat lama Ayah untuk Mommy. Surat cinta rupanya.
Tidak bisa ku bayangkan bagaimana sulitnya orang dulu berkomunikasi dalam jarak
jauh. Kata mommy, surat tercepat yang pernah ada di jamannya adalah telegram.
Itupun masih berselang satu hari. Aku tidak akan bisa hidup di masa itu. Aku
adalah pecinta hal yang express, yang kilat dan instan. Tapi aku mencintai
barang-barang kuno seperti perangko. Kau akan merasakan bagaimana pengorbanan
seseorang menyukaimu, bersusah payah mengirimi mu surat nun dari seberang sana, yang dengan
perangkolah lalu bisa terkirim ke tujuan. Aku tidak heran jika mommy masih
menyimpan surat-surat lama dari ayah. Kurasa…itu adalah cara mommy mengenang
ayah yang sudah tiada. Ayah adalah seorang yang bekerja di kilang minyak di
tengah laut, sejak kecil aku jarang bertemu dengannya. Hingga akhirnya
kecelakaan itu mengambil nyawa ayah dan membuatnya tidak pernah kembali lagi ke
rumah. Ayah tenggelam bersama kilang minyak itu.
Segera aku bebersih rumah, mommy
akan sangat marah besar jika pulang kerja dan mendapati rumah masih sangat
berantakan. Aku terbiasa melakukan ini. Toh, di rumah ini hanya tinggal aku dan
mommy. Nenek biasa datang bersama kakek hanya untuk menengok kami untuk lalu
pulang sembari mengingatkan agar jangan membuang barang apapun yang ada di atas
loteng. Yeah…aku heran kenapa orang-orang tua sangat suka mengingatkan hal yang
sama berulang kali.
Aku baru saja mau memasak nasi
namun ternyata tabung gas sudah habis. Aku harus membelinya di depan. Di toko
kelontong Ibu Milly. Hal termalas yang
harus aku lakukan. Disana seringkali banyak pemuda yang tidak jelas duduk-duduk
memetik gitar dan akan meneriakimu hal-hal yang aneh. Heran kenapa Ibu Milly
tidak menegur dan mengusir mereka. Padahal mereka hanya akan membuat
pelanggannya lari.
Segera aku menarik jaket
sekenanya, membawa tabung gas kosong untuk diganti yang baru. Aku tidak menaiki
sepedaku, hanya memegangnya sambil berjalan sementara gas itu ku taruh di
keranjang depan. Entah apa yang akan di teriakkan padaku oleh para pemuda itu
nanti melihatku hanya berjaket dengan celana piyama lusuh dan belum mandi. Aku
tidak peduli.
Sesampai disana aku bersyukur,
pemuda-pemuda tidak jelas itu tidak ada. Segera aku masuk ke dalam toko sembari
menenteng gas kosong itu. Tapi oh
Tuhaaaan…. Siapa itu di depan kasir. Itu…Zayn!
Aku berusaha menutupi diriku di
samping botoi-botol gallon besar yang ternyata tidak lebih besar untuk
menyembunyikanku. Dia melihat ke arahku. Aduh! Dan parahnya dia mulai melangkah
mendekat.
“hai…Lily…apa yang kau lakukan di
belakang gallon?” dia mendatangiku tepat di depanku.
Apa yang harus ku jawab? Muka ku?
Pakaianku? Sama sekali tidak siap dengan pertemuan mendadak ini. Percuma
menyesal tidak mencuci muka terlebih dahulu tadi. Zayn sudah mulai tertawa
melihatku pucat.
“hei..kau tidak apa-apa?”,
ujarnya.
“well…yeah aku baik-baik
saja…errr…ini aku mau menukar tabung gas”, jawabku sambil memilin-milin ujung
jaketku dan masih menunduk, malu.
“oh..sini biar aku bantu
mengangkatnya, dimana kau taruh sepedamu?”, Zayn langsung mengambil gas baru
untukku dan mengangkatnya.
“oh terima kasih
banyak…itu..sepedaku ada di luar…aku..mm…aku…”
“yaa..kau bayarlah harga gas ini,
biar aku bawa gas mu keluar”, dia pun segera keluar.
Setelah membayar harga gas itu.
Aku segera keluar menemuinya. Tak lupa sedikit memperbaiki bentuk ikat rambutku
yang tidak rapih.
“well…kau baik sekali, terima
kasih banyak Zayn…” ucapku, berusaha untuk bernada lebih manis.
“ah…ini biasa saja, sampai jumpa
di pertemuan di taman kota sebentar sore Lily..”, tukasnya.
Aku mengangguk dan memberikannya
senyum paling manis yang aku bisa. Ya, aku tentu dan pasti saja datang. Sebentar
sore aku akan datang lebih cepat dan berdandan lebih manis lagi agar Zayn
melupakan wajah burukku hari ini. Kurasa..dia juga menyukaiku. Aku harus
membuatnya lebih terpikat lagi.
Baru saja aku berbalik hendak
naik ke sepeda, Zayn kembali terdengar memanggilku. Aku menoleh, dan dia
melambai. Mengajakku kembali. Lalu? Siapa itu perempuan yang baru keluar dari
took dan berjalan di sampingnya?
Aku kembali memutar sepedaku,
ragu. Namun tetap berjalan mendekat.
“err….ya..ada apa Zayn?”, aku
menjawab sambil terus menatap perempuan di samping Zayn. Cantik.
“Ini Rani, orang yang ku sebut
menyukai bunga yang memiliki nama seperti nama mu Lily…”, dia memperkenalkan
perempuan itu. Aku mengangkat tanganku untuk menyambut tangannya, berkenalan.
“hai…kau bernama Lily?waaaah…aku
iri, kenapa ibu tidak menamaiku dengan nama Lily jugaa..kau tahu, aku sangat
menyukai bunga Lily, putih…symbol kesetiaan…oohh…aku sangat senang waktu Zayn
memberiku bunga itu di tahun ketiga hubungan kami…”, Rani, perempuan ini.
Tiba-tiba bercerita panjang lebar tentang bunga Lili. Dan apa itu maksudnya
tahun ketiga?Hubungan? Oh tidak. Apa dia…?
“yeah…kami sudah pacaran selama 4
tahun, Rani sangat menyukai bunga Lili, makanya aku sangat kaget ketika ternyata
ada anggota baru yang bernama Lily, yaitu kamu..hehehe…”, Zayn berbicara dengan
lugas dan tampak sangat bahagia. Dia tertawa hingga rambut hitamnya bergoyang,
manis. Namun kali ini, manis yang tidak bisa ku miliki. Aahhh….
Tiba-tiba kurasa kepalaku pusing.
Mimpi semalam tidak lagi indah. Matahari terasa sangat terik sampai ke
ubun-ubun. Rasanya mau pingsan kalau aku masih berlama-lama disitu. Aku segera
permisi setelah sebelumnya aku harus menelan ludahku yang terasa pahit,
tertelan bersama impian-impian konyol yang sudah sempat mampir ke otakku.
Belum lama aku mulai berjalan
lagi ketika Zayn teriak dari jauh, “jangan lupa datang sebentar sore ya..Rani
juga akan datang..!”.
Aku tidak lagi menoleh melainkan hanya
melambaikan tangan saja.
Kurasa…aku tidak yakin akan bisa
datang.
Dan ku tuntun sepedaku pulang.Lunglai...dan gagal.